Perundungan di Sekolah dan Usaha Paling Minimal untuk Menghentikannya

“Percayalah, bahwa setiap langkah kecil untuk mencegah perundungan akan sangat berarti bagi generasi-generasi di masa depan.”

Beberapa hari yang lalu, seorang siswa SD di Kabupaten Tasikmalaya dikabarkan meninggal dunia karena depresi akibat bullying atau perundungan yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya. Siswa itu merasa malu dan tidak mau makan dan minum setelah adegan video di mana dia dipaksa menyetubuhi kucing, disebarkan dan menjadi viral. Selain itu, siswa tersebut juga sering dipukuli di bagian kepala sehingga kepalanya sering terasa pusing.

Kalau kita mundur sedikit, di bulan Juni juga ada kasus bullying yang memakan korban jiwa. Kasus ini menimpa seorang siswa MTS Negeri 1 Kotamobagu, Sulawesi Utara. Perundungan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok temannya, mengakibatkan siswa tersebut meregang nyawa setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit. 

Ah, entah apa yang ada di pikiran anak-anak kecil zaman sekarang, sehingga tega melakukan hal sekeji itu. Namun, benarkah “kids zaman now” memang sebrutal itu? 

Kenyataannya, perundungan memang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Saya pun pernah dirundung seperti itu. Kejadiannya saat saya duduk di bangku SMP. Kalau nggak salah, persisnya pada triwulan kedua. Saya agak lupa bagaimana detil kejadiannya, tetapi yang saya ingat, anak yang merundung saya itu memiting leher saya hingga semuanya menjadi gelap.

Saat di ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah), seorang teman yang ikut mengangkat saya ke ruangan bercerita bahwa dia sangat ketakutan melihat mulut saya yang berbusa. Dan, bahwa saya saat itu bisa saja “lewat” jika terlambat mendapatkan pertolongan pertama. Tentu itu satu pengalaman yang menakutkan bagi saya, walaupun pada kenyataannya saat itu saya pingsan sehingga tidak ingat apa yang terjadi. Sedangkan anak yang merundung saya itu sama sekali tak nampak batang hidungnya. Bahkan tidak berucap maaf sama sekali.

Saya hanya mengatakan bahwa saya terjatuh saat ditanya oleh guru. Pertimbangannya adalah karena selain tidak mau membuat masalah dengan siswa perundung tadi, saya juga tidak mau menyulitkan ibu saya jika beliau sampai harus dipanggil ke sekolah karenanya. Sudah terlalu banyak masalah di rumah. Jadi, kenapa saya harus menambah pusing ibu saya dengan masalah sekecil itu, bukan?

Untungnya, siswa perundung yang kebetulan sekelas dengan saya itu tidak lagi mengganggu dengan menggunakan kekerasan fisik. Kalau ejekan verbal semacam jelek, pendek, dan kerempeng, itu tidak berarti sama sekali bagi saya. Apalagi kalau dia sampai mengejek saya dengan kata bodoh. Bisa tertawa terbahak-bahak anak satu sekolahan, mengingat saya adalah pemegang rangking satu di kelas.

Weitsss, sombongnya, Bro! Ah, jangan begitu. Untuk mengatasi seorang perundung, sombong sedikit adalah sebuah keharusan.

Bicara tentang perundungan, hari Minggu kemarin saya dikejutkan oleh anak saya yang pulang sekolah sambil menangis. FYI, sekolah anak saya liburnya hari Jum’at. Sabtu dan Minggu dia masuk sekolah seperti biasa. 

“Kenapa?” tanya saya.

“Kangen Bapak,” jawabnya. Panggilan “Bapak” adalah panggilan untuk mertua saya yang telah meninggal tahun 2021 yang lalu. 

Biasanya saya langsung memaklumi perkataan anak sulung saya tersebut. Namun, kali ini saya tidak serta merta mempercayai ucapannya tersebut, karena sepertinya ada sesuatu yang berbeda dari biasanya saat dia ngomong sedang kangen Bapak.

Saya dan istri lalu bergantian mencoba mengorek cerita lebih dalam tentang apa yang mungkin terjadi di sekolahnya tadi. Dia pun akhirnya mengaku bahwa ada yang mengejeknya. Seorang teman mengejeknya aneh hanya karena dia tidak keluar kelas saat istirahat, tapi malah asyik membaca buku.

Terus terang, sebenarnya saya ingin tertawa mendengar pengakuan polosnya itu. Namun, mengingat pentingnya masalah ini, saya tidak sampai hati untuk tertawa. Istri saya, sebaliknya, terlihat sangat serius tanpa senyum sedikitpun.

Istri saya langsung mengingatkan tentang pembicaraan kami kepada anak-anak beberapa waktu lalu. Bahwa kalau ada yang mengejek, maka “gak ngurus” adalah jawaban yang harus disampaikan ke si perundung, bukannya malah marah ataupun menangis. “Gak ngurus” adalah bentuk sikap acuh yang kami sepakati untuk merespon orang-orang yang ingin mengejek atau merundung. 

“Tapi ingat, Mas dan juga Adik. Kalau sampai ada yang mukul atau pakai kekerasan, langsung cerita ke Mama atau Ayah! Ingat!” Dalam hati saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh istri saya. 

Setelah mendengar cerita anak saya tadi, saya jadi berpikir, mungkinkah perundungan atau bullying itu adalah suatu lingkaran setan yang tak ada habisnya. Dulu saya pernah di-bully, sekarang anak saya. Dan, melihat banyaknya kasus perundungan yang terjadi akhir-akhir ini, sepertinya lingkaran setan itu memang benar-benar ada! Tapi, haruskah kita menyerah pada lingkaran setan tersebut? 

Mungkin, kita sudah bosan dengan berita-berita perundungan di sekolah yang mengakibatkan korban depresi atau bahkan korban jiwa. Mungkin juga, kita sudah kebingungan mencari cara untuk meminimalisasi perundungan tersebut. Namun, percayalah, bahwa setiap langkah kecil untuk mencegah perundungan akan sangat berarti bagi generasi-generasi di masa depan. 

Cukup sudah segala teori yang ndakik-ndakik tentang bagaimana perundungan-perundungan ini seharusnya diselesaikan oleh pemerintah. Kita seharusnya bisa memulainya dari lingkungan terkecil yang ada di sekitar. Bahkan bisa kita memulainya dengan bertanya kepada anak-anak, bagaimana sekolahnya hari ini? Saya pikir itu langkah kecil yang bisa kita semua lakukan, bukan? Bagaimana pendapat SoHib?

Nanang Ardianto. Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *