Refleksi Natal 2022: Piala Dunia, Messi, dan Pertandingan Kita

Saya tidak bisa membayangkan ketika selepas Yesus mengadakan mujizat lima roti dan dua ikan untuk memberi makan lima ribu orang, lalu Yesus menikmati ketenaran-Nya, bikin live Tiktok, masuk podcast YouTube.

Saat menonton perhelatan Piala Dunia Qatar 2022, saya membayangkan jika tiba-tiba saya berada di tengah sebuah pertandingan yang sedang berlangsung. Misalnya saja, saat Argentina berhadapan dengan Belanda di babak perempat final, dan kemudian ujug-ujug, entah dari mana, saya masuk menggantikan Lionel Messi.

Apa yang akan terjadi? Tentu akan terjadi kekacauan di sana-sini. Kekacauan bagi tim yang saya bela, kekacauan bagi pertandingan itu sendiri, kekacauan di antara para penonton, termasuk para stakeholder dan FIFA. Mereka semua pasti berpikir, kok bisa-bisanya ada penyusup asing masuk pertandingan!

Kalau saja saya adalah seorang pesepakbola profesional, sedari kecil berlatih di sekolah sepak bola, mengikuti berbagai pertandingan di setiap jenjang umur, hingga masuk klub profesional, lalu dipanggil untuk membela tim nasional, selanjutnya lolos ke Piala Dunia (amin!), maka tentu orang-orang akan memaklumi dan menganggap bahwa sudah sepantasnya saya berada dalam perhelatan akbar tersebut.

Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, jelas akan terasa membagongkan sekali.

Pertandingan yang Harus Kita Jalani

Saya kira, demikianlah gambaran jika seseorang memasuki pertandingan yang bukan diperuntukkan bagi dirinya. Disadari atau tidak, di antara kita (jika bukan kita sendiri) ada orang-orang yang selalu menganggap bahwa segala hal di dunia ini adalah tentang kompetisi. 

Melihat orang bisa bergaji dua digit, ia jadi insecure dan ingin pindah kerja untuk meraih jumlah yang sama. Melihat orang lain bisa beli barang branded, ia juga ingin ikut-ikutan membeli barang yang sama, meski harus ngutang (maksudnya berhutang, bukan pakai kutang). Melihat orang lain beli gadget baru, ia juga tidak mau ketinggalan. Terus saja begitu, entah sampai kapan kompetisi itu berakhir!

Memasuki sebuah pertandingan tentunya membutuhkan strategi dan stamina yang baik. Tapi, sehebat apapun strategi dan stamina, akan sia-sia jika kita bertanding di pertandingan yang salah.

Bagi saya pribadi, kalau dilihat secara parsial, tahun 2022 bukanlah tahun yang produktif. Khususnya dalam bab tulis menulis di media. Tahun 2020 dan tahun 2021 yang lalu, saya masih cukup produktif untuk menulis dan mengirimkan tulisan ke media online

Harapannya, bisa lolos kurasi dan layak tayang di media. Saya begitu termotivasi untuk bisa menembus berbagai media online. Bukan hanya karena ada fee-nya, namun juga sebagai pembuktian bahwa saya bisa!

Di tahun 2022, rasanya berat sekali untuk melakukan hal yang sama. Saya pun bertanya kepada diri saya sendiri: Apakah saya sudah terlalu malas? Apakah saya segitu mampetnya sehingga tidak menemukan ide untuk menulis? Apakah saya sudah menjadi orang yang berbeda dari tahun-tahun yang lalu?

Saya terus merenung, dan pada akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa mungkin ini bukanlah pertandingan yang harus saya jalani. Okelah, saya sesekali masih menulis dan mengirim ke media online, tapi saya menyadari itu bukanlah tujuan utama dari hidup saya sehari-hari. 

Energi dan fokus saya ternyata terpakai untuk hal-hal lain, yang saya rasa merupakan pertandingan saya sehari-hari. Apakah hal yang saya lakukan sekarang lebih bernilai dibanding perkara menulis dan mengirimkan ke media? Tentu tidak bisa dibandingkan seperti itu. Saya cuma merasa, memang di situlah “pertandingan” yang harus saya lakoni.

Menyadari bahwa kita menghabiskan waktu bertanding di pertandingan salah memang bikin kesal. Ada sebagian diri saya yang masih merasa bahwa saya sanggup untuk menjalani pertandingan itu (rutin menulis di media online). Namun, seperti yang saya katakan tadi, energi dan fokus saya tak cukup untuk melakukan itu, dan ada pertandingan lain yang memang diperuntukkan bagi saya dan harus saya menangkan.

Dengan semakin bertambahnya hari dalam hidup kita, saya kira kita perlu benar-benar menyadari mana pertandingan yang benar-benar diperuntukkan bagi kita, dan mana yang sejatinya bukan. Jangan biarkan jiwa ini lelah karena kita mencoba melakoni beberapa pertandingan sekaligus.

Bayangkan saja kalau para pemain sepakbola itu harus melakukan beberapa pertandingan dalam satu hari. Tentu sangat tidak efektif, melelahkan, dan berpotensi mengakibatkan cedera. Sudah berdarah-darah, akhirnya kalah pula.

Pertandingan Sejati

Saat Yesus turun ke dunia ini sebagai seorang manusia, Ia tahu dengan pasti apa yang menjadi pertandingan-Nya. Ia tahu dengan pasti apa yang akan dilakukan-Nya. Visi-Nya adalah menebus dosa umat manusia, dengan lahir ke dunia, mati di kayu salib, dan bangkit mengalahkan maut. Ia menjadi pembebas bagi manusia-manusia berdosa.

Ada banyak penghalang yang sejatinya mencoba mengalihkan Yesus dari tujuan-Nya. Saya tidak bisa membayangkan jika Yesus mengadakan mukjizat lima roti dan dua ikan untuk memberi makan lima ribu orang, lalu Yesus menikmati ketenaran-Nya, bikin live Tiktok, masuk podcast YouTube. Duh!

Syukurnya, Yesus tetap ingat apa yang menjadi tujuan hidup-Nya. Ia tahu pertandingan mana yang harus dijalani. Ia menuntaskan misi-Nya, dan menggenapi visi-Nya.

Kembali ke sepakbola, meski sudah tidak terbilang banyaknya pujian terhadap Lionel Messi, izinkan saya tetap mengagumi sosok The G.O.A.T. (the greatest of all time) tersebut. Ia tidak terjebak pada perdebatan mengenai siapa yang terbaik antara Messi vs Ronaldo, tetapi ia fokus mengenali dirinya dan mencoba memahami rekan-rekan setimnya. Sehingga, di usia yang semakin senja, ia tidak lagi berfokus untuk menjadi seorang finisher yang tajam, tapi ia bisa menjadi pembagi umpan matang bagi rekan-rekan setimnya. 

Kesuksesan Messi bersama tim nasional Argentina dalam merengkuh Piala Dunia, sejatinya merupakan buah dari hasil kerja keras dan cerdas selama bertahun-tahun. Messi tahu tentang tujuan hidupnya, dan perjuangan macam apa yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pertandingan, sampai garis akhir.

Sambil merayakan Natal dan menyambut tahun baru, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenung. Apa yang sejatinya menjadi pertandingan kita? Biasanya, jawabannya tidak jauh-jauh dan sangat sederhana. Misalnya, pertandingan saya sejatinya adalah untuk terus mengenali diri sendiri sembari mencoba memahami orang lain, sehingga dapat menjadi seorang pendengar yang baik bagi sesama.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjalani pertandingan yang memang diperuntukkan bagi kita?

Selamat Natal dan menyambut Tahun Baru 2023. Keep ghibah and stay tabah.

Yesaya Sihombing, pendeta yang kadang tidak seperti pendeta.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *