Pesan Mbah Moen dan Tugas Para Guru

Pendidikan

“Tugas guru hanya menyampaikan ilmu, mendidik, dan mengajar dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan Tuhan, Sang Pemilik dan Pemberi Ilmu.

Sepekan lalu, ada teman guru melapor kepada saya mengenai satu-dua murid yang dianggap tidak punya niat untuk belajar. Dalam bahasa yang lebih ekstrem, mereka dianggap tidak niat sekolah.  Beberapa hal yang mendasari anggapan ini, antara lain: mereka tidak pernah fokus ketika belajar di kelas, selalu mangkir mengerjakan tugas, bahkan sering tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas, alias membolos. Dalam anggapan umum, siswa tersebut jelas layak dianggap sebagai siswa yang “tidak beres”. 

Meskipun saya menjadi wali kelas dari siswa-siswa yang dianggap bermasalah tersebut, saya tidak selalu bisa memantau perkembangan mereka setiap hari. Sebabnya, saya mengajar di kelas tersebut juga hanya sekali dalam seminggu. Jam mengajar saya di kelas lain justru jauh lebih banyak. Melihat kondisi itu, saya pun segera turun tangan merespon laporan. 

Segera saya cek daftar hadir kelas, dan saya memang menemukan beberapa fakta yang sesuai dengan laporan guru tadi. Akan tetapi, rupanya kondisi ini tidak terjadi pada mata pelajaran lain. Karena penasaran, saya melakukan pendekatan personal kepada beberapa siswa yang dimaksud. Pada akhirnya, saya memperoleh informasi bahwa siswa tersebut ternyata memang tidak menyukai sang guru. 

Mengapa bisa demikian? Rupa-rupanya, sang guru sering menuntut siswa agar menjadi pintar. Apakah salah? Tentu tidak. Hanya saja, ketika ternyata siswa tidak mampu memenuhi harapan gurunya, yang muncul justru rasa jengkel, hingga kemudian sang guru memberi label-label pada anak didiknya. Mulai dari pemalas, bodoh, hingga tidak niat belajar.

Di lain cerita, beberapa hari kemudian, saya mendapati anak saya memperoleh nilai ulangan tengah semester yang cukup anjlok pada mata pelajaran Bahasa Arab. Setelah saya ingat-ingat, anak saya sejak kelas tiga madrasah ibtidaiyah memang tidak terlalu bersemangat dalam belajar Bahasa Arab. 

Maka wajar sekali jika dia cukup konsisten mendapat nilai jelek pada mata pelajaran ini. Usut-punya usut, anak saya rupanya kurang suka dengan guru Bahasa Arabnya, dengan alasan yang tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan murid saya di atas. 

Jika sekarang anak saya sudah menginjak kelas empat, berarti telah dua tahun lamanya anak saya “memendam kebencian” terhadap gurunya. Sudah barang tentu, jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak buruk pada kondisi psikologis anak saya, dan tentunya akan bermuara pada hasil belajarnya yang tidak optimal. 

Di tengah kegalauan tersebut, saya mencoba menghibur diri dengan membuka dan scrolling layar HP saya. Mak bedunduk, ndilalah kersaning Gusti Allah, saya menemukan quote di salah satu media sosial yang relevan dengan yang sedang saya hadapi. Nasihat tersebut berasal dari almarhum Kyai Haji Maimoen Zubair, atau biasa dipanggil Mbah Moen:

“Jadi guru itu tidak usah punya niat pengen bikin murid pintar. Nanti kamu akan marah-marah jika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik dengan baik. Masalah muridnya nanti pintar atau tidak, serahkan saja pada Tuhan. Didoakan saja terus menerus agat dapat hidayah”. 

KH Maimoen Zubair

Mak jleb! Nasehat ini langsung menampar kesadaran saya dan membawa angan saya kepada guru yang dikeluhkan oleh murid saya, termasuk guru anak saya tadi. Jangan-jangan, selama ini guru tersebut merasa angkuh dan merasa dirinya yang paling benar. 

Tidak peduli siswanya macam apa, bagaimana bakat dan minat belajarnya, seberapa luas pengetahuannya, seperti apa jenis kecerdasannya, bagaimana latar belakang keluarganya, kondisi ekonominya, kehidupan sosialnya, dan lain sebagainya. 

Tan Malaka mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Semua itu hanya akan dapat dicapai jika siswa diberikan ruang, suasana, dan pengalaman belajar yang menyenangkan. Tanpa ada tekanan, intimidasi, atau bahkan diskriminasi. 

Sebaliknya, siswa yang merasa tertekan, atau takut terhadap guru, mustahil bisa mencintai gurunya. Jika ini yang terjadi, jangan pernah berharap siswa akan nyaman dalam belajar, apalagi memahami dan memperoleh makna dari apa yang dipelajarinya. Akhirnya, siswa hanya menjadi seekor semut di atas sepotong rumput yang diombang-ambingkan gelombang.

Paolo Freire berpendapat bahwa pendidikan yang mendikte siswa untuk mengikuti keinginan guru sudah saatnya dihapuskan, digantikan dengan sistem pendidikan baru yang membebaskan dan memanusiakan manusia. 

Baginya, pendidikan adalah suatu proses pencarian kebenaran dan realitas diri, serta sebagai alat untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan dan belenggu yang mengikat. Jadi, belajar tidak sekadar memahami materi saja, tetapi juga untuk memahami makna-maknanya. 

Masalahnya, ternyata kondisi tersebut juga menimpa diri saya sendiri. Sebagai guru, saya sering menuntut siswa untuk memenuhi standar pencapaian tertentu yang saya tetapkan dalam kondisi ideal. Pokoknya, semua siswa harus pandai. Harus bisa. Jika siswa gagal, maka konsekuensi “hukuman” akan menanti. 

Saya alpa, terlambat untuk memahami alam pikiran siswa dan gagal memahami kondisi jika saya berada dalam posisi mereka. Padahal, tugas guru hanya menyampaikan ilmu, mendidik, dan mengajar dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan Tuhan, Sang Pemilik dan Pemberi Ilmu. Ya, tho?

Sejatinya, ini adalah prinsip dasar pendidikan di dunia pesantren. Sebagai santri, mengapa justru saya lupa? Sebodoh dan seburuk apapun seorang santri, tak pernah sekalipun para kiai mengeluh, apalagi memarahi. Para kiai tetap mendidik santri dengan sepenuh hati, mendoakan mereka di sepertiga malam yang gulita, agar dibukakan pintu hidayah dari Yang Maha Kuasa. 

Sebaliknya, bisa dibilang bahwa saya tak pernah sekalipun mengirim Al-Fatihah untuk para siswa. Saya malah sering mengomel ketika mendapati siswa malas belajar, enggan membaca, tak pernah bertanya, atau menjawab seenaknya saat diberi pertanyaan. Belum lagi jika mereka mengerjakan tugas ala kadarnya. 

Bagi saya, semua siswa harus pandai, apapun dan bagaimanapun kondisinya. Pada akhirnya, saya membuat perbandingan yang sama sekali tak seimbang, yakni membandingkan murid-murid dengan diri saya sendiri. Meski orang tua saya hidup pas-pasan, abah saya adalah seorang guru, sehingga sejak kecil saya diperkenalkan dengan buku-buku. 

Sementara murid-murid saya belum tentu demikian, dan tidak “seberuntung” masa kecil saya yang memiliki support system yang lebih baik untuk belajar. Jangankan memperkenalkan anaknya dengan buku, bisa punya cukup waktu untuk bertemu dengan kedua orang tua di rumah bisa jadi adalah hal yang sulit terwujud.

Rupanya, saya hanya peduli dengan isi otak mereka, tetapi sering abai menyentuh hati mereka. Saya seringkali hanya ingin melihat hasil akhir, tetapi kurang sabar dengan prosesnya. Sering menyalahkan siswa, tetapi enggan meningkatkan kualitas dan kompetensi diri sebagai guru. 

Mengajar dengan persiapan seadanya, metode pembelajaran ala kadarnya, membimbing dengan tidak semestinya, dan kurang peduli terhadap kebutuhan siswa. Dan sayangnya, kebanyakan guru rupanya juga masih berada dalam pola-pola seperti ini. 

‘Duh, saya jadi merasa sangat menyesal, dan teringat kesesatan pikir yang selama ini saya pertahankan selama menjadi guru. Benar kata para bijak bestari bahwa sejatinya tidak satupun ada anak yang nakal, yang ada adalah anak yang belum mengerti. 

Tidak ada pula anak yang gagal, yang ada adalah para orang tua dan guru yang kurang sabar dalam mendidik dan membersamai mereka belajar. (red/ys/bp)

Muhammad Makhdum, guru SMP, tinggal di Tuban.

3 thoughts on “Pesan Mbah Moen dan Tugas Para Guru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *