Siapa Bilang Gautama Komika Pengecut?

“Tertawa adalah bentuk dari kegembiraan”

Eksistensi stand-up comedy di Indonesia kian berkibar. Sejarahnya memang sudah cukup lama, tetapi titik balik kepopulerannya baru dimulai sejak kompetisi stand-up comedy digelar oleh salah satu stasiun televisi swasta. Dari sana lahirlah komika-komika baru yang meramaikan dunia hiburan tanah air.

Stand-up comedy berbeda dengan lawakan pada umumnya. Pada sebuah grup lawak, para anggota bisa berbagi peran untuk membuat penonton tertawa. Satu anggota dengan anggota lain bisa saling melengkapi. Keberhasilannya bersifat kolektif. 

Sedangkan, karena stand-up comedy dibawakan secara monolog, maka ia mengandalkan kecerdasan para komika (pelaku stand-up comedy) dalam mengolah bahan-bahan lawakannya. Mulai isu politik, potret kehidupan sosial masyarakat, sampai keresahan pribadi, semua disuguhkan sedemikian rupa agar apa yang disampaikan dapat mengundang gelak tawa penonton. Bahan-bahan lawakan tadi biasanya diolah oleh para komika dengan memanfaatkan berbagai teknik, seperti rule of three, one liner, act out, impersonation, roasting, riffing, dan call back

***

Pada show ketiga SUCI X (Jumat, 9 September 2022), seperti biasa Gautama yang selalu memperkenalkan dirinya sebagai bapak-bapak funny dari Jepara, tampil konsisten dengan menyelipkan tebak-tebakan pada materinya. Penampilannya bagus. Bit-bitnya kena. Tawa penonton pun pecah.

Namun, di akhir pertunjukan, salah satu juri berkomentar kira-kira seperti ini, “Bikin penonton ketawa dan jadi komika yang bagus itu dua hal yang berbeda ….” Kemudian ia melanjutkan, “Tapi kalau elu main tebak-tebakan di SUCI, buat gua, elu komika brilian yang pengecut.”

Pada dasarnya komentar tersebut adalah pujian. Bahwa di malam itu, seperti penampilan-penampilan sebelumnya, Gautama bisa membuat bit-bit lucu yang brilian tanpa harus mengandalkan tebak-tebakan. Hanya saja, karena pemilihan diksi yang kurang tepat, komentar sang juri memicu sedikit kegaduhan. 

Gautama dianggap tidak fair karena main tebak-tebakan. Dalam cuitannya, sang juri mengatakan, “Di SUCI, ada komika yang serius menulis bit, tapi ada juga yang cuma main tebak-tebakan. Adil? Kalo menurut gue, enggak.”

***

Dalam sebuah komedi, membuat penonton tertawa adalah main course, karena pada dasarnya tujuan komedi adalah menghibur dan menimbulkan tawa. Mengapa seseorang tertawa? Yah, karena melihat atau mendengar hal yang lucu. Tertawa adalah bentuk dari kegembiraan. Tertawa terjadi saat orang merasa nyaman, merasa terbuka dan bebas. 

Sebenarnya teknik tebak-tebakan yang digunakan Gautama tidak bisa dianggap receh. Untuk membuatnya butuh kreativitas dan kecerdasan. Nyatanya, teknik tebak-tebakan yang ia gunakan selalu membuat tawa penonton pecah. Dan memang, kekuatan jokes Gautama bukan hanya pada tebak-tebakannya, tetapi pada kecerdasannya mengemas dan men-deliver tebak-tebakan tersebut.

Akhirnya, ini memang perkara prinsip. Di satu sisi, sang juri memegang prinsip bahwa stand-up comedy adalah sebuah bentuk komedi yang memiliki cirinya sendiri. Ia memiliki batasan-batasan yang rigid. Ciri itu adalah identitas yang perlu dijaga. Karena ia merupakan pembeda antara stand-up comedy dengan bentuk suguhan komedi lainnya.

Sementara, seorang penonton seperti saya tidak terlalu peduli dengan teknik apa yang digunakan si komika. Bahkan, saya tak terlalu mau tahu tentang beragam teknik yang digunakan si komika. Yang penonton inginkan adalah bagaimana seorang komika menyajikan kelucuan, sekalipun itu ditempuh lewat jalur tebak-tebakan. 

Sebergizi apapun materi seorang komika, kalau tidak bisa membuat penonton tertawa, maka materi yang disampaikannya tersebut belum bisa disebut komedi. Artinya, materi tersebut gagal mencapai tujuan komedi itu sendiri, yakni tawa penonton. Ya, kan?

Perjalanan stand-up Gautama adalah pertarungan antara prinsip stand-up comedy versus selera penonton. Akankah tebak-tebakan Gautama dipinggirkan karena dianggap melanggar pakem stand-up comedy? Atau justru malah Gautama yang akan menjadi wajah baru stand-up comedy Indonesia, ketika tebak-tebakannya diterima sebagai teknik baru yang lebih segar?

Kita tunggu saja.

Roy Waluyo, Penikmat Stand-Up Comedy, tinggal di Bogor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *