Sepakbola Kita yang Menjadi Tidak Biasa

ghibahin

Beberapa kali saya mencoba menonton siaran sepakbola, tapi semuanya hanya maksimal sampai sepuluh menit pertama. Selanjutnya yang saya lihat otomatis menyambungkan ingatan saya ke tragedi Kanjuruhan.

Sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, saya dan teman-teman kampung rutin bermain futsal tiap hari Rabu jam tujuh sampai sembilan malam. Itu adalah kegiatan kami setiap minggu, sekadar untuk senang-senang saja dan menjaga kesehatan tubuh. Walau begitu, terkadang adrenalin yang meningkat disertai perasaan tidak mau kalah, membuat main futsal yang harusnya biasa-biasa saja, menjadi tidak biasa.

Lalu, di satu Rabu malam yang nahas, terjadilah sesuatu yang mengerikan. Tensi permainan lumayan tinggi. Satu lemparan tinggi dari kiper lawan melewati kepala saya. Satu pemain lawan dan kiper kami sama-sama melompat untuk mendapatkan bola hingga terjadi benturan. Celakanya, si kiper kehilangan keseimbangan akibat benturan tadi dan jatuh dengan posisi kepala menyentuh lantai terlebih dulu. 

Ketika dia tidak kunjung bergerak setelah benturan tersebut, kami sadar sesuatu yang buruk telah terjadi. Tanpa pikir panjang lagi, kami menghentikan permainan saat itu juga, lalu membawanya ke klinik terdekat. Jaraknya hanya dua ratus meter saja dari tempat futsal kami. Berbonceng tiga dengan si kiper berada di tengah, kami secepatnya pergi ke klinik tersebut.

Sayangnya dokter di klinik itu tidak bisa berbuat banyak karena kurangnya peralatan yang ada. Dia lalu memberikan surat rujukan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Sebelum berangkat ke rumah sakit, teman kami itu muntah-muntah dan mengeluarkan semua isi perutnya. Tak pelak, hal itu membuat kami semakin khawatir akan keadaannya.

Setelah dibawa ke rumah sakit, teman kami itu hanya bisa bertahan selama semalam di UGD. Kira-kira jam sembilan atau sepuluh pagi, dia menghembuskan napas terakhirnya. 

Itu sudah takdirnya. Wis wayahe. Dan kata-kata ceramah lainnya terkadang membuat saya muak. Saya tahu kebenaran akan hal itu, tapi tetap itu tak membuat saya berhenti memikirkan dua kata “kalau saja”. Kalau saja mainnya biasa-biasa saja, ndak terlalu ngoyo. Pasti tragedi itu tidak akan terjadi. Dan, mulai saat itu saya hampir tidak pernah main bola atau futsal lagi.

Nah, perasaan yang sama kembali saya rasakan pada pagi hari tanggal 2 Oktober saat melihat berita olahraga di TV One. Dua kata itu terucap lagi, “kalau saja”.

Malam sebelumnya, hari Sabtu tanggal 1 Oktober, saya menyaksikan pertandingan sepakbola nasional paling seru, paling menghibur, dan paling mendebarkan sepanjang gelaran liga satu musim ini. Kedua tim bermain dengan tensi tinggi, penuh semangat, skill mumpuni, dan tak kenal menyerah.

Di 35 menit pertama, seiring dengan dua gol awal Persebaya oleh Junior dan Lelis, saya sangat yakin kalau Persebaya kali ini akan menang mudah di kandang Arema. Nyatanya, belum juga babak pertama usai, Arema sudah bisa menyamakan kedudukan lewat dua gol penyerang mereka Abel Camara di penghujung babak pertama. Nah, saat itu keyakinan Persebaya menang tadi segera saja menguap. Berganti dengan kalimat “kalah maneh iki”.

Ketika akhirnya salah satu pemain Persebaya dari Jepang, Yamamoto, mampu menyarangkan bola ke gawang Arema di menit ke-51, saya bersorak kegirangan. Menit-menit setelahnya sampai peluit panjang dibunyikan, adalah penantian yang sangat mendebarkan dan mengasikkan. Saat akhirnya pertandingan berakhir, saya berucap “engkok bengi iso turu ayem iki”.

Kalimat tersebut nyatanya saya sesali di pagi hari saat saya melihat siaran TV swasta. Di situ saya tercengang melihat perkiraan jumlah korban sementara di layar TV. Tak perlu saya ceritakan lagi kronologinya dalam tulisan ini, toh sudah banyak tulisan yang menceritakannya dengan sangat detail. Yah, kecuali yang versi reka ulang polisi yang dilakukan di lapangan Mapolda Jatim, Surabaya. Versi yang ini bisa diperdebatkan karena sama sekali tak memperlihatkan adegan penembakan ke tribun.

Sudahlah nggak usah dibahas hal itu, biarlah proses peradilan yang menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dan, kalaupun ada yang disembunyikan biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Bagaimanapun, Sang Pemilik Keadilan tidak pernah tidur, bukan?

Beberapa hari yang lalu adalah peringatan 40 hari tewasnya ratusan suporter Aremania secara bersamaan. Selama itu keluarga mereka akan berduka, menangis, dan merindukan mereka. Namun, 40 hari sepertinya tidaklah cukup. Perasaan “kalau saja” tetap saja menghantui. 

Kalau saja Persebaya tidak menang. Kalau saja tidak ada suporter yang turun ke lapangan. Kalau saja polisi tidak menembakkan gas air mata. Kalau saja pintu keluar tidak dikunci, dan kalau saja yang lainnya membuat saya tidak bisa lagi merasakan kegembiraan dan keseruan menonton bola. 

Beberapa kali saya mencoba menonton siaran sepakbola, tapi semuanya hanya maksimal sampai sepuluh menit pertama. Selanjutnya yang saya lihat otomatis menyambungkan ingatan saya ke tragedi Kanjuruhan. Dan, saya pun menghindari menonton siaran sepakbola sampai saat ini. 

Toh, kalau hanya untuk mencari keseruan, saya bisa melihat pertandingan bola voli atau bola basket di Moji TV. Memang awalnya berat sama sekali tidak melihat sesuatu yang sudah menjadi hobi sejak kecil, tapi mau bagaimana lagi, lha wong nyesek banget! Ah, semoga waktu bisa mengobati rasa sakit saya dan semua pecinta bola di negeri ini. 

Ah, iya, saya sampai lupa. Saya harus mengakhiri tulisan ini dengan ucapan terimakasih ke beberapa orang. Pada dua suporter Aremania yang turun ke lapangan. Pada Panpel stadion yang lalai dalam tugasnya. Pada PSSI yang hanya mau uangnya tanpa melakukan perbaikan-perbaikan yang signifikan pada kompetisi. Dan terakhir, terimakasih yang paling dalam saya ucapkan pada beberapa oknum polisi yang terlalu represif. 

Ngomong-ngomong, khusus untuk yang ucapan terimakasih itu sebenarnya adalah “Hari Kebalikan”.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *