Site icon ghibahin.id

Ragam Sholat Jumat di Australia dan Gegar Budaya Muslim Nusantara

Foto oleh Alena Darmel dari Pexels

“Saya berharap tulisan ini bisa jadi panduan bagi rekan-rekan Muslim Indonesia yang akan datang atau tinggal di Australia agar tidak njenggirat kaget dan gumunan, apalagi sampai mempertentangkan satu sama lain.”

Dalam suatu agama, umumnya ada konsep-konsep dasar yang dipahami secara universal oleh berbagai denominasinya. Dalam Islam, misalnya, ibadah sholat Jumat memiliki gambaran konseptual yang sama dalam semua mazhab. Perbedaan pada hal-hal rinci baru akan nampak ketika ibadah itu dilaksanakan. Nah, perbedaan-perbedaan ini ternyata bisa menimbulkan persoalan, setidaknya berupa gegar budaya seperti yang saya alami.

Pengalaman gegar budaya terkait Jumatan pertama kali terjadi saat saya tinggal di Adelaide, sepuluh tahun silam. Sebelumnya, saya hanya tahu dan terbiasa dengan dua varian Jumatan. Kalau bukan cara Muhammadiyah, ya cara NU. Yang satu azan sekali, yang satunya dua kali. Yang NU berdoa bersama-sama setelah sholat, sedangkan yang Muhammadiyah berdoa masing-masing. Yang sana bubarnya ditandai sholawatan, yang sini cabut sendiri-sendiri.

Nah, saat pertama kalinya ikut sholat Jumat di Masjid Omar Bin Alkhattab (atau yang lebih tenar disebut Masjid Marion karena letaknya di bilangan Marion Road), saya dibikin kaget oleh satu “rukun” tambahan. Khutbah pertama dan khutbah kedua disampaikan dalam bahasa Arab oleh khatib yang juga imam masjid. 

Yang mengejutkan saya, sebelum khatib menutup khutbah kedua, seorang pemuda tiba-tiba berdiri di depan majelis. Dia membawa selembar kertas, membacakan ringkasan khutbah tadi dalam bahasa Inggris. Saya sempat mau bilang itu bid’ah, tapi surat-surat Juz Amma saja, saya cuma hafal beberapa. 

Sejak saat itu, saya mulai tahu bahwa Jumatan di Australia ternyata banyak ragamnya. Sebabnya, muslim di Australia datang dari berbagai negara dan aliran, dari Sunni sampai Syiah, dari NU sampai Ahmadiyah. Saya berharap tulisan ini bisa jadi panduan bagi rekan-rekan Muslim Indonesia yang akan datang atau tinggal di Australia agar tidak njenggirat kaget dan gumunan, apalagi sampai mempertentangkan satu sama lain. 

Sebelum masuk ke beberapa pola tata urutan, ada baiknya kita tinjau dulu tiga hal umum yang penting untuk diketahui. Pertama, secara umum sholat Jumat tidak dilakukan tepat waktu. Jika di Indonesia waktu sholat Zuhur sama dengan sholat Jumat, maka tidak demikian dengan di Australia. Kebanyakannya khutbah dimulai 45 hingga 60 menit dari tibanya waktu shalat yang seharusnya. 

Konon, meski saya belum mendapatkan sumber yang bisa mengkonfirmasinya, ini ada kaitannya dengan aturan jam istirahat makan siang di Australia. Khutbah Jumat di Perth Mosque, masjid tertua di Australia Barat, misalnya, dimulai jam 13.15. Padahal, waktu Zuhur sudah masuk sekitar satu jam sebelumnya.

Kedua, sebagian Jumatan diselenggarakan di tempat seperti community centre (semacam balai warga) atau tempat lain yang tidak didesain sebagai masjid atau musala. Di University of Western Australia, misalnya. Karena musalanya kecil sekali, biasanya Jumatan dilaksanakan di bagian lain kampus yang ukurannya lebih luas: kadang di gelanggang olahraga, kadang di balairung, atau malah sesekali di taman, bikin Jumatan terasa seperti darmawisata.

Di lokasi alternatif seperti ini, kerap kali tempat wudhu-nya kurang ideal. Maka, pilihannya adalah berwudhu di wastafel. Butuh keterampilan khusus untuk bisa membasuh kedua telapak kaki di tempat setinggi itu. Menjaga keseimbangan sembari mencegah air muncrat ke mana-mana ternyata bukanlah perkara mudah.

Ketiga, karena keterbatasan tempat, di satu lokasi kadang dilaksanakan Jumatan dalam dua shift. Masjid Al-Taqwa di Mirrabooka, sebelah utara Perth, adalah salah satu contohnya. Jumatan pertama dimulai jam 12.45 dan Jumatan kedua dimulai jam 13.45. Sudah seperti buruh pabrik, ya, pakai shift segala. Menariknya, sejauh ini cuma di masjid inilah saya mendapati bubaran Jumatan dengan diikuti sholawatan. Mungkin imamnya jebolan Gontor atau Tebuireng. Hehehe. 

Sejauh pengalaman saya, ada beberapa pola rangkaian Jumatan yang saya ketahui. Yang pertama, khutbah sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Adelaide Mosque (masjid tertua di Australia, dulunya dikenal sebagai The Afghan Chapel) menganut pola ini. Khatib berdiri di atas mimbar kayu yang ditinggikan pada pojok kanan ruangan. Seingat saya, azan di masjid tersebut dikumandangkan dua kali.

Pola kedua menggunakan dua bahasa. Sebelum azan, khatib menyampaikan tausiyah dalam bahasa Inggris secara rinci, selama sekitar 20 menit. Baru ketika khutbah beneran, khatibnya berbicara dalam bahasa Arab secara singkat. Perth Mosque dan Masjid King Faisal di Surry Hills, Sydney, mengikuti tata cara ini.

Pola ketiga, menggunakan dua bahasa namun melibatkan penerjemah. Pola ini konsisten dilakukan di Masjid Marion seperti saya sebutkan di atas. Sayangnya, belum saya temukan masjid lain yang mempraktikkan model ini.

Nah, pola keempat agak ngeselin. Suatu waktu saya mampir sholat Jumat di masjid yang dulunya didirikan oleh para imigran Turki. Namanya Canning Suleymaniye Camii, di suburb selatan kota Perth. Seperti pola kedua, ada tausiah dan khutbah. Tausiah disampaikan dalam bahasa Turki. Panjang lebar. Saya nggak mudeng blas! Saya berharap tausiah itu akan disampaikan ringkas dalam bahasa Inggris pada khutbah yang sebenarnya. Ternyata tetap pakai bahasanya Harun Yahya! Cilaka!

Berada dalam situasi begini, saya cuma bisa plonga-plongo, persis seperti saat Jumatan di Masjid Al-Serkal, Phnom Penh, yang khatibnya berbahasa Khmer! Saya malah membayangkan, mungkin kalau Pol Pot dulu memimpin ormas sayap kanan, orasinya mungkin mirip si bapak ini, kali ya … Hehehe ….

By the way, kekesalan saya di masjid Turki ini terobati oleh adanya bagi-bagi kebab selepas Jumatan. Mirip masjid-masjid di Surabaya yang menyediakan makanan atau minuman gratis untuk jamaah seusai sholat.

Pola keempat ini baru saya temui sekali. Saya tidak tahu apakah masjid yang didirikan oleh komunitas etnis tertentu menjalankan pola serupa atau tidak.

Terus, ada nggak masjid yang didirikan oleh komunitas Indonesia? Ya ada, lah! Jumatannya kaya gimana? Ya elah, kaya gitu masih ditanya. Hehehe ….

Sugiyanto Widomulyono, PhD Candidate di Edith Cowan University. Tinggal di Perth, Australia.

[red/pap]

Exit mobile version