Site icon ghibahin.id

Singapura, Lansia, dan Kesadaran Menjaga Kebersihan

“Pendidikan akan pentingnya kebersihan sejak dini, misalnya. Tapi bagi pengunjung jangka pendek seperti saya, faktor petugas kebersihan lansia itu telak banget.”

Setelah berhemat dan menabung gila-gilaan selama setahun, akhirnya di tahun 2001, seorang warga kota kecil di kaki gunung Merapi (baca: saya) bisa menjejakkan kaki di negeri tetangga, Singapura. Ceritanya mau ikut kompetisi debat di universitas setempat, terus lanjut jalan-jalan. Seru pokoknya. Eh, belum juga keluar dari bandara, saya sudah syok. Bukan karena terheran-heran melihat bandaranya yang canggih lho ya. Saya tidak se-ndeso itu. 

Syoknya gara-gara melihat petugas kebersihan toilet, seorang ibu berusia sekitar 65 tahun, atau bahkan lebih. Usai membersihkan toilet hingga kinclong dan wangi, ia mempersilahkan saya masuk. Ya ampun, rasanya sungguh campur aduk! Pasalnya, saat melihat ibu itu, saya langsung ingat pada Bude saya yang usianya kira-kira sebaya. 

Duh, kalau ini di rumah, dan Bude saya hendak membersihkan toilet, pasti tidak saya perbolehkan. Urusan bersih-bersih jamban biarlah dikerjakan oleh anggota keluarga yang lebih muda. Pokoknya Bude yang disayangi dan dihormati jangan sampai membersihkan toilet. Apalagi kalau setelah itu kita yang memakai toiletnya. Tidak pantas rasanya. 

Saat itu, di bilik kecil itu, saya merasa durhaka sekali. Usai membuang air kecil dan menekan tombol flush, saya mengamati toilet dengan teliti. Apakah airnya sudah jernih lagi? Apakah dudukannya masih mengkilap seperti semula? Setelah memastikan jawabannya “iya”, barulah saya keluar. Untung sepatu saya kering dan bersih, sehingga lantai tidak ternoda. Jangan sampai merepotkan Bude, eh si ibu petugas kebersihan. 

Keluar dari toilet, syok kedua menerpa. Seorang bapak-bapak berusia sekitar 70 tahun berpunggung agak bungkuk sedang mengepel lantai. Ya ampun, rasanya seperti melihat Pakde saya! Duh, lagi-lagi, kalau ini di rumah, nggak bakal saya perbolehkan beliau mengepel lantai. 

Lanjut jalan sedikit, akhirnya ketemu panitia acara yang bertugas menjemput. Saat melewati food court yang luas, terlihat ada beberapa orang lansia sedang bekerja. Tisu, gelas air mineral, semua dimasukkan ke kantong sampah. Piring, gelas, sendok, garpu, dan pisau makan dikumpulkan untuk kemudian dicuci. Meja-meja dilap dan dibersihkan. 

Panitia yang warga negara Singapura menjelaskan bahwa di sana lansia bisa bekerja paruh waktu setelah melewati masa pensiun. Tujuannya agar mereka bisa tetap aktif, sehat dan bugar, tidak bosan di rumah, dan tidak lekas pikun. Selain itu, mereka juga merasa senang dan bangga karena masih bisa punya penghasilan sendiri. 

“Saat Imlek atau perayaan keluarga lain, mereka bangga karena masih bisa kasih angpao ke anak-cucu. Selain itu, dengan bekerja, otomatis mereka aktif bergerak secara fisik, namun tidak berlebihan. Mereka hanya mengerjakan yang ringan-ringan saja kok. Di tempat kerja bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Alhasil, mereka tidak bosan dan tidak mudah pikun.” Begitu penjelasan panitia menjawab penasaran saya.

Tetap bekerja di usia lanjut ternyata berdampak positif. Selain baik untuk lansia itu sendiri, baik juga untuk masyarakat umum. Barangkali, karena melihat pekerjaan bersih-bersih dilakukan oleh lansia, masyarakat setempat jadi tidak tega meninggalkan tempat yang baru saja mereka pakai dalam keadaan kotor.

Sehabis makan di food court misalnya, orang akan berusaha meninggalkan meja dalam kondisi sebersih mungkin. Peralatan makan dan minum sekali pakai serta sisa makanan langsung dibuang sendiri ke tempat sampah. Sisa makanan dan minuman yang tercecer di atas meja dilap dengan tisu. Jadi nanti petugas kebersihan tinggal mengangkut sendok, garpu, pisau, gelas, dan piring beling, serta menyeka meja. 

Selama dua mingguan di Singapura, saya tidak pernah melihat orang meninggalkan toilet dalam keadaan kotor sekali. Paling banter hanya meninggalkan jejak sepatu di lantai. Itu terkadang sulit dihindari, terutama kalau di luar sedang hujan. Mau tidak mau sepatu kita pasti basah dan agak kotor. 

Tapi dudukan toilet bisa dibilang sudah pasti bersih, karena sepertinya masyarakat Singapura benar-benar memakainya dengan cara duduk, tidak naik ke atasnya lalu jongkok seperti sebagian warga di negara Wakanda. 

Maaf ya, fokus saya memang lebih ke arah kebersihan toilet. Sebab, kalau bicara soal buang sampah sembarangan, di Singapura sudah ada denda ratusan dolar yang siap mengancam, sehingga masyarakat terpaksa patuh. Sedangkan toilet kan letaknya tersembunyi, relatif bebas dari ancaman denda. Jadi kalau toilet bisa tetap bersih, bisa disimpulkan itu murni karena kesadaran para penggunanya.

Nah, dari mana kesadaran ini muncul? Tentu ada banyak faktor. Pendidikan akan pentingnya kebersihan sejak dini, misalnya. Tapi bagi pengunjung jangka pendek seperti saya, faktor petugas kebersihan lansia itu telak banget. Apapun yang terjadi, saya tidak akan pernah meninggalkan toilet dalam kondisi kotor. Tisu kering dan tisu basah selalu siap sedia bilamana diperlukan. Pokoknya jangan sampai merepotkan ibu-ibu yang sebaya Bude saya tadi.

Saya yakin saya tidak sendiri. Orang Indonesia lain yang pernah mengunjungi Singapura atau negara lain tentu merasakan hal yang sama. Nah sekarang, ketika kita sudah kembali ke Indonesia, apakah rasa rikuh pada petugas kebersihan itu ikut dibawa pulang atau ditinggalkan di sana?

Di Indonesia, para petugas kebersihannya rata-rata memang masih muda. Namun rasa rikuh yang kita rasakan di Singapura juga bisa diterapkan di sini. Bedanya, kalo yang di sana itu serupa Bude dan Pakde kita, yang di sini serupa adik-kakak dan teman-teman kita.

Tegakah kita meninggalkan toilet dalam kondisi kotor, kalau yang bertugas bersih-bersih itu adik kita sendiri? Atau membiarkan meja kotor berantakan sehabis menikmati ayam Kaepsi. Tega sih, kalau kebetulan lagi sebel sama adik, hahaha.

Bercanda lho. Maksud saya, coba deh untuk menganggap para petugas kebersihan itu sebagai adik, kakak, teman, paman, atau bibi kita. Toh mereka juga pasti merupakan keluarga bagi orang lain, kan? Lihat, apakah kesadaran kita untuk menjaga kebersihan bisa semakin meningkat? Pasti bisa.

Santi Kurniasari, mantan debater.

[red/rien]

Exit mobile version