Site icon ghibahin.id

Tentang Kehilangan dan Ketidakmampuan untuk Melepaskan

“Tentang kehilangan ini, saya tak punya referensi. Namun saya hanya mengingat betapa kosongnya hati saya pada hari kematian Bapak..”

Seorang teman lama dari kota asal saya, sebut saja Desy, belum lama ini kehilangan anaknya. Anak yang digadang-gadangkan itu meninggal begitu saja di kamar kost, setelah dua hari menderita demam. Mirisnya, sang anak baru saja memulai babak baru dalam kehidupannya, menyongsong masa depan cerah dengan dimulainya perkuliahan tatap muka di kampus yang sudah lama diidamkannya. 

Kuliah di IPB, Bogor, adalah mimpi yang berhasil diraihnya dengan susah payah. Kedua orangtuanya tentu bangga dan mendukungnya secara penuh, meskipun konsekuensinya mereka harus dipisahkan 523 km jauhnya. Salatiga dan Bogor. Kedua kota yang meskipun sama-sama berhawa sejuk, namun berjarak.

Desy adalah teman sekolah yang cukup lama tidak saya jumpai sejak saya merantau di Jakarta. Saya baru bertemu kembali dengannya dalam reuni akbar beberapa waktu yang lalu, dan kembali akrab. Namun demikian, saya tidak bisa membayangkan perasaaannya sebagai orang tua yang kehilangan anak. Sedih? Sudah pasti. Kesedihan karena kehilangan anak kesayangan pasti telah memporak-porandakan hatinya, hingga tak ada lagi kata yang bisa mendefinisikan perasaan seperti itu.  

Sejak membaca berita tentang meninggalnya putra sulung teman SMA saya itu seminggu yang lalu, hingga kini saya belum selesai mencerna apa yang sebenarnya terasa dalam benak ini. Tanpa sadar saya malah memikirkan bapak saya yang telah lama tiada. 

Semalam, saya bermimpi bertemu Bapak. Ya, saya adalah anak yang tak rela kehilangan ayahnya. Masih ada residu kesedihan akibat kehilangan itu, meskipun peristiwa itu sendiri sudah berlalu hampir satu dekade lamanya.

Saya merasa belum sempat membuat Bapak bahagia sepanjang hidupnya. Mungkin karena itulah saya belum rela melepaskannya.

Belum lama ini, saya mengikuti pelatihan menulis yang dimentori oleh Agustinus Wibowo, seorang penulis yang membuat saya tercengang dengan diksinya yang memukau. Padahal, jenis tulisannya adalah nonfiksi. Biasanya, kekuatan diksi adalah milik penulis fiksi dan puisi. Saya jarang menemukan tulisan nonfiksi yang ditulis dengan cara yang sedemikian kreatif.

Pelatihan menulis yang berlangsung selama 3,5 jam itu sangat menyenangkan bagi saya, karena Agustinus Wibowo sebagai mentor tunggal dalam pelatihan tak henti-hentinya menyapa peserta dan menjalin komunikasi dua arah. Beberapa kali saya mendapat kesempatan bertukar kata dengannya. Bahkan dalam sesi praktek menulis, tulisan saya sempat dipujinya karena plot twist ending yang saya tulis berhasil mengejutkannya dan membuatnya tertawa.

Seusai pelatihan itu, saya yang masih susah move on dari sosoknya, mulai mencari jejak digital yang banyak ditinggalkannya. Saya membaca lagi Titik Nol,  buku karangan Agustinus Wibowo yang paling saya sukai. Saya menyimak potongan wawancara lama yang pernah dilakukannya dengan berbagai media. Saya juga mencari channel YouTube-nya yang penuh dengan cerita petualangannya di negeri asing.

Pada satu titik, ada serpihan kalimat yang diucapkan Agustinus Wibowo yang sangat membekas dalam benak saya. Dia mengatakan bahwa perjalanan bukan tentang berapa banyak yang bisa kita dapatkan, tetapi tentang berapa banyak yang sanggup kita lepaskan.

Dalam perjalanannya yang panjang, hingga bertahun-tahun di negeri orang, rupanya Agustinus Wibowo pernah mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan. Ia pernah dilecehkan secara seksual oleh sesama laki-laki. Ia juga pernah dirampok hingga kehabisan uang di negeri orang. Tentu saja ia tahu betul rasanya tak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan. Melepaskan mungkin menjadi satu-satunya pilihan yang dimilikinya pada waktu itu.

Siapa sangka, meskipun ia kehilangan banyak hal dalam perjalanan yang dilakukannya, namun ia juga mendapatkan banyak hal yang jauh lebih bernilai dan menjadi kebanggaannya seumur hidup.  Ketakutan terbesarnya adalah kehilangan dirinya sendiri dan hal itu ternyata tak pernah terjadi. Ia bahkan menjadi pribadi yang semakin kaya akan pengalaman dan semakin bijaksana memaknai kehidupan.

Rupanya, ketika manusia telah sanggup melepaskan, ia tidak hilang. Justru semakin berlimpah. Sebuah paradoks yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengalaminya sendiri.

Tentang melepaskan ini juga pernah saya baca versi romantisnya dalam buku yang ditulis oleh mentor saya yang lain, Ratna Syifa Nastiti, dalam bukunya Melepasmu, lalu Menemukanku. Kerelaan untuk mengalami kehilangan secara sadar, justru membuat kita menemukan sesuatu yang bahkan lebih besar daripada sesuatu yang pernah kita genggam dengan erat dan kita anggap terlalu berharga untuk dilepaskan.

Namun tak semua orang memiliki kemampuan untuk melepaskan dengan rela. Saya bahkan hampir yakin bahwa di dunia ini tak ada orang yang benar-benar rela kehilangan.

Sudah sepekan berlalu, namun sampai sekarang saya belum siap memeluk teman saya tadi, yang kehilangan anaknya, untuk sekadar membisikkan kata-kata penghiburan. Saya tak tahu kalimat seperti apa yang harus diucapkan kepada orang tua yang sedang berduka karena kehilangan anaknya.

Tentang kehilangan ini, saya tak punya referensi. Namun saya hanya mengingat betapa kosongnya hati saya pada hari kematian Bapak, ketika semua pelayat sudah pulang ke rumah. Kosong yang tak hanya berisi senyap, tetapi juga kesakitan, menyaksikan Ibu yang tak punya daya karena kehilangan penyangga. 

Memang klise, tetapi waktulah yang akan menyembuhkan segalanya. Waktu pulalah yang kemudian membuat kekosongan itu berlalu, meski tak sempurna.

Malam ini, ketika tiba-tiba terbangun dari mimpi dini hari, saya masih menangis karena menyadari bahwa saya tak lagi mempunyai Bapak, yang telah meninggal sembilan tahun yang lalu. [red/yes/bp]

Margaretha Lina Prabawanti, dosen praktisi, mengajarkan ilmu dari pekerjaan yang dilakukan sehari-hari

Exit mobile version