Rumah Aisyiyah Kajeksan: Gaya Arsitektur dan Wujud Pluralitas Muhammadiyah

“Gaya arsitektur di suatu wilayah sifatnya dinamis tergantung siapa yang menjadi penguasa pada saat itu. “

Berdasarkan temuan inskripsi di atas mimbar Masjid Menara Kudus, ada hal yang menarik untuk dibagikan kepada para pembaca Ghibahin.Id. Masjid itu terletak di Kota Kudus, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kudus memiliki ragam kultural yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1549 M. Kudus juga dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran Islam yang dipimpin oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Penyebaran Islam di Kudus dilakukan dengan pendekatan budaya. Tak mengherankan jika bangunan-bangunan pada masa Sunan, diadaptasi dari arsitektur Hindu, sebagai daya tarik untuk mengambil simpati masyarakat pada saat itu agar mau memeluk Islam.

Berakhirnya masa kejayaan Islam di Jawa tentu memunculkan aktor penguasa baru, yaitu pemerintah kolonial Belanda. Keberadaan penguasa baru ini juga berdampak pada gaya arsitektur rumah yang sedikit banyak mendapat pengaruh dari Belanda.

Frans Husken, dalam bukunya yang berjudul Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi di Jawa menyebut bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Kudus

secara signifikan baru terjadi pada abad XVIII atau XIX.

Pada periode 1808-1811 M, jalan panjang Anyer-Panarukan dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels. Terbangunnya jalan raya sepanjang tidak kurang dari 1000 km inilah yang menjadi salah satu infrastruktur penting bagi perkembangan kota-kota modern di tanah Jawa.

Van den Bosch sebagai gubernur tanam paksa sejak 1830, secara administratif mulai membuka daerah-daerah perkebunan dengan jaringan transportasi kereta api .

Ada salah satu rumah yang gaya arsitekturnya mirip dengan bangunan kolonial Belanda yaitu Rumah Aisyiyah Kajeksan. Rumah ini terletak di sebelah utara Masjid Menara Kudus.

Saat foto Rumah Aisyiyah Kajeksan saya unggah di laman Facebook, rupanya hal itu memantik banyak argumen perihal arsitektur rumah tersebut. Beberapa pemberi komentar, bahkan menyebut gaya arsitektur rumah tersebut mengadaptasi gaya arsitektur bangunan kolonial Belanda.

Analisa Historis-Kultural Arsitektur Bangunan

Dari obrolan di kolom komentar itu saya jadi tertarik untuk mengetahui lebih dalam perihal arsitektur bangunan Rumah Aisyiyah Kajeksan tersebut. Setelah membaca beberapa referensi kemudian ada beberapa analisa yang menarik untuk disimak, diantaranya:

Analisa pertama yaitu rumah tersebut memiliki gaya Pyramid Hip dalam arsitektur Eropa. Apa itu Pyramid Hip?

Pyramid Hip atau atap pinggul merupakan jenis atap, di mana semua sisi miring ke bawah, ke dinding, biasanya dengan kemiringan yang cukup landai. Meskipun tenda atap menurut definisi adalah berpinggul atap dengan lereng curam naik ke puncak.

Atap pinggul memiliki kemiringan pada keempat sisinya. Semua sisinya sama panjang dan menyatu di bagian atas untuk membentuk punggungan. 

Analisa kedua yaitu rumah tersebut bergaya “Art Deco”. Art Deco adalah gaya arsitektur kolonial Belanda yang kerap digunakan sebagai desain perumahan karyawan kereta api pada tahun 1830, saat Van den Bosch mulai membangun jaringan transportasi kereta api.

Dalam kajian ilmu arsitektur, Arsitektur Art Deco merupakan sebuah gaya desain arsitektur yang bersifat dekoratif modern. Gaya Art Deco sendiri mendapat pengaruh dari aliran Kubisme, Futurisme, dan Konstruktivisme serta mengambil ide desain dari Mesir, Syria dan Persia.

Karakter atau bentuk khas dari Art Deco tidak hanya pada arsitektur bangunan tapi juga pada karya, furniture hingga produk elektronik. Karakter yang ditonjolkan pada arsitektur Art Deco yaitu memiliki ciri khas terdapat garis lurus, kaku, visual simetris, geometris dan cenderung mengikuti proporsi.

Langgam Art Deco terbentuk pada tahun 1920-1930 M dan mulai dikenal pada pada Exposition Internationale des Arts Decoratifs Industriale et Modernes (Eksposisi Internasional Seni Industri dan Dekoratif Modern) yang berlangsung di Paris pada tahun 1925. Namun pada saat itu masih dikenal dengan istilah Style Moderne.

Sedangkan istilah Art Deco muncul pada pada tahun 1968 di Amerika pada buku yang ditulis oleh Bevis Hillier dengan judul Art Deco. Bevis Hillier yang lahir pada tanggal 28 Maret 1940 adalah seorang sejarawan seni , penulis, dan jurnalis asal Inggris Inggris.

Analisa ketiga yaitu rumah tersebut memiliki model “Potong Paris”. Model ini dikenal juga dengan sebutan rumah atap potong gudang, salah satu bentuk desain rumah yang minimalis.

Berdasarkan ketiga analisa tersebut, benang merah yang dapat diambil adalah gaya arsitektur Rumah Aisyiyah Kajeksan merupakan adaptasi dari arsitektur Eropa dengan bentuk minimalis, beratap pinggul, dipadukan dengan gaya arsitektur lokal yaitu dari pintunya.

Gaya arsitektur di suatu wilayah sifatnya dinamis tergantung siapa yang menjadi penguasa pada saat itu. Penguasa suatu wilayah tentu memiliki dampak yang besar terhadap segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satu yang nampak yaitu dari arsitektur bangunan.

Muhammadiyah dan Implementasi Sikap Toleransi

Terlepas dari kapan berdirinya bangunan yang saat ini menjadi Rumah Aisyiyah Kajeksan, hal yang menarik dari untuk disoroti yaitu korelasi antara Muhammadiyah dan pemilihan gaya arsitektur ala kolonial Eropa.

Muhammadiyah sendiri merupakan organisasi keagamaan yang mengedepankan sisi budaya. Hal ini tampak dari busana para tokoh pendirinya yaitu K.H Ahmad Dahlan yang tampil di ranah publik dengan mengenakan blangkon sebagai perwujudan identitas orang Jawa.

Lantas, mengapa Muhammadiyah tidak memilih rumah dengan arsitektur Jawa?

Pemilihan rumah bergaya arsitektur kolonial Belanda ini tentu tidak luput dari cara pandang orang Muhammadiyah yang memiliki sikap toleransi dan dinamis dalam mengadaptasi pemikiran bangsa Barat. Dalam konteks ini, terkait arsitektur bangunan tetapi tidak meninggalkan corak arsitektur lokal yaitu dari bagian pintu yang memang khas masyarakat Jawa khususnya di Kudus.

Muhammadiyah memberi bukti nyata bahwa menjadi beragam itu bukan menjadi sebuah persoalan dalam mewujudkan masyarakat yang berkemajuan. Kemampuan beradaptasi dengan segala bentuk perubahan zaman, tetapi tidak meninggalkan budaya setempat sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat yang plural.

Khoirunnis Salamah, Guru Sejarah yang hobi dolan & motret nisan dan bangunan kuno.

[red/natz/nuha/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *