Beratnya Tanggung Jawab Ustaz Mukim di Pesantren

“Sekejap memori itu menjadi penanda bahwa tanggung jawab menjadi pengelola pesantren adalah sangat berat.”

Sebuah berita lewat di linimasa media sosial saya. Temanya tentang pesantren, bukan tentang kasus pelecehan seksual, tetapi tentang seorang santri yang tewas dikeroyok oleh teman satu kamarnya. 

Berita tersebut mengatakan bahwa pengelola pesantren turut diperiksa oleh pihak kepolisian. Tak ayal, berita ini menyeret kenangan masa lalu saya yang sempat berurusan dengan polisi dikarenakan urusan santri.

Peristiwanya terjadi di tahun 2015. Saya mendampingi istri, yang kala itu menjadi ketua asrama putri, untuk menghadapi kasus larinya seorang santri dari pesantren. Bukan hanya lari seorang diri, tapi dia juga membujuk salah seorang teman agar mau melarikan diri bersama dengannya.

Saat itu belum banyak CCTV yang terpasang seperti saat ini, sehingga cukup menyulitkan kami untuk menyelidiki ke mana dan mengapa dia pergi. Masalah juga semakin rumit karena ternyata tidak ada satu pun warga pesantren yang mengetahui perihal larinya santri ini. 

Sebagai langkah awal, jelas, kami menghubungi wali dari kedua santri ini untuk melacak apakah mereka pulang ke rumah. Sayangnya, tidak ada satupun kabar baik yang kami terima. 

Hingga dua hari kemudian, kami bersama wali santri sepakat untuk melapor kepada pihak berwajib, dengan wali santri berangkat terlebih dahulu dan kami menyusul kemudian.

Saya merasa sesak, terlebih istri saya yang terlihat pucat dan gelisah menghadapi perkara ini. Waktu tenggat bagi Kepolisian untuk menentukan bahwa ini adalah kasus orang hilang (2×24 jam) masih tersisa tiga jam lagi. Dan belum ada tanda-tanda mereka ditemukan.

Oleh Polisi, istri saya dipanggil masuk ke dalam sebuah ruangan, dimintai keterangan. Pak Polisi mengetik apapun yang dikatakan istri saya. Apa istri saya di-BAP-kan? Saya bertanya-tanya waktu itu. Yang jelas, entah mengapa saya yakin jika 3 jam lagi dua orang itu tidak ditemukan, istri saya mungkin harus tinggal di kantor ini. 

Saya hanya bisa diam dan menunggu. Tidak ada yang bisa saya lakukan, dan tidak ada petunjuk sama sekali yang mengarahkan saya untuk berbuat apapun. Hingga akhirnya ponsel salah satu wali santri berdering hanya sejam sebelum waktu tenggat habis.

Sebuah kabar datang. Menurut kabar itu, kedua santri yang melarikan diri itu saat ini ada di Surabaya, di rumah saudaranya, ratusan kilometer dari pesantren kami. Kami pun langsung bergegas berangkat ke tujuan yang dimaksud.

Di sana, kami bertemu mereka saat “injury time”. Sang bapak ternyata sudah lebih dulu tiba, memeluk anaknya dengan tersedu. Kami ikut terharu. Mereka mengaku disekap penjahat, namun berhasil meloloskan diri. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk memastikan bahwa ceritanya hanya karangan belaka. Belakangan, santri pertama mengaku mengajak temannya melarikan diri untuk mencari kerja, entah ke mana. 

Saya tidak peduli, yang penting mereka telah ditemukan dalam keadaan selamat.  Yang jelas, kami merasa lega, karena tidak lagi harus berurusan dengan Kepolisian. 

***

Sekejap memori itu menjadi penanda bahwa tanggung jawab menjadi pengelola pesantren adalah sangat berat. Seorang ustaz yang mukim mempunyai kewajiban menjaga para santri selama 24 jam. 

Hal ini, tentu berbeda dengan seorang ustaz yang datang semenjak pagi dan pulang di sore harinya. Ustaz mukim adalah nama lain santri hanya berbeda pekerjaan saja, santri belajar, dan ustaz mengajar. Mereka tidur di atas atap yang sama, bergelut dengan suasana yang sama, minum dari sumber yang sama, dan makan dengan menu yang juga sama. Iya, perlu saya tegaskan di sini sekali lagi, selama 24 jam, 7 hari satu minggu. 

Pernah suatu ketika, saya menemukan story wa seorang ustazah mukim yang berkeluh kesah dengan keadaannya, ingin segera pulang, dan berbaur dengan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri pula, profesi ini memang rawan mengalami tekanan berat. Dan saya sangat menyadari dan memakluminya, dan bergegas mendoakan yang terbaik untuknya.

Belum lagi ketika ada perselisihan antar santri yang memakan korban hingga melibatkan kepolisian. Saya tidak bisa membayangkannya lebih jauh. 

Bagaimana dengan haknya sebagai ustaz yang demikian berat?

Apakah Anda yakin berbicara tentang hak seorang pengajar di pesantren? [red/rien]

Ahmad Natsir, pernah nyantri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *