The Daddies: Role Model Bagi Kesuksesan Atlet-Atlet Muda

Bagi sebagian penggemar bulutangkis tanah air, partai final yang mempertemukan sesama pemain Indonesia (mungkin) terasa kurang menarik. Suasananya akan lain ketika pemain kita bertemu dengan lawan tangguh dari negara yang mempunyai tradisi bulutangkis kuat seperti China, Korea Selatan, Denmark, dan lainnya. Sudah pasti para penggemar bulutangkis akan mendukung pemain Indonesia habis-habisan.

Tetapi saya mempunyai pandangan berbeda. Menurut saya, pertandingan sesama pemain Indonesia tetap saja menarik. Salah satunya adalah partai final ganda putra All England 2023 yang mempertemukan Fajar/Rian dan Hendra/Ahsan. Seperti yang kita ketahui bahwa pasangan Fajar/Rian (FajRi) berhasil mengalahkan The Daddies (julukan bagi pasangan Hendra/Ahsan) dan menjadi kampiun All England 2023.

Meskipun The Daddies kalah, saya anggap mereka salah satu pasangan ganda putra terbaik di dunia. Prestasi dan attitude The Daddies banyak menginspirasi atlet-atlet lain sehingga mereka disegani kawan maupun lawan. Menurut saya,  inilah  beberapa alasan mengapa The Daddies layak menjadi role model bagi atlet-atlet muda.

Semangat Pantang Menyerah

Soal semangat pantang menyerah, belajarlah dari The Daddies. Pasangan Hendra/Ahsan adalah pasangan ganda putra tertua dari Indonesia yang masih aktif bermain. Kita tentu berpikir dengan bertambahnya usia maka kemampuan bermain mereka juga akan menurun. Ternyata pendapat tersebut keliru. Sampai saat ini Hendra/Ahsan masih mampu bersaing dengan pasangan-pasangan muda lainnya. Pada usia mereka sekarang, Hendra/Ahsan mampu dua kali berturut-turut mencapai final All England, yaitu tahun 2022 dan 2023. 

Mau bukti terbaru bahwa The Daddies ini benar-benar pantang menyerah? Coba deh, perhatikan pertarungan mereka menghadapi Fajar/Rian pada final All England beberapa waktu yang lalu. Oke, set pertama dimenangkan oleh Fajar/Rian, tetapi pada set kedua The Daddies memberikan perlawanan keras kepada juniornya itu. Hingga akhirnya pada skor 20–14 pertandingan harus dijeda karena Ahsan mengalami cedera pada lututnya. 

Dalam kondisi seperti itu, wasit sempat mengumumkan retired (mundur karena cedera). Melihat Ahsan yang kesulitan berdiri dan menahan rasa sakit, saya (bahkan mungkin juga para badminton mania) mengira pertandingan akan selesai. Ternyata, di luar dugaan banyak orang, Ahsan menolak untuk retired dan kembali ke lapangan untuk melanjutkan pertandingan. 

The Daddies menyadari bahwa kans memenangkan pertandingan sangatlah kecil tetapi mereka tidak mau kalah dengan skor yang tanggung. Kalaupun akhirnya lawan yang menang tetapi kemenangan itu diraih dengan poin sempurna. Momen inilah yang membuat saya menilai bahwa Hendra/Ahsan mampu memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk tidak mudah menyerah dan terus berjuang sampai akhir.

Dihormati oleh Lawan

Pertarungan The Daddies versus FajRi tidak hanya menyuguhkan permainan yang seru tetapi juga menunjukkan betapa nilai-nilai sportivitas dan respek kepada lawan dijunjung tinggi. Saat Ahsan mengalami cedera pada skor 20–14, pasangan FajRi menghampiri Ahsan untuk memastikan kondisinya. Tidak hanya sampai disitu, ketika Ahsan menolak retired dan memilih melanjutkan pertandingan, Fajar/Rian membantu Ahsan untuk berdiri dan berjalan kembali ke lapangan.

Setelah memastikan kemenangan, Fajar/Rian kembali menghampiri Hendra/Ahsan untuk memberikan pelukan. Peristiwa yang lebih mengharukan terjadi ketika Fajar/Rian ikut mendorong kursi roda Ahsan menuju podium All England 2023. Meskipun FajRi menjadi juara tetapi mereka mengajak Hendra/Ahsan untuk naik ke podium juara untuk foto bersama. 

Apakah kejadian-kejadian itu karena mereka rekan satu negara? Saya kira tidak demikian.  Banyak sekali contoh sikap sportif dan respek kepada lawan yang berasal dari negara berbeda. Baru-baru ini, atlet bulutangkis asal Denmark, Victor Axelsen, membuat sebuah cuitan di Twitter yang isinya mendoakan kesembuhan lawannya di Swiss Open, Chico Aura Dwi Wardoyo: “Sorry to see Chico go out with on injury, GWS!”. Hal ini menunjukkan sikap sportif dan respek bisa dilakukan seorang atlet kepada siapapun yang menjadi lawan tanpa melihat asal negaranya. 

Teladan bagi Juniornya

Beberapa waktu yang lalu saya nonton channel Youtube-nya Hendra Setiawan, Fajar Alfian mengungkapkan bagaimana hubungannya begitu dekat dengan Hendra Setiawan. Bahkan, Fajar menyebut Hendra sebagai “bestie”. Fajar mengungkapkan bahwa bestie-nya tersebut merupakan panutan bagi atlet-atlet muda.

Ketika ditanya apa saja yang diteladani dari sosok Hendra Setiawan, Fajar mengatakan bahwa Hendra adalah seseorang yang tidak pernah puas atas prestasinya. Menurut Fajar, atlet-atlet yang sudah banyak meraih kemenangan biasanya sudah merasa puas dengan pencapaiannya. Tetapi tidak bagi Hendra/Ahsan. Mereka masih mau bersaing dengan atlet-atlet yang lebih muda. Bahkan, Hendra/Ahsan masih ingin tampil pada Olimpiade Paris tahun 2024.

Tidak hanya dari sesama atlet saja yang mengatakan bahwa The Daddies pantas menjadi teladan. Hal yang sama juga disampaikan oleh pelatih mereka. Dari beberapa media yang saya baca, pelatih kepala ganda putra PBSI, Herry Iman Pierngadi menyampaikan pesan kepada pemain muda bahwa regenerasi ganda putra terus berlanjut sehingga atlet-atlet muda harus bermain total dan tidak boleh tanggung. Herry menyarankan mereka untuk mencontoh pasangan ganda senior mereka, yaitu pasangan Marcus/Kevin dan Hendra/Ahsan.

Nah, itulah beberapa alasan mengapa The Daddies layak menjadi panutan bagi atlet-atlet muda. Tidak hanya bagi para atlet saja, tapi siapapun bisa mencontoh semangat, kerja keras, dan konsistensi Hendra/Ahsan sehingga mampu berprestasi sampai saat ini.

Rudy Tri Hermawan, penulis dan pendidik, tinggal di Blora.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *