Soal-Soal Ujian Sekolah yang Kerap Bikin Masalah

“Siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan jawaban yang sesuai dengan realitas yang dialaminya sehari-hari.”

Belum lama ini, teman saya dengan gemas mengunggah nilai ulangan anaknya yang kurang memuaskan di beranda Facebook. Anak teman saya tersebut masih duduk di kelas 2 SD. Yang bikin gemas rupanya bukan karena hasil ulangan anaknya yang mendapat nilai di bawah rata-rata, tetapi justru pada bentuk soal yang diujikan dan penilaian sang guru terhadap jawaban siswanya. 

Soal yang dimaksud merupakan soal uraian, yang meminta siswa menyebutkan “dampak bagi tubuh setelah melakukan olahraga”. Rupanya, si anak menjawab bahwa setelah berolahraga, tubuh jadi lelah, dan jawaban ini disalahkan oleh gurunya. Sang guru kemudian meralat jawaban siswa dengan cara mencoret kata “lelah” dengan spidol merah dan membubuhkan kata “sehat”. 

Jika direnungkan, sebenarnya apa yang salah dengan jawaban si anak di atas? Bukankah setelah berolahraga, dampak yang paling dirasakan oleh tubuh adalah lelah? Bagi anak kelas 2 SD yang masih dalam tahap berpikir konkret, jawaban “lelah” justru sangat logis dan realistis. Sementara jawaban “sehat” justru bersifat abstrak, karena baru bisa dirasakan setelah melakukan olahraga secara teratur, itupun juga tidak bisa dipantau dalam waktu singkat.

Saya jadi teringat pada kejadian serupa yang pernah dialami oleh anak saya sendiri, ketika ia menjawab soal tentang berapa kebutuhan minum air putih bagi tubuh. Jawaban anak saya dianggap salah karena ia menjawab 4 gelas per hari. Sang guru membubuhkan keterangan pada jawaban yang salah itu, bahwa yang benar adalah 8 gelas per hari.

Peristiwa ini juga sempat membuat saya berpikir. Bukankah setiap orang memiliki kebutuhan minum yang berbeda-beda? Sehari kadang 3 gelas, 5 gelas, bahkan lebih dari 8 gelas tergantung kondisi tubuh dan lingkungan sekitar? Lagipula, dalam sehari setiap orang juga tidak melulu minum air putih. Kadang juga minum jus, susu, teh, atau minuman lain yang juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh. 

Saya jadi ingat perkara lain lagi. Masih ingat dengan soal ujian SD di Cimahi, Jawa Barat, yang menampilkan ilustrasi Tata Surya di mana bumi digambarkan berbentuk datar sementara planet-planet lain tetap berbentuk bulat? 

Belum lagi soal dengan topik tanggung jawab keluarga, yang terlihat biasa tapi sebenarnya cukup problematis. Begini bunyi soalnya: “mencari nafkah di dalam keluarga adalah tugas dari .…” Ada empat opsi jawaban, yaitu ayah, ibu, anak, dan kakek. Karena soal tersebut berbentuk pilihan ganda, artinya hanya ada satu jawaban yang benar.

Tentunya, kita gampang menebak bahwa jawaban yang dianggap benar adalah “ayah”. Akan tetapi, pilihan jawaban tersebut jelas menafikan kondisi sosial yang terjadi di sekitar kita, atau bahkan yang sedang dialami siswa yang bersangkutan. Fakta yang terjadi di masyarakat sangat beragam.

Dalam keluarga buruh migran perempuan, misalnya, ibu jelas berperan sebagai pencari nafkah. Di banyak keluarga non-kantoran seperti petani dan pedagang, semua anggota keluarga ikut bekerja mencari nafkah. Bahkan dalam kasus tertentu, ada anak yang berusia sekolah dasar harus bekerja menghidupi keluarganya karena ayahnya sudah tiada, sementara ibunya terbaring sakit tak berdaya. 

Entah sudah keberapa kalinya soal ujian sekolah menjadi bahan tertawaan, karena redaksi soal yang ambigu dan menggelikan. Belum lagi soal-soal lainnya yang berbau SARA, tidak etis, seksis, politis, hingga berbau teori konspirasi.

Setelah dicermati, penilaian guru yang kurang tepat terhadap jawaban siswanya bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, jawaban soal dinilai salah karena dianggap tidak sesuai dengan teks yang disajikan dalam buku paket atau bahan bacaan. Dengan kata lain, guru menjadikan teks sebagai patokan kebenaran bagi siswa dalam menjawab setiap soal yang diberikan.

Artinya, guru masih terjebak dalam textbook thinking. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan jawaban yang sesuai dengan realitas yang dialaminya sehari-hari. Apalagi jika ujiannya berbentuk soal tertutup yang tidak memberikan alternatif jawaban lain untuk mengembangkan penalaran siswa. 

Kedua, soal yang diberikan tidak sesuai dengan konteks kekinian. Contohnya, salah satu teman guru membuat soal uraian yang meminta siswa menceritakan pengalaman liburan di rumah kakek-nenek masing-masing. Soal tersebut kemudian dikolaborasikan dengan mata pelajaran seni rupa, yaitu menggambar bentang alam di pedesaan. 

Dalam bayangan sang guru, para siswa akan menggambar pematang sawah, kebun, pegunungan, sungai, dan hal-hal lain yang dianggap identik dengan pedesaan. Ternyata fakta berkata lain, rumah kakek-nenek para siswa kebanyakan justru berada di daerah perkotaan. Dalam kasus ini, pembuat soal bisa saja terjebak oleh distorsi pengetahuan dan asumsinya sendiri, sehingga materi soal yang disusun tidak nyambung dengan pengalaman dan pengetahuan siswanya.

Ketiga, materi soal yang tidak up to date. Sebagai contoh, pertanyaan mengenai ke mana ibu membeli sayur dan buah-buahan. Pada jaman dulu, jawaban yang dianggap benar mungkin hanya di warung atau pasar. Masalahnya, sekarang orang-orang yang ingin membeli sayur tidak harus pergi ke pasar. Melalui ponsel pintar, ibu bisa membeli sayur dan buah-buahan secara daring sambil tiduran di kamar, bersantai di halaman, di dapur, atau bahkan saat berada di WC. 

Keempat, redaksi soal yang ambigu. Salah satu hal yang sering menyebabkan siswa salah paham dalam menjawab soal adalah redaksi yang ambigu/bermakna ganda. Soal yang saya sampaikan di awal, tentang bagaimana “dampak bagi tubuh setelah melakukan olahraga” adalah salah satu contoh redaksi soal yang bisa membuat siswa bingung. Akan lebih jelas bagi siswa jika instruksinya adalah menjelaskan “manfaat bagi tubuh jika berolahraga secara teratur”, misalnya.

Kelima, pertanyaan yang terlalu normatif. Masalah seperti ini biasa ditemukan pada soal-soal agama, budi pekerti, atau PPKn. Pertanyaan normatif menuntut jawaban ideal, meski kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Saya jadi teringat ketika ulangan mata pelajaran PMP (sekarang PPKn), sebuah mata pelajaran yang saking normatifnya, hampir mustahil ada siswa yang mendapatkan nilai di bawah kriteria ketuntasan. Dalam soal ulangan tersebut ada pertanyaan, di mana sebaiknya siswa membeli makan saat istirahat. Saya sudah paham, bahwa memilih jawaban membeli makan “di tepi jalan” akan dinilai salah oleh guru. Oleh karena itu, saya memilih jawaban “kantin sekolah”. 

Akan tetapi, tepat setelah bel jam pulang berdering, saya beserta teman-teman segera berhamburan ke luar pagar sekolah. Apa yang saya lakukan? Ya sudah pasti, saya dan teman-teman mengerubuti penjual jajanan di tepi jalan.

Muhammad Makhdum, guru SMP, tinggal di Tuban.

[red/bp]

One thought on “Soal-Soal Ujian Sekolah yang Kerap Bikin Masalah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *