Site icon ghibahin.id

The Watcher dan Rumah Idaman yang Dicita-citakan

“Bukannya merasa nyaman dengan rumah barunya yang mewah, mereka justru merasa terteror.”

(Tulisan ini mengandung spoiler. Namun, saya yakin The Watcher tetap seru ditonton setelah SoHib membaca ulasan saya ini.☺)

Dengan semakin terbatasnya waktu untuk nonton layanan streaming, maka saya memilih tema tontonan yang paling kecil kemungkinannya untuk membuat kecewa. Saya suka jenis-jenis film yang bikin nggak nyaman sekaligus mikir ke mana-mana. Dalam spesifikasi tersebut, The Watcher tergolong dalam tontonan yang “gue banget”, dan saya cukup menikmatinya.

Sebagai miniseri yang terinspirasi kejadian nyata, sebetulnya premis The Watcher bukanlah sesuatu yang fresh. Ceritanya tentang sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan Dean (Bobby Carnavale) dan Nora Brannock (Naomi Watts), beserta kedua anaknya. Setelah melalui berbagai perjuangan finansial, mereka akhirnya pindah ke rumah baru yang luar biasa besar dan megah, sebuah rumah yang sesuai dengan idaman.

Selama di rumah baru itu, mereka disambut oleh berbagai keanehan, mulai para tetangga yang bertingkah aneh dan mengganggu privasi mereka, hingga rentetan surat kaleng yang dikirim oleh seseorang yang mengaku sebagai The Watcher. Dalam surat-suratnya, The Watcher seakan mengesankan bahwa dirinya adalah seseorang yang selalu mengawasi dan menguntit segala aktivitas keluarga Brannock di dalam rumahnya.

Bukannya merasa nyaman dengan rumah barunya yang mewah, mereka justru merasa terteror. Cerita miniseri 7 episode ini sebagian besarnya berputar pada usaha Dean dan Nora mencari siapa sebenarnya The Watcher, biang kerok yang membuat hidup mereka terganggu.

Mendamba rumah idaman

Setelah menamatkan nonton The Watcher, saya jadi punya pertanyaan: Cerita miniseri ini tentang apa sebenarnya? Film-film bertema misteri ataupun horor biasanya punya cerita yang mengandung kiasan-kiasan untuk menggambarkan kondisi sosial saat ini, dan awalnya agak susah melihat pesan-pesan semacam itu secara gamblang dalam miniseri ini.

Setelah dipikir-pikir, saya menyimpulkan bahwa miniseri ini mungkin sedang bercerita tentang betapa semakin tak terjangkaunya harga rumah, di mana pun di dunia ini. Bisa mendapatkan rumah yang bagus, dengan harga yang bagus pula, yang bisa mencakup semua keinginan dan kebutuhan kita, adalah hal yang semakin mustahil belakangan ini. Kecuali rumah warisan atau telah ditinggali turun-temurun, tentu saja.

Seperti digambarkan dalam miniseri ini, orang-orang bahkan layak merasa iri kepada orang lain yang akhirnya bisa menemukan rumah idamannya. Rumah idaman, yakni rumah yang ideal bukan hanya dalam bentuk jasmaniahnya saja (house) tapi juga rumah sebagai situs rohaniah (home).

Karena rumah yang ideal semakin sulit didapat, orang-orang menjadi sangat mendamba dan merindukannya. Semua lahan sepertinya sudah penuh sesak. Kelangkaan membuat harganya melambung sehingga banyak orang di perkotaan mau tak mau untuk tinggal di rumah kontrakan atau apartemen.

Mempunyai rumah pribadi rasa-rasanya tidak lagi menjadi tujuan utama, setidaknya bagi sebagian kaum milenial. Bukan hanya karena harganya, tetapi juga karena gaya hidup yang telah berubah. Ketika sebagian besar pekerjaan selalu diikuti dengan prasyarat “siap ditempatkan di seluruh Indonesia”, menyewa rumah atau apartemen menjadi pilihan yang lebih masuk akal.

Namun, senyaman-nyamannya apartemen, rasanya tidak akan pernah menggantikan kenyamanan sebangun rumah yang menapak langsung di tanah, yang dimiliki sendiri. Saya yakin apartemen memang layak disebut house, tapi sulit untuk menganggapnya sebagai home

Dan saya yakin pula bahwa semua orang yang tinggal di apartemen (di Indonesia) selalu punya rumah (home) yang mereka rindukan, tempat ke mana mereka berusaha pulang setiap tahunnya. Bukankah kita selalu “pulang” ke rumah ketika Lebaran dan Natal? Tidakkah “pulang” selalu merujuk pada rumah?

Antara privilese dan pertaruhan

Bagi yang akhirnya mampu memiliki rumah di sebidang tanah pun, ternyata masalah tidak selesai begitu saja. Sering kita dengar (atau bahkan mengalaminya sendiri), baru beberapa bulan mendiami rumah baru, tapi atapnya sudah bocor, air merembes di dinding, gagang pintu rusak, dan banyak masalah lainnya. Bukan rahasia bila rumah jaman sekarang seringkali dibangun dengan menekan kualitas bahan dan penggarapannya, sehingga pengembang perumahan bisa meraup untung lebih banyak. 

Dalam The Watcher, peran ini diwakili oleh Karen Calhoun (Jennifer Coolidge), sahabat Nora yang seorang agen perumahan. Ia selalu mendesak Nora untuk menjual rumahnya, yang ternyata ingin ia kuasai untuk dirinya sendiri. Ini adalah penggambaran sempurna, bahwa seorang agen perumahan bahkan tega menikung sahabatnya sendiri demi sebuah rumah idaman. Karen mengambil banyak keuntungan dari membeli rumah, merenovasinya, dan menjualnya dengan harga lebih mahal.

Demi cuan, kualitas rumah jadi makin kasihan. Kontras dengan cerita orang tua kita bahwa rumah jaman dulu bisa berdiri kokoh bertahun-tahun, tanpa perlu mengeluarkan biaya dan usaha yang berarti untuk merawatnya. Sekarang, mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliaran untuk membeli rumah, tetap harus mengikhlaskan uang yang terbuang untuk memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak setiap tahun, bahkan setiap bulannya.

Banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi pajaknya. Mereka yang mendapatkan warisan rumah pun banyak yang memilih menjualnya demi mendapatkan selisih yang lebih bisa dinikmati daripada harus menanggung pajaknya. Makin ke sini, makin butuh banyak privilese untuk bisa memiliki rumah sendiri.

Ketika tak ada cukup privilese, maka rumah idaman dimiliki melalui berbagai pertaruhan. Sebagaimana halnya keluarga Brannock mempertaruhkan seluruh hartanya ke jurang kebangkrutan demi rumah idaman, demikian pula dalam kehidupan nyata. Bukankah tak sedikit di antara kita yang mengambil kredit perumahan—yang tentu dibayar dengan membanting tulang—sambil bertaruh bahwa sebelum cicilan lunas tidak ada pemotongan gaji atau PHK?

Sekat privasi dan paranoia

Selain hal-hal tadi, The Watcher juga membuat saya merenung, apa sebenarnya yang ingin miniseri ini tunjukkan dari sikap aneh tetangga-tetangga keluarga Brannock? Saya berpikir, jangan-jangan bukan para tetangga ini yang resek, tapi pikiran keluarga Brannock-lah yang telanjur penuh dengan asumsi. Dan dalam dunia nyata, keluarga Brannock adalah kita!

Kita hidup dalam dunia yang sangat mengagung-agungkan privasi, hal yang sebetulnya tergolong baru dalam peradaban panjang manusia (apalagi bagi masyarakat di Nusantara). Mulai dari pagar rumah tinggi nan rapat, hingga piranti remeh-temeh seperti headset, semuanya bisa kita perlakukan sebagai sarana untuk menjaga privasi.

Memang, tak ada yang salah dengan privasi. Namun, seiring kehidupan kita yang semakin privat, tidakkah kita semakin mudah curiga terhadap siapapun yang berada di depan pintu rumah kita? Tidakkah privasi membuat kita mudah berasumsi negatif terhadap orang-orang di luar boundary kita?

Ha! Kita??? Tenang, saya sedang membicarakan diri sendiri, kok. Hehehe.

Bhagaskoro Pradipto, mencangkul kata-kata dari film dan komedi berdiri. Tinggal di Bali.

[red/rien]

Exit mobile version