Site icon ghibahin.id

Piala Dunia, Liga Indonesia dan Rasa Tidak Tega

ghibahin

ghibahin

Saya lebih eman pada jantung saya yang dipaksa berdegup lebih kencang kalau harus menyaksikan pertandingan itu secara langsung. 

Bagaimana Senin Anda tanggal 19 Desember, tahun kemarin? Kalau Anda merasa hari itu laksana Jum’at, pastilah Anda pendukung Argentina, seperti saya. Bahkan, tak hanya seperti Jum’at, para pendukung Argentina itu pasti merasa layaknya mendapatkan kenaikan gaji dua kali lipat. Hehehe.

Perasaan lega dan kata “akhirnya” terucap berkali-kali pada dini hari itu. Bahkan, pilek dan sakit gigi yang berhari-hari ngendon di tubuh pun untuk sesaat hilang. Yah, untuk sesaat saja, karena siang harinya sudah terasa sakit lagi. Haduhhh.

Namun, sebelum akhirnya kemenangan itu datang, sebenarnya saya mengalami dejavu. Yah, seperti saat melawan Belanda, Argentina juga sempat unggul 2-0 sebelum akhirnya disamakan beberapa saat menjelang peluit panjang babak kedua berbunyi.

Nah, seperti juga saat melawan Belanda, saya mematikan televisi saat Prancis mencetak gol pertama. Lalu menghidupkannya beberapa saat kemudian. Hanya untuk melihat apakah ada perpanjangan waktu atau tidak. Ketika terjadi perpanjangan waktu, saya mematikan televisi lagi.

Persis saat pertandingan final Argentina versus Prancis pada Senin dini hari, saya menghidupkan lagi televisi hanya untuk melihat apakah perpanjangan waktu menghasilkan pemenang. Ketika ternyata pertandingan harus ditentukan oleh penalti, Anda tentu bisa menebak apa yang saya lakukan. Yup, benar sekali. Saya mematikan televisi. Sekali lagi!

Untuk mengetahui hasil akhir penalti, saya tidak langsung menghidupkan televisi. Saya lebih memilih untuk melihat hasilnya terlebih dulu di Twitter. Ketika tahu hasilnya yang menang adalah Argentina, langsung saya menghidupkan televisi dan melihat prosesi penganugerahan medali. Coba kalau yang menang Prancis, pasti langsung saya tinggal tidur. Hahaha.

Aneh, ya? Anda bisa bilang begitu, tapi ya … saya tentu punya alasan melakukan itu semua. Begini, saya itu sudah lama sekali menjagokan Argentina tiap gelaran Piala Dunia. Bahkan sebelum Lionel Messi menjadi anggota tim nasional Argentina. 

Nah, ketika sudah ada Messi, tentu saja saya berpikir pasti Argentina bisa dengan mudah jadi Juara Dunia. Dan memang, sejak adanya Messi, Argentina selalu menjadi pesaing serius dalam gelaran empat tahun sekali itu. Tapi, walaupun begitu, butuh empat kali gelaran Piala Dunia sejak pertama kali Messi membela Argentina. Bahkan, kalau dihitung dengan terakhir kalinya Argentina jadi Juara Dunia, butuh delapan kali gelaran atau setara dengan tiga puluh dua tahun. Bayangkan, selama tiga puluh dua tahun saya mengalami kekecewaan karena jadi fans Argentina.

Jadi, yang ingin saya katakan adalah karena terlalu seringnya kalah, saya jadi ndak tega untuk melihat kelanjutan laga tersebut. Saya takut kalau mereka di-comeback sama Prancis seperti tahun 2018. Saya rasa hal ini itu seperti ketika suporter memalingkan wajah atau bahkan menutup mata saat terjadi tendangan penalti. Bahkan, Emi Martinez si tengil penjaga gawang Argentina itu juga terkadang memilih untuk melihat arah sebaliknya saat teman setimnya menendang penalti.

Dan, saya sama sekali tidak memiliki perasaan ‘eman’ telah melewatkan final bersejarah itu secara langsung. Toh, saya bisa lihat siaran tundanya. Saya lebih eman pada jantung saya yang dipaksa berdegup lebih kencang kalau harus menyaksikan pertandingan itu secara langsung. 

Saya jadi lebih bisa menikmati melihat siaran ulangnya. Tidak ada perasaan was-was sama sekali. Bagaimana mau was-was, wong saya sudah tahu hasil akhirnya. Hehehe.

Ah, iya. Saat melihat siaran ulang pertandingan Argentina melawan Prancis, saya juga melihat iklan pertandingan Liga 1 yang diselenggarakan tanpa ada suporter. Apakah perasaan gembira karena Argentina menang akan membuat saya kembali menonton liga 1 setelah terjadinya Tragedi Kanjuruhan? Rasa-rasanya tidak. 

Bagaimanapun, dengan hanya enam tersangka yang ditetapkan oleh kejaksaan, penanganan kasus tersebut masih jauh dari kata “layak”! 

Nah, selama penanganan tragedi tersebut masih seperti itu, saya tidak akan pernah lagi menonton liga Indonesia. Dan, saya yakin saya bukan satu-satunya yang berpikiran seperti itu!

Namun, saya tetap akan mendukung perjuangan tim nasional Indonesia di piala AFF tahun ini. Semoga timnas Indonesia seperti timnas Argentina yang akhirnya bisa menang juga setelah puluhan tahun mengalami kekecewaan. Ndak perlu muluk-muluk Piala Dunia, juara Piala AFF sudah cukup. Yah, walaupun permainannya masih jauh dari kata “bagus”, dan membuang-buang peluang, setidaknya sekarang sudah sampai ke fase semifinal. Semoga permainannya terus meningkat seperti Argentina dan mencapai final terus bablas jadi juara.

Amin.

Nanang Ardianto. Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

[red/rien]

Exit mobile version