Sejarah Lokal dan Sebuah Jalan Pulang

“Kadang kala saya termenung, jangan-jangan perasaan besar sebagai bangsa kadang membuat kita lupa dengan jati diri dan asal muasal.”

“Kamu belajar klenik ya?”

“Kok kamu sekarang tertarik dunia perdukunan?”

“Lagi belajar kejawen, kah?” 

Itu semua adalah pertanyaan yang paling sering saya dengar sekarang ini, mengalahkan intensitas pertanyaan soal kapan mau nikah, yang dulu begitu mendominasi. Pertanyaan itu hadir berkat perjalanan saya menyusuri makam-makam kuno di sekitar Yogyakarta setahun belakangan.

Tidak peduli Revolusi Industri 4.0 sudah digaung-gaungkan, tidak peduli klaim modern di banyak mulut anak bangsa, makam kuno tetap saja lebih dekat ke nuansa mistis daripada pesan historis. Pengunjungnya pun lebih dekat ke arah orang yang akan lelaku kebatinan, daripada pemerintah yang sedang melakukan pemetaan untuk revitalisasi. 

Di antara hiruk pikuk dan prasangka itulah saya mencoba untuk pulang, menggali sangkan paraning dumadi, dari apa dan siapa saya datang dan kembali. 

Sejarah Lokal

Bertahun-tahun lamanya saya pernah merasa durhaka pada nilai lokalitas. Rasa itu muncul karena saya terlambat mengagumi dan mempelajari sejarah tanah tempat saya dibesarkan. Dulu, saya yang hanya tahu Gadjah Mada dan Majapahit, tidak menyangka jika sejarah lokal ternyata amat mengagumkan. 

Perkenalan saya dengan sejarah lokal, dalam hal ini sejarah Jawa, terjadi ketika saya mengalami sebuah titik jenuh dalam belajar sejarah. Hingga, seorang kawan menawarkan sebuah novel sejarah karya Romo Mangun, Roro Mendut. 

Momen itu membuat saya tertampar!

Kehidupan pahlawan-pahlawan lokal ternyata sama rumitnya dengan para pahlawan Indonesia modern. Hal inilah yang agaknya sering luput dalam pembelajaran sejarah selama ini. 

Diponegoro misalnya. Ia digambarkan dalam mayoritas buku sejarah, terutama yang beredar di sekolah, sebagai pahlawan yang menentang kekuasaan Belanda karena tanah leluhurnya di Tegalrejo dilewati proyek kereta api. Padahal, pemberontakannya dilandasi latar belakang sosial spiritual dan ia tidak berhadapan dengan Belanda semata. Atau, Sultan Agung, yang digambarkan 2 kali menyerang Batavia dengan gagah berani padahal itu dilakukan dalam rangka perluasan koloni. 

Mendalami sejarah lokal, bagi saya, adalah sebuah upaya menggali seluk beluk tanah tempat saya dibesarkan. Ada banyak sekali tokoh dari masa silam yang warisannya masih bisa digunakan hingga kini. Entah itu bangunan, sistem kepercayaan, atau sekadar nasihat bijaksana. 

Dalam konteks paling pribadi, saya mulai rajin menziarahi makam leluhur. Dulu, saya hanya melakukannya 2 kali setahun yakni saat sadranan dan selepas salat id. Kini, saya bisa melakukannya hampir sebulan sekali. 

Menyusuri sejarah lokal juga membawa sebuah metode belajar sejarah yang baru dalam diri saya. Itu semua tidak lagi soal buku dan teori. Lebih dari itu, saya bisa belajar langsung di pusara tokoh-tokoh yang saya pelajari, bisa memegang langsung nisannya, berdoa di tepi pusara, atau menaburkan bunga di atasnya. 

Itu semua, dari waktu ke waktu, bermuara ke soal rasa. Saya menemukan banyak sekali pengalaman sekaligus pemahaman baru dalam hidup. Itu semua tidak bisa saya dapatkan ketika satu dekade lalu lebih memilih berkutat dengan sejarah Indonesia modern lewat buku teks nan tebal. 

Sebagai anak bangsa, saya memang berhutang budi pada Soekarno, Soedirman, hingga Tan Malaka. Tanpa mereka, Indonesia tentu tidak akan seperti sekarang ini. Namun sebagai pribadi, sebagai orang desa, sebagai orang Jawa, saya punya hutang lebih besar pada para leluhur, kakek, nenek, atau simbah buyut. 

Sejarah lokal, dalam titik tertentu, adalah sebuah jalan pulang bagi saya. Lewat puluhan tokoh, puluhan makam, saya kembali setelah sempat lelah berhadapan dengan teori-teori sejarah modern. Saya kembali ke tanah tempat saya dibesarkan yang dulu pernah dengan sengaja saya kesampingkan. 

Sebagai sebuah jalan pulang, ada jutaan rasa yang begitu sulit terungkapkan sekaligus ajaib –dalam arti sebenar-benarnya. Rasa ini mungkin sama tatkala seorang perantau menempuh belasan jam berkereta demi sebuah pertemuan dengan sanak kadang, untuk pulang. 

Soal rasa misalnya, saya yang selama ini mengaku sebagai manusia logis akhirnya bisa menemukan bahwa nuansa setiap makam kuno berbeda. Ada yang biasa saja, ada yang terasa mencekam, ada pula yang terasa sangat berwibawa. Itu semua, dulu, tidak pernah bisa saya dapatkan dari buku bacaan. 

Saya juga bilang ini ajaib. Satu contoh paling nyata adalah bagaimana saya selalu bisa bertemu juru kunci makam tanpa harus membuat janji terlebih dahulu. Mungkin pula, ini sama ajaibnya ketika seorang perantau merasa lebih tenang hatinya setelah mudik barang beberapa hari saja.

Sangkan Paraning Dumadi

Kadang kala saya termenung, jangan-jangan perasaan besar sebagai bangsa kadang membuat kita lupa dengan jati diri dan asal muasal. Entah dari segi kebijakan aplikatif hingga soal ruang identitas paling pribadi. 

Saya membayangkan betapa tidak adil ketika, misalnya, seorang bocah yang tinggal ribuan kilometer dari Jakarta dipaksa menghafal materi sejarah tentang tokoh-tokoh yang gambarnya lebih sering ditemukan di uang kertas dan buku pelajaran. Sementara, sejarah lokal mereka sendiri terdampar, terlempar jauh di tepi-tepi ingatan, dan buku-buku sejarah nan mahal tiada pernah mempedulikannya. 

Salah satu nilai lokalitas yang belakangan menyergap rasa nyaman saya adalah nasihat lawas soal sangkan paraning dumadi. Saya akan mengartikannya secara sederhana sebagai: dari apa dan siapa kita datang dan akan kembali. 

Saya, dan mungkin kita semua, mungkin telah lama kenyang dengan narasi kesejarahan sebagai sebuah bangsa besar yang lahir pada 1945. Namun, bangsa ini tidak begitu saja lahir dan hadir. Ia dibentuk dari ragam entitas kesejarahan bahkan sejak masa purba. 1945 hanyalah satu ruang kecil di dalam perjalanan tanah kepulauan ini. 

Mungkin pula, sudah saatnya kita semua untuk kembali menempuh jalan panjang untuk pulang menuju sejarah lokal di sekitar kita. Mengangkat nilai-nilai dan tokoh-tokohnya dari tepian memori, menyejajarkan mereka dengan tokoh-tokoh besar bangsa ini, dan akhirnya menemukan ruang pandang dan cara pandang lebih utuh, baik sebagai seorang pribadi manusia maupun sebagai sebuah bangsa.

Syaeful Cahyadi. Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *