Program Adu Jotos Para Seleb dan Komodifikasi Maskulinitas yang Tak Sudah-Sudah

ghibahin

Sesungguhnya, ada banyak cara bagi laki-laki untuk menunjukkan keunggulan maskulinitasnya. Namun, memang yang paling purba adalah duel, alias adu jotos.”

Bicara adu jotos, mungkin SoHib sudah sering mendengarnya, bisa jadi juga pernah menyaksikan langsung, atau bahkan mengalami sendiri di jalanan. Dan akhir-akhir ini, frekuensi peristiwa adu jotos semakin sering terlihat. Bukan karena para atlet tinju atau MMA yang melakukannya, tapi kita justru dikejutkan oleh maraknya selebritas—yang sering terlihat ribut di media sosial—terlibat dalam event adu jotos di atas ring tinju. 

Contohnya pada Minggu, 12 Juni 2022 nanti, akan ada 12 pertandingan adu jotos yang tak hanya melibatkan petarung profesional, namun juga melibatkan para selebritas. Di antara mereka ada El Rumi vs. Winson Reynaldi, Sabian Tama vs. Nicholas Sean, dan Mario Lawalata vs. Roy Ricardo.

Kalau saya amati, maraknya adu jotos yang terjadi di kalangan selebritas ini dapat dipilah menjadi dua jenis.

Pertama, adu jotos tanpa embel-embel apa pun. Maksud saya, benar-benar dalam rangka menuntaskan persoalan pribadi. Siapa pun yang menang atau kalah, akan menerima hasilnya dengan sikap ksatria. Seperti pada adu jotos antara Jefri Nichol dan haters-nya, Keanu Pahlevi. Setelah sebelumnya terlibat twitwar di Twitter, keduanya pun bersua di atas ring. Sependek yang saya ketahui, adu jotos keduanya murni tanpa iming-iming cuan. Adu jotos dimenangkan oleh Jefri. Selesai!

Kedua, adu jotos yang memang dijadwalkan sebagai event olah raga. Randy Pangalila adalah selebritas yang berhasil meng-KO lawan-lawannya dalam ajang One Pride Mixed Martial Arts tahun 2018 lalu. Tercatat Fajar Ibel ditumbangkannya hanya dalam waktu 39 detik. Selang setahun setelahnya, korban Randy selanjutnya adalah Adhi Pawitra yang kalah TKO di ronde pertama. 

Menyusul Randy, pada tahun 2022 terjadi adu jotos antara Vicky Prasetyo dan Aldi Taher, yang kita semua sudah tahu kualitas dan ending-nya. Alih-alih bikin penasaran, pertandingan mereka malah mengundang gelak tawa dengan tingkah Aldi Taher yang lari keluar ring. Tuntas dengan Aldi Taher, Azka Corbuzier pun dihadapinya, walau berakhir dengan kekalahan Vicky. 

Kesamaan dari kedua jenis adu jotos tersebut adalah adanya wasit dan aturan yang disepakati kedua belah pihak. Dengan demikian, semua aman terkendali. Untuk bisa terlibat dalam event adu jotos ini, kuncinya adalah jika SoHib bukan atlet, maka SoHib haruslah seorang selebritas yang dikenal luas dan punya penggemar yang banyak. Hal ini tentu berbeda dengan adu jotos jalanan, yang konsekuensinya bisa sampai berurusan dengan pihak berwajib.

***

Lelaki memang tak dapat lepas dari maskulinitas sebagai identitasnya. Maskulinitas sendiri merujuk pada nilai-nilai, sifat-sifat, atau perilaku yang terkait dengan laki-laki. O’Shaughnessy dan Stadler (2005) menyatakan bahwa kekuatan adalah atribut utama yang terlihat sebagai penanda dan petanda maskulinitas laki-laki, baik di dunia nyata maupun media. Maskulinitas sebagai sebuah teks mewujud dalam pertarungan fisik yang dilakukan laki-laki. 

Sesungguhnya, ada banyak cara bagi laki-laki untuk menunjukkan keunggulan maskulinitasnya. Namun, memang yang paling purba adalah duel, alias adu jotos. Ya, adu jotos menjadi pilihan para laki-laki sejak dahulu kala sebagai ajang pembuktian maskulinitasnya, terutama dalam konteks maskulinitas tradisional. 

Secara umum, Barker (2003) menyatakan maskulinitas tradisional mengutamakan nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja. Dahulu, di era ’80—’90-an, memang terasa dominasi maskulinitas tradisional yang dimanifestasikan dalam citra kekuatan fisik laki-laki pada film-film Hollywood. 

Gambaran ideal maskulinitas ini terwakilkan, misalnya, oleh aktor Arnold Schwarzenegger atau Sylvester Stallone. Keduanya merepresentasikan gambaran ideal atas kekuatan, ketangguhan, ketenangan, daya tarik, dan heteroseksualitas. Semuanya dikukuhkan dalam representasi figurnya, sebagai komodifikasi bisnis perfilman atas peran pahlawan yang selalu memenangkan setiap petarungan dengan perjuangan fisik. 

Pada era revolusi industri 4.0 ini, representasi maskulinitas era 80-an muncul lagi melalui adu jotos para selebritas yang difasilitasi sebagai komoditas yang menghasilkan cuan, yang tak hanya dinikmati oleh penyelenggara, tapi juga para selebritas yang terlibat. 

***

Kalau dipikir-pikir, adu jotos para public figure tersebut sejauh ini dianggap sekedar hiburan. Tapi agar seru dan menarik, ada semacam konflik yang dimunculkan sebelum acara adu jotos. Misalnya pergelutan antara Vicky dan Azka yang digaungkan karena ada masalah pasca berpisahnya Vicky dan istrinya Kalina, yang juga ibu kandung Azka. 

Bisa dikatakan, adu jotos ini menjadi ajang pembuktian, khususnya ego maskulinitas laki-laki, dan fungsinya sebagai komoditas yang semakin ternormalisasi karena dikemas secara menghibur bagi khalayak. Bahkan, untuk mengeksploitasi nilai hiburannya, adu jotos ini secara tak terhindarkan juga melibatkan kaum perempuan, yakni Dinar Candy vs. Nikita Mirzani, dan Irma Darmawangsa vs. Barbie Kumalasari, yang juga akan berlaga 12 Juni 2022 nanti. 

Nyatanya, event adu jotos ini tak perlu masuk layar televisi mainstream. Cukup ditayangkan secara live di kanal Youtube, maka berjuta pasang mata siap menyaksikan dengan antusias.

Saya sih berharap masyarakat semakin cerdas menyikapi fenomena adu jotos di kalangan selebritas ini. Yang berbahaya adalah jika perilaku kekerasan tersebut akhirnya dijadikan role model di kalangan akar rumput, sehingga mewajarkan adu jotos jalanan untuk mengakhiri pertikaian. Jika sudah terlibat dalam adu jotos jalanan, badan sakit semua, mesti dirawat, bahkan mungkin masuk rumah sakit, biaya lagi, bayar sendiri pula. Hadeeh.

Suzan Lesmana: Penutur Kata, Pengukir Aksara, Penyulam Pantun, tinggal di Cibinong.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *