Tetap “Selow” dalam Dunia yang Serba Terburu-buru

ghibahin

Padahal, sebenarnya kita baik-baik saja dengan irama hidup yang selow. Tidak ada yang salah dengan pencapaian yang biasa-biasa saja.

Beberapa minggu ini saya dan teman-teman sedang mengikuti semacam tantangan untuk membiasakan hidup lebih sehat dalam 7 hari. Dalam tantangan tersebut, ada satu hal yang sebenarnya sederhana namun sering kita lupakan, yaitu makan dengan kesadaran penuh dan mengunyah makanan dengan baik, minimal 30 kali kunyahan untuk setiap suapnya.

Ketika kami mempraktekannya, reaksi teman-teman saya beragam. Ada yang kesulitan karena hobinya makan makanan pedas yang menimbulkan penderitaan tersendiri jika dikunyah lama, dan ada yang merasa tidak sabar, sehingga baru sampai hitungan ke-20 makanan sudah tertelan. Saya sendiri sering lupa menghitung berapa kali saya mengunyah. Yang jelas, di kalangan teman-teman kantor, saya termasuk golongan yang kalau makan selalu selesai paling akhir. 

Saya lupa kapan terakhir kali makan dengan kesadaran penuh, tanpa gangguan dan interupsi, entah dari HP, televisi, atau dari anak. Apalagi, makan sambil memperhitungkan jumlah kunyahan dalam setiap suapan. 

Saya yakin hal ini juga berlaku untuk para ibu lainnya. Sarapan dalam kondisi hectic, makan siang atau malam disambi menyuapi anak, bahkan kadang diselingi adegan menyeboki anak. Saat makan di luar pun–meski itu judulnya “piknik”–kondisinya sama, hanya berubah tempat saja. Ya, sekadar makan pelan-pelan dan penuh penghayatan ternyata bukan perkara mudah. 

Saya pribadi merasa bahwa saya ini orangnya–meminjam judul lagunya Via Vallen–selow alias santai. Sejak mengalami kecelakaan tunggal beberapa tahun lalu, saya tak pernah ngebut lagi. Kalaupun sesekali terlambat masuk kantor, ya sudahlah, saya pasrah dengan konsekuensi dipotong tunjangan. 

Prinsip saya, keselamatan tak bisa ditukar dengan beberapa puluh ribu rupiah uang potongan untuk keterlambatan dan absen apel pagi. Dan selain itu, saya tidak mau mati konyol di jalan. 

Meski saya tak merasa bermasalah dengan hal ini, toh saya beberapa kali disindir oleh teman-teman, terutama yang satu jurusan jalan dengan saya, bahwa saya terlalu lambat saat naik motor. 

Sindiran yang menurut saya mengherankan karena saya tak pernah melarang mereka menyalip saya (karena saya bukan pejabat, bukan pula supir ambulans), posisi kendaraan saya juga berada di jalur yang memang merelakan diri untuk disalip (bukan di tengah-tengah). Intinya, keterlambatan saya sebenarnya tidak berpengaruh, apalagi merugikan bagi mereka. 

Saya baru menyadari, menjadi orang selow adalah hal yang aneh di masa sekarang. Itu baru contoh dalam rutinitas kita sehari-hari. Soal karir, pendidikan, bahkan keuangan pun, kadang ada tuntutan dari lingkungan sekitar yang seakan tidak mengizinkan kita untuk berada di jalur yang kita inginkan. 

Dalam hal karir pun, saya sudah pindah jalur ke fungsional sejak 2018. Di jalur fungsional, kalau kita rajin, kita akan mendapatkan angka kredit. Sedangkan untuk fleksibilitas, ibarat kita sedang berkendara, di jalur fungsional kita bisa mengatur kecepatan kita. Mau lambat atau cepat, kitalah yang jadi pengendali karir dengan menentukan berapa angka kredit yang ingin dikejar. 

Sudah sebegitu jelas aturan main di jalur fungsional, eh, ada saja rekan saya, yang meski tiap hari menyetel lagunya Farrel Prayoga Ojo Dibandingke, tetap merasa perlu membandingkan pencapaian karir saya dengan orang lain. Padahal, saya sendiri tidak pernah menargetkan menjadi pejabat anu di usia tertentu, dari keluarga juga tidak pernah mengharuskan untuk jadi ini itu.

Dalam hal pendidikan, di banyak sekolah, hampir selalu ada program akselerasi. Selain akselerasi untuk semua pelajaran, ada juga akselerasi untuk menghafal Al Qur’an. Bahkan, saat ini ada juga program akselerasi untuk meraih gelar doktoral di kampus-kampus tertentu. 

Saya tidak menyalahkan kalau ada orangtua yang setuju atau bahkan bangga dengan program semacam itu. Selama anaknya mau dan senang menjalaninya, ya monggo saja, dan mungkin memang ada anak-anak dengan kemampuan dan bakat tertentu yang memerlukan program ini.

Hanya saja, saya membayangkan, masa sekolah adalah masa yang paling indah dan akan menjadi pondasi untuk membentuk jati diri anak. Sangat disayangkan jika masa-masa indah itu harus dijalani dengan terburu-buru. Toh, keberhasilan akademik dalam usia lebih muda tidak menjamin kesuksesan hidup di masa depan. 

Lain lagi dalam hal keuangan. Dalam feed Instagram saya, sering beredar unggahan tentang bagaimana cara mempunyai rumah, tabungan 300 kali gaji, atau uang beberapa miliar sebelum usia 30. Semuanya mengarahkan bagaimana agar kita bisa membangun kekayaan lebih cepat di usia yang lebih muda. Rasa-rasanya bukan teman-teman saya saja yang terburu-buru, seluruh dunia juga sedang terburu-buru.

Tidak mengherankan sebenarnya. Banyak dari kita sangat memuja semua hal yang terdepan dan tercepat. Semakin muda usia anak bisa membaca dan bersekolah formal, semakin bangga orangtuanya. 

Berita-berita dengan fokus utama semacam “lulus tercepat” dan “jenderal bintang dua termuda” (eh, ini sih Sambo ya?) tak jarang kita temui. Kalimat semasa sekolah “yang selesai lebih dulu boleh pulang duluan” juga tak mungkin kita lupakan, bukan? 

Belum lagi glorifikasi nikah muda. Kalau baca komentar di Facebook, banyak ibu-ibu yang membanggakan di usia segini muda sudah punya anak segini banyak. Duh, pada mau kemana sih, kok buru-buru amat?

Padahal, sebenarnya kita baik-baik saja dengan irama hidup yang selow. Tidak ada yang salah dengan pencapaian yang biasa-biasa saja. Kita justru bisa hidup lebih sehat, tidak mudah stress, dan lebih bisa menikmati dan memaknai aktivitas yang menurut orang lain tergolong receh. Selow sangat berbeda dengan malas, selow lebih condong ke suasana rileks, sementara terburu-buru identik dengan suasana tegang. 

Orang yang hidupnya biasa terburu-buru akan sulit tuma’ninah dalam beribadah, sulit fokus dalam mengerjakan berbagai hal, dan sangat mungkin membuat emosi menjadi tidak stabil. Karena hidup serba terburu-buru, pada akhirnya kita selalu dihantui kecemasan yang justru bisa mengancam, tidak hanya fisik, tetapi juga kesehatan mental kita.

Fatma Ariana. Seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *