Siapa Bilang Tinggal Menerima Saja itu Mudah?

Idul Fitri baru saja kita rayakan. Hari ini, sebagian orang sudah kembali masuk kerja. Namun sukacita Lebaran, hangat senyum rindu dari saudara, hingga rasa nikmat hidangan khas Lebaran tentunya masih melekat di benak kita. 

Ada hal yang dari tahun ke tahun menjadi budaya dalam merayakan Idul Fitri, yaitu berbagi bingkisan. Perihal memberi sesuatu untuk kerabat menjadi hal yang sangat lumrah di momen Lebaran. Nah, apa yang teman-teman pikirkan saat memberi bingkisan? Tentu kebanyakan berharap agar pemberiannya dapat diterima oleh orang yang dituju.

Lalu, apa yang teman-teman rasakan saat menerima bingkisan? Umumnya kita merasa senang dan muncul keinginan untuk berterima kasih. Selanjutnya, muncul juga keinginan untuk bisa membalas bingkisan itu dengan bingkisan balasan. Umumnya sih, begitu, ada keinginan besar untuk bisa membalas pemberian orang lain. 

Memang, nggak semua orang akan mudah menerima bingkisan dan kebaikan begitu saja. Bahkan di sebagian orang, ada yang justru dalam hati bertanya-tanya mengapa ia diberi bingkisan. Ada pula yang lantas berpikir, “Apa yang diharapkan oleh pemberi bingkisan dariku?” Sungguh bukan hal yang mudah, menerima bingkisan tanpa keinginan untuk membalas kiriman bingkisan dengan bingkisan lainnya secepatnya atau suatu hari nanti.

Itulah yang pernah saya rasakan bertahun-tahun. Saya sering kesulitan menerima bingkisan. Oke, saya tahu untuk berterima kasih, lalu apa lagi? Harus membalas dengan apa ketika saya diberi bingkisan? Hingga suatu saat saya bertemu dengan seseorang yang membagikan cerita tentang kesulitannya mengatasi konsep hubungan transaksional. Ya, ia memakai diksi hubungan transaksional. Lewat cerita teman saya itu, saya pun menyadari pola relasi transaksional dalam pemikiran saya dahulu. 

Dalam perjalanan hidup teman saya itu, ia merasa tiap memberi sesuatu, sering dianggap sedang “membeli” sesuatu dari orang yang dia beri hadiah. Ia juga mengalami ketika mendapat pemberian dari orang lain, kelak pemberian itu terus menerus diungkit kembali. Perasaannya itu mungkin merupakan akumulasi pengalaman dalam perjalanan hidupnya di masa lalu. Hal itu membuatnya memiliki pemahaman bahwa ketika ada orang memberi sesuatu, maka tugasnya untuk memikirkan tentang membalas pemberian itu. 

Di kemudian hari, perjalanan hidup membawanya bertemu dengan orang-orang baru. Perihal memberi dan menerima menjadi hal yang membingungkan baginya karena pada akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang memberi sesuatu bukan untuk bertransaksi. Meski begitu, tiap seseorang memberinya hadiah, ia akan berpikir cukup dalam. “Perlukah hadiah ini dibalas? Apa yang ia mau dariku? Bagaimana ia ingin aku membalasnya?” Pemikiran seperti itu yang terjadi terus menerus membuatnya gelisah. Ia pun ingin lepas dari pemikiran tentang desakan dalam dirinya untuk bersegera membalas hadiah dengan hadiah lainnya.

Setelah ia bercerita bahwa ia ingin belajar lepas dari pemikiran seperti itu, saya pun berusaha menahan diri buat mengirimkan hadiah untuknya. Saya nggak ingin dia berpikir saya ingin mengikatnya. Dia pun sama. Ia menahan diri untuk memberi saya hadiah-hadiah walau kami teman yang sangat dekat. Kami tetap memelihara pertemanan tanpa hadiah-hadiah, walau perihal saling memberi hadiah adalah hal yang lumrah dalam gaya pertemanan zaman sekarang. 

Tetapi, suatu hari ia mengirim kado untuk saya. Sebuah earphone Sony berwarna biru, tanpa ucapan, tanpa keterangan, hanya bungkus original dari tokonya. Saya langsung tahu, itu kiriman darinya. Pasalnya, saya baru saja cerita bahwa earphone saya rusak dan saya belum mau membeli pengganti karena merasa belum cukup banyak menabung. Saya katakan padanya bahwa saya merasa belum cukup pantas membeli sesuatu buat diri saya. 

Saya pun menghubunginya untuk bertanya, “Ini darimu?”

Ia mengira saya akan marah. “Maaf, ya, nggak tanya-tanya dulu mau atau enggak. Jangan dibalas hadiah juga, ya, Mbak.” balasnya. Saya tahu dia serius tentang jangan membalas pemberiannya dengan hadiah lainnya.

“Saya nangis nerima ini, sampai gemetaran. Bukan hanya karena benda ini tidak murah buat saya. Tapi karena kamu melihat saya layak menikmati apa yang saya kira belum pantas untuk saya miliki. Saya rasa itulah mengapa kamu belikan tanpa tanya ke saya dulu mau atau enggak. Eh, suami saya cemburu lho, sama earphone biru ini. Soalnya dia keduluan kamu, dia mau ngado juga. Hahaha. Makasih, ya, Mbak.” begitu balasan saya. 

Bulan pun berlalu. Lalu suatu saat, ia datang ke Jogja untuk menemani suaminya bertanding futsal. Kami janjian ketemuan dari berbulan-bulan sebelumnya. Siang itu, ia memakai kaos Green Day, salah satu band kesukaannya. Memang si paling alternatif dia itu. Kedua putri dan suaminya turut serta. Kami makan siang bersama di Sate Sor Talok, Bantul, tempat makan favorit suami dan anak-anak saya. 

Mereka sekeluarga tak menolak saya ajak bertemu di tempat yang tak asing buat saya walau jauh dari tempat mereka menginap. Seusai makan, kami bercengkrama sebentar. Anak-anak membicarakan game dan kami berswafoto saja. Sesudah itu, kami sama-sama meninggalkan meja makan hendak membayar sate, tongseng, dan tengkleng yang sudah kami nikmati. Lalu, biasalah, di hadapan pemilik warung sate, kami rebutan ingin mentraktir. Sampai-sampai kami diledek si pemilik warung sate. 

Tetapi, melihat saya sudah membuka dompet, ia pun menahan diri untuk mengeluarkan uang dari dompetnya. Saya pun bilang ke mas penjual sate, “Sebenarnya, dalam dompetnya itu, uangnya jauh lebih banyak dari saya, Mas. Tapi ini giliran saya buat mentraktir dia yang udah jauh-jauh dari Bandung ke sini demi ketemu saya.” Kami pun berpisah di sana, mereka berencana kembali ke Bandung sore harinya. 

Sepulang dari warung sate, ia mengirim pesan. “Terima kasih, sudah mencegah saya buat mentraktirmu, mencegah saya merasa perlu memberimu sesuatu.” 

Sampai hari ini, kami nggak saling kirim hadiah lagi. Saya juga tidak mengirimkan bingkisan buatnya yang merayakan Idul Fitri. Seperti itulah cara kami membangun pertemanan sesudah obrolan soal kesulitan tentang menerima hadiah. Bukannya saling membanjiri dengan hadiah, tapi sebaliknya, hanya memberi hadiah ketika punya waktu dan alasan yang kuat. Kami sama-sama ingin percaya, bahwa bisa menerima pemberian tanpa curiga, tanpa bertanya-tanya adalah anugerah. 

Dalam momen Idul Fitri, cinta dan kebaikan liyan juga diberikan lewat permintaan maaf yang tulus. Tapi mudahkah menerima permintaan maaf? Mungkin, menerima ucapan maaf bahkan lebih sulit daripada menerima bingkisan. Bisa saja kita menganggap si peminta maaf hanya berbasa-basi. Bisa saja kita berpikir bahwa ucapan maaf hanya sekadar ungkapan normatif di hari raya. Memang tak mudah untuk selalu bisa menerima cinta dari liyan tanpa merasa dibeli. Sama sulitnya dengan menerima permintaan maaf yang kita curigai tidak tulus dari hati, hanya bunga-bunga di bibir saja. 

Namun bukan tak mungkin untuk melatih diri menjadi manusia yang lebih mudah ikhlas dalam menerima kebaikan, permintaan maaf, bahkan ujian kehidupan. Ada satu hal yang saya percaya sebagai manusia yang mengakui kebesaran Tuhan. Bahwa, saya sebagai manusia, punya kodrat untuk menjalani peran sebagai penerima. Maka pemberian Tuhan dalam bentuk apa pun, semestinya saya pandang sebagai hal yang perlu diterima saja tanpa mempertanyakan. Namun jelas bahwa itu bukan hal yang mudah. Menerima memang ternyata tidaklah mudah buat saya dan buat saya, tidak apa-apa terus belajar menerima hadiah-hadiah dan kebaikan dari liyan. Sama seperti saya sebagai manusia, senantiasa berusaha sanggup menerima pemberian Tuhan. 

Butet RSM, ibu tiga anak yang tulisan-tulisannya dapat dibaca di sini https://linktr.ee/ButetRSM

[red/TE]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *