Tekanan Mental dan Pertanyaan “Kapan Nikah?”

Kapan Nikah

“Tekanan lingkungan seperti itu kelak yang dapat menghilangkan kebebasan dan membuat sebagian orang menjauh dari hubungan sosialnya.”

Ketika saya sedang fokus menjalani kewajiban dalam bermedsos, yaitu scroll tuntas laman Twitter. Ada satu artikel berita yang judulnya: “Geram Sering Ditanya Kapan Nikah, Pria di Blitar Bunuh Temannya”. Sontak saya terbelalak: “Astaghfirullah serem banget!”

Waktu baca isinya, langsung ingat sendiri pengalaman pulang ke kampung dulu yang juga kerap dijejali kalimat “Kapan lulus?” “Kapan nikah?” Pokoknya merembet terus. Sampai saya sekarang sudah di level terserah kalau ditanya begitu. Nggak mau pikir berat, ibarat sudah seperti kewajiban yang harus dihadapi, persis sama sholat. Nggak bisa digugat!

Tapi memang kebiasaan kepo-kepo terlebih ”Kapan nikah?” ini sudah mengakar di seluk-seluk sanubari banyak orang. Ya kan? Terutama orang Indonesia. 

Dari kejadian di Blitar tadi, apa ada diantara kalian yang masih mikir “Kok ditanya kapan nikah gitu aja bisa sampai membunuh?” Apa kalian anggap itu setara dengan pertanyaan sudah makan belum? Atau kalian berpikir itu mungkin bikin risih, tetapi nggak ada bayangan hal tersebut bisa menanamkan dendam sebegitu besarnya? 

Perkara tingkat pendidikan rendah atau kurangnya nilai spiritual bisa jadi andil. Tapi, titik beratnya kan jangan sampai kita mengesampingkan konflik sosio-emosional seseorang. Masalahnya ini seperti sudah jadi budaya. Pertanyaan-pertanyaan rese’ nggak cukup dilontarkan satu dua orang. Padahal tingkat agresivitas tiap orang beda. Dan yang tahu betul isi hati insan ya cuma dia sendiri beserta pencipta-Nya. 

Awal-awal toleransi, tapi lama-lama? Ujungnya bisa jadi dendam membara. Seperti yang dilakukan pria di Blitar tadi.

Dampak dari budaya kepo ini pun bisa berlanjut ke peristiwa seram lain. Bayangkan, alih-alih menyerang lawan, mereka justru ingin menyerah di kehidupan. Selaras sama Teori Bunuh Diri Emile Durkheim yang keempat. Bunuh Diri Fatalistik akibat kondisi yang sangat tertekan dengan aturan, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani interaksi sosial hingga yang bersangkutan kehilangan kebebasan dalam hubungan sosial. 

Apa sih keyakinan dalam masyarakat kita yang berkaitan dengan teori ini? Lingkungan kita masih menganggap bahwa nikah sangat terpatok usia. Biasanya jika seorang wanita di atas 27 tahun dan belum menikah, dianggap sudah terlalu tua. Seperti halnya lelaki jika di atas 30 tahun belum menemukan pendamping, dianggapnya telat.  

Persepsi itu sangat mengakar seolah menjadi tradisi yang jika kita langgar bisa dianggap menodai nilai dalam norma masyarakat. Nggak heran, jika pertanyaan “kapan nikah?” wajar dijumpai. Tradisi masyarakat kita memang masih di level ini. Tekanan lingkungan seperti itu kelak yang dapat menghilangkan kebebasan dan membuat sebagian orang menjauh dari hubungan sosialnya. Jika seseorang sudah di tahap malas bertemu orang karena nggak mau dihujani pertanyaan itu-itu terus. Ini jelas jadi tanda mentalnya bermasalah.

Teori Bunuh Diri Fatalistik Emile Durkheim juga menganggap ketika orang merasa terlalu ditekan lingkungan, ia bisa mengkategorikannya sebagai bentuk penindasan. Apabila tak kunjung ada penyelesaian, beberapa orang mungkin bisa depresi dan lebih memilih mengakhiri hidup ketimbang bertahan dengan peraturan berlebihan yang melarang mereka mengejar keinginan atau hidup sesuai kemauan mereka sendiri.

Saya punya contoh lain dari Twitter. Ada beberapa orang yang sempat mengeluhkan kasus serupa. Begini contohnya:

“Ada tips cepat meninggal kah? Tanpa harus bunuh diri, gue pening sama tekanan orang tua, disuruh nikah terus.” 

“Rasanya nggak ada jalan lain selain nikah. Daripada gue tekanan batin kaya gini. Selalu ga tenang”.

Situasi seperti ini mungkin sedang dialami banyak orang diluar sana. Tertekan karena belum menikah sembari melihat teman lain sudah nikah duluan, bahkan punya anak. Hal ini bisa memberatkan, namun apa yang lebih bikin kesal? Ya jelas pertanyaan “Kapan nikah?” itu sendiri. Jika dihadapkan di situasi itu rasanya akan jauh lebih stres. Rasa stres tersebut yang bisa dilampiaskan orang dengan cara berbeda-beda. Hitam atau putih. Positif atau negatif. 

Kalau orang itu masih bermental sehat nan positif, bisa jadi ia mengalihkan rasa kesal dengan sholat dan dilanjut wiridan. Tapi kalau mentalnya terlanjur terkikis? Ia bisa balas dendam dengan melawan atau  menyakiti diri sendiri.

Mungkin banyak dari kita yang masih belum menyadari seberapa bahayanya kebiasaan masyarakat kita ini. Terlebih menikah memang masih dianggap bentuk pencapaian manusia. Sekalipun orang telah sukses dan bahagia dalam kehidupannya sendiri, jika usianya dianggap “sudah waktunya” buat nikah, ya kayak kurang aja gitu. 

Seringnya tanpa ditelisik lebih dalam alasannya. Mungkin banyak aspek yang menjadikan seseorang belum menikah. Bukan hak manusia lain untuk menggurui dan memang nggak seharusnya kita melontarkan pertanyaan rese’ macam itu. Apalagi menjadikannya basa-basi obrolan. Nggak lucu sob!

Tradisi yang begini memang sulit diubah. Namun sulit bukan berarti tidak bisa, kan? Dimulai dari kita sendiri yang harus menanamkan etika dalam obrolan dan lebih peka lagi akan obrolan mana yang sebisa mungkin tidak menyinggung lawan bicara. Masa kita lebih mau sibuk ngurusin kapan orang nikah daripada peduli akan kewarasannya? (red/pap)

Nindya Pritasari, Wanita suka sushi dan menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *