Sebentar Saja Menjadi Manusia

Saya dengan perjalanan yang berbeda juga merasakan berbagai bentuk penyesalan; andai dulu saya begini, andai dulu saya melakukan ini itu, andai dulu saya mendaftar ini.

Tulisan ini sudah lama mengendap. Dan hari ini saya ingin menyelesaikannya. Saya menulis ini juga bukan dalam rangka mengingat mantan pacar saya yang seorang anggota isilop. Saya sudah menutup rapat buku lama itu. Tapi, soal kasus Brigadir J yang masih menjadi misteri alasan apa yang sebenarnya kasus besar ini bisa terjadi.

Tidak. Saya tidak akan membahas kasus yang jauh dari kapasitas tangan saya, melainkan tentang Bharada E atau Richard Eliezer yang konon sebagai eksekutor penembakan itu. Tentang Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang mimpinya-mimpinya harus berhenti begitu saja.

Sampai hari ini, saya masih mengikuti perkembangan berita terbaru dari kasus yang menyayat hati banyak orang ini. Brigadir J dan Bharada E, dua sosok yang kerap membuat saya live streaming menyaksikan kabar terbarunya, di mana saja.

Entah sudah berapa kali saya menangis saat mendengar atau melihat bagian yang membuat hati teriris, saat wawancara orangtua dua manusia baik hati itu, saat melihat foto kegiatan mereka layaknya anak muda seusianya, dan saat menyaksikan persidangan yang menguras banyak energi.

Bahkan saat mendengar teman saya kalau kakak iparnya menolak untuk menangani kasus tersebut saya semakin merasa bahwa kesedihan itu benar adanya. Atau yang terakhir saat Richard membacakan nota pembelaan atas tuntutan 12 tahun bui. 

Ia membacakan beberapa poin yang membuat saya menangis, sesenggukan, padahal saya sudah kehabisan energi karena baru saja bepergian. Saat ia memohon maaf kepada almarhum Yosua juga keluarga, ayahnya yang kehilangan pekerjaan karena kasus yang sedang ia hadapi, permintaan maaf kepada tunangannya yang harus menunda pernikahan bahkan mungkin gagal.

Kemudian ia menceritakan perjalanan panjangnya menjadi anggota Brimob, menjadi supir truk dan beberapa kali mencoba mendaftarkan diri menjadi anggota polisi namun gagal. Hingga akhirnya ia diterima menjadi Korps Brimob dan harus menelan kejadian pahit ini.

Lihat, betapa menganganya luka itu. Luka batin yang tidak bisa dijelaskan melalui apapun. Jika mengikuti perkembangan kasus sejak awal begitu banyak orang yang sudah bisa menebak siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ada yang terus mengikuti kabar terbarunya dengan berbagai macam perspektif, di tengah perjalanan ada yang kecewa karena ada berbagai kesimpulan tokoh yang digadang-gadang memiliki karakter protagonis, tapi tidak, dan ada juga yang tidak mau tahu.

Hal ini mengingatkan saya pada postingan salah satu orang yang muncul di beranda Facebook saya, “apa cuma aku yang nggak ngikutin berita Sambo?” Nggak cuma Anda. Saya menghela napas panjang.

Istilah “apa cuma aku, apa cuma aku ….” apakah membuat diri kita lantas menjadi istimewa kalau tidak melakukan hal tertentu seperti orang-orang pada umumnya? Kalaupun tidak mengikuti perkembangan kasus tersebut bisakah sedikit saja berempati tanpa bersikap demikian? Bisakah sebentar saja menjadi manusia? Sebentar saja mari kita sisihkan siapa yang menjadi terdakwa dan siapa yang menjadi korban untuk dua orang ini. Sebentar saja menjadi manusia sesungguhnya, seutuhnya.

Sebagai manusia. Menjadi manusia. Sebagai orang dengan usia yang hampir sama. Saya merasakan kepahitan luar biasa yang harus ditelan. Soal Bharada E. Soal kesedihan orangtua dan keluarga, rasa bersalah juga penyesalan yang masih tumbuh dalam dirinya, karir yang terhambat, pernikahan, pengalaman, kesempatan, dan banyak hal yang bisa ia lakukan sejak kemarin tertunda. Mimpi-mimpinya sementara harus ia simpan, dalam-dalam. Ia harus menelan pil pahit itu ribuan kali.

Kalau saja kejadian ini tidak terjadi, saat sedang libur dinas kamu bisa menghabiskan waktu di gunung, mendaki yang menjadi salah satu hobimu. Mengabadikan momen di sepanjang perjalanan lalu diposting seperti pendaki lainnya. Seperti di postingan Instagram yang pernah kamu lakukan. Yang mencintai alam. Yang mencintai sesamanya.

Kalau saja kejadian ini tidak pernah ada, ia bisa pergi berkencan dengan pacarnya seperti teman-temanmu. Menghabiskan malam minggu seperti saat kejadian ini belum ada. Menjadi manusia normal tanpa ada ketakutan. Atau sesekali kamu boleh saja membanggakan hasil kerja kerasmu menjadi anggota Brimob seperti teman-teman seusiamu Dan itu tak mengapa.

Satu menit saja menjadi manusia tanpa merasa bahwa apa yang diposting tidak membuat istimewa. Bayangkan, jika anggota mereka membaca postingan seperti di atas berapa banyak luka yang harus mereka telan sedangkan luka yang kemarin belum sembuh dengan utuh.

Saya, bukan menjadi kerabat dekat mereka turut membuat dada sesak. Satu menit saja menjadi manusia. Sesederhana itu. Sesederhana seperti saat kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tanpa pernah menghakimi.

Lalu, tentang almarhum Brigadir J. Mungkin mimpi-mimpimu mengendap begitu saja. Soal rencana kenaikan pangkat yang berhenti di tempat. Jenjang pendidikan yang belum lama kamu selesaikan menjadi kebanggaan juga kesedihan tak terhingga bagi keluarga.

Oya, ayahmu juga hadir di wisuda bulan Agustus kemarin. Kalau semuanya tidak terjadi, kamu bisa menjalani hari-hari menyenangkanmu seperti biasa. Kamu bisa melanjutkan mimpi-mimpimu. Menjadi manusia baik hati dengan cinta yang utuh dari keluarga.

Menjadi Manusia

Sidang putusan belum mencapai final, pekan depan masih ada agenda duplik-replik. Dan saya menjadi salah satu orang yang menantikan hasil putusan Richard Eliezer. 

Soal kesempatan juga mimpi-mimpi yang masih menjadi daftar yang harus kamu lakukan. Saya dengan perjalanan yang berbeda juga merasakan berbagai bentuk penyesalan; andai dulu saya begini, andai dulu saya melakukan ini itu, andai dulu saya mendaftar ini, andai saya tidak mengenal orang, dan masih banyak pengandaian lainnya yang membuat saya menjadi orang lupa.

Menjadi orang kufur. Menjadi pembenci. Menjadi orang yang jauh dari rasa syukur. Bukankah Tuhan tidak suka dengan mereka yang berkata “andai” atau “kalau aja” sehingga membuat diri kita lupa? 

Semoga, ya, apapun hasil akhir nanti Richard Eliezer semakin percaya bahwa kesempatan itu akan selalu ada bagi mereka yang percaya akan mimpi-mimpi. Untuk almarhum Brigadir J, namamu abadi. Mimpi-mimpimu selamanya menyala.

Di antara banyaknya kejadian yang menyayat hati namun jauh dari langkah kaki kita semoga sebentar saja, di mana saja kita bisa menjadi manusia yang bisa berempati tanpa harus merasa paling bisa berempati. Bisa? 

Ratna Syifa Nastiti. Clouds and sky admirer.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *