Site icon ghibahin.id

Perceraian: Ancaman di Balik Kuliah S3 di Luar Negeri yang Jarang Dibicarakan

Foto oleh Karolina Kaboompics dari Pexels.com

“Penting untuk memasukkan hal ini dalam sesi pembekalan atau orientasi pra-keberangkatan, termasuk berbagai strategi dan pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah perceraian.”

“Sejauh pengamatanku, perceraian di kalangan mahasiswa S3 itu lumrah. Apalagi jika keduanya sama-sama menempuh program S3,” katanya dengan nada serius.

Bayangkan, saat keluarga, teman, dan kenalan turut bergembira dan menyampaikan selamat, ketua jurusan saya memberikan petuah di atas. Hal itu tentu saja serta-merta menegasikan semua kegembiraan yang saya rasa. 

Bagaimana tidak gembira. Pada awal Desember 2020 lalu, saya sudah dinyatakan diterima program doktor dengan beasiswa penuh di Australia meskipun belum resmi lulus S2. Tidak seaneh kasusnya Bambang Soesatyo sih, tapi juga bukan perkara yang lumrah. Ceritanya terlalu panjang dan tidak relevan dengan apa yang hendak saya bicarakan. 

Ketua jurusan pascasarjana fakultas saya yang memberikan nasihat di atas adalah yang paling berjasa atas pencapaian saya ini. Dia membantu proses daftar kuliah dan pengajuan beasiswa, dan juga dosen saya di dua mata kuliah ketika S2. 

Memang hubungan kami cukup dekat, tapi saya tak menduga nasihatnya justru soal menjaga pernikahan dan betapa S3 bisa menjadi ancaman. 

Ini nasihat yang tak pernah saya dengar sebelumnya —dari siapapun. Dan, sampai saat ini, saya bahkan tak pernah menceritakan ke istri saya, yang pada saat kejadian ini tengah menyongsong tahun ketiganya sebagai mahasiswi doktoral juga. Saya takut dia malah kepikiran. 

Nasihat itu selalu terngiang-ngiang. Dan anehnya, dalam tahun-tahun berikutnya, apa yang dia katakan benar-benar saya saksikan. 

Setidak-tidaknya, ada enam kasus perceraian yang menimpa orang-orang di lingkaran saya –baik yang kenal dekat maupun sekadar tahu. Dari semuanya, pernikahan mereka rata-rata malah sudah jalan di tahun kelima. Bahkan ada yang anaknya sudah usia sekolah menengah. Patut dicatat juga bahwa perceraian yang saya maksud di sini bahkan ada yang terjadi setelah balik ke Indonesia.

Ini membuat saya merenung, apakah kuliah S3 benar-benar bisa menjadi ujian berat bagi kestabilan hubungan pernikahan. Jika benar demikian, mengapa hal ini tidak pernah dibicarakan di acara bootcamp atau lokakarya persiapan kuliah S3 di luar negeri? Juga, dari kasus-kasus yang saya ketahui, hanya salah satu (suami atau istri) saja yang kuliah, sementera saya dan istri sama-sama kuliah. Saya yang dari semula sama sekali tak terpikir malah berujung jadi khawatir.

Demi menjawab kekhawatiran ini, saya sudah mencoba mencari mencari hasil penelitian atau semacam itu agar tahu seberapa besar tingkat perceraian di kalangan mahasiswa S3 di Australia. Sayangnya, sampai tulisan ini saya bikin, saya belum menemukannya.

Penyebab Terjadinya Perceraian

Dari pengalaman orang lain dan pribadi, perceraian untuk mahasiswa doktoral di luar negeri rasanya memang perlu untuk diperbincangkan. Ada banyak mahasiswa Indonesia yang mengadu nasib akademiknya di negara manca dengan membawa serta pasangan atau keluarganya. Perceraian bukan perkara yang mustahil, tentu saja.

Tentang perceraian yang terjadi pada orang-orang di lingkaran saya, tak semua saya ketahui secara rinci. Meski begitu, ada beberapa hal yang saya tangkap bisa menjadi sumber masalah terhadap hubungan suami-istri ketika mereka lanjut studi di mancanegara.

Bagi pasangan menikah, berpindah ke luar negeri saja sudah merupakan perubahan dinamika yang amat besar, dan pasti memunculkan tantangan yang kompleks. Apalagi, jika salah satu atau keduanya harus kuliah S3. Perubahan situasi, kondisi, peran dan ekspektasi terhadap pasangan bisa jadi sumber konflik yang bila tak tertangani dengan baik bisa menjurus ke keadaan yang membahayakan hubungan.

Beberapa suami mungkin masih membawa kebiasaan rumah tangganya ketika berpindah ke Australia. Terbiasa dengan budaya di mana peran suami lebih dominan dan istri bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, sebagian suami kesulitan beradaptasi dengan perubahan peran istri yang menjadi mahasiswi doktoral. Kesulitan menyesuaikan nilai-nilai yang mereka pegang dan ekspektasi terhadap peran istri yang mengalami perubahan berpeluang besar memunculkan konflik. 

Ada contoh yang saya tahu seorang suami bersikukuh istrinya mesti memasak, sesibuk apapun keadaannya dan dia tidak mau makan sampai dimasakkan. Hal-hal seperti inilah yang merontokkan perkawinan salah seorang teman yang telah berjalan empat tahunan. Pada kasus yang berbeda, kekagetan dengan kemudahan mendapatkan uang dalam jumlah yang banyak dan ketidakmampuan mengelola ‘kekayaan’ itu bisa jadi pangkal persoalan rumah tangga yang serius.

Meski di Australia para suami terpaksa melakukan pekerjaan ‘kasar’ seperti cleaning service, tukang cuci piring atau buruh di perkebunan, pendapatan yang diperoleh sangat lumayan jika menggunakan standard Indonesia. Jika di Australia gaji untuk pekerjaan tersebut mengikuti ukuran UMR saja, tapi setidaknya memberikan kelonggaran finansial yang lebih besar ketimbang pendapatan mereka di Indonesia. 

Dan kelonggaran finansial ini yang kadang dibelanjakan untuk yang bukan-bukan. Dan ini benar terjadi pada salah satu kasus. Si suami yang terbiasa dengan upah minimum malah menggunakan uangnya untuk main gila —sesuatu yang tak mampu ia lakukan di Indonesia saat ekonominya masih cekak. 

Alhamdulillah, sampai istri saya lulus pernikahan kami baik-baik saja. Tapi, dari pengalaman kami menjalani rumah tangga sebagai sesama mahasiswa doktoral, kami bisa menjadi paham kenapa perceraian seperti di atas bisa terjadi. 

Ada periode di mana saya dan istri sama-sama menempuh S3. Saya di Edith Cowan University, istri di The University of Western Australia. Saat dia memasuki tahun ketiga, saya baru memulai perjalanan akademik saya. Dan ini bukan perkara yang mudah bagi hubungan kami sebagai suami-istri. 

Tekanan akademik adalah yang paling tidak terhindarkan. Kuliah S3 adalah seperti kerja penuh waktu dan lembur adalah niscaya. Kebanyakan mahasiswa Indonesia yang kuliah S3 di sekitar saya adalah penerima beasiswa, dengan jangka yang dibatasi dan juga tuntutan dari kampus untuk memenuhi pencapaian-pencapaian akademik tertentu. Meleset satu akan punya efek domino.

Maka, ketersediaan waktu untuk keluarga kemungkinan besar berkurang, bahkan kadang malah menipis. Pada titik tertentu, saat benar-benar sibuk, energi sudah benar-benar habis. Bahkan, ada masanya, kehidupan seksual kami sungguh menyedihkan —secara kualitas dan frekuensi. Bagaimana tidak. Kami kerap harus begadang, pikiran terkuras untuk membaca puluhan jurnal untuk sekadar mendapat satu kutipan, merevisi tulisan yang dibantai supervisor habis-habisan. Belum lagi mesti berurusan dengan administrasi kampus yang kadang bikin naik pitam. Apalah arti hubungan pernikahan dengan kualitas hubungan seksual yang memprihatinkan!

Hal lain yang perlu disadari adalah hilangnya support system. Bayangkan pasangan yang terbiasa dibantu oleh ART, orangtua, atau keluarga dalam urusan rumah tangga. Dan ketika pindah ke Australia, mereka mesti melakukan apa-apa tanpa mereka. Betapa pontang-pantingnya! 

Tanpa support system dan tekanan akademik adalah sumber stress yang besar. Oleh karenanya, suami-istri harus menjadi tim yang solid untuk bisa berbagi tugas, apalagi jika sudah ada anak.

Upaya Memperkuat Tali Pernikahan

Dalam urusan kerja-kerja rumah tangga, kami berprinsip siapa yang sempat dialah yang mengerjakan. Meskipun sudah ada pembagian yang cukup fair untuk urusan rumah tangga (misalnya, istri saya memasak karena dia lebih jago, saya urusan cuci-mencuci dan beberes rumah), kami harus memastikan siapa yang sedang dalam kejaran deadline. Untungnya, komunikasi kami lumayan baik dan itu memudahkan kami mencapai titik kompromi. Saya tak keberatan untuk belanja mingguan sendiri atau sesekali memasak jika diperlukan. Bagi kami, urusan kerja-kerja domestik tak mengenal jenis kelamin dan gender.

Selanjutnya, sebagian suami atau istri, ketika memutuskan untuk menemani pasangannya menempuh kuliah di Australia (atau negara lain), harus melepaskan pekerjaannya. Saya pun salah satunya. Sebagaimana diketahui, rata-rata mahasiswa S3 sudah cukup berumur. Dan, karena sebagian besar adalah penerima beasiswa dengan ikatan harus kembali ke Indonesia, mau-tak-mau pasangannya juga harus ikut serta. Dan di sinilah persoalannya.

Mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pengangguran. Mungkin ada yang berwirausaha. Tapi ada sebagian lain yang mesti melamar kerja. Kita tahu, ageism alias diskriminasi atas umur seseorang adalah hal normal di negara kita dalam urusan lamaran pekerjaan. Tidak mudah untuk melamar pekerjaan jika umur di kisaran empat puluhan. 

Bayangkan. Perasaan seperti apa yang dihadapi oleh seseorang menghadapi masa depan yang tidak pasti. Dan situasi akan diperberat apabila pekerjaan tak segera didapat. Menganggur itu sungguh tidak enak —tak hanya soal pendapatan, tapi juga bagi yang punya mental sebagai breadwinner keluarga akan koyak ego dan kebanggaannya jika tak bisa menjalankan fungsi pokok dalam keluarga.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan dua poin berikut. Pertama, saya kira isu perceraian di kalangan mahasiswa S3 di luar negeri perlu mendapatkan perhatian dari penyedia beasiswa. Penting untuk memasukkan hal ini dalam sesi pembekalan atau orientasi pra-keberangkatan, termasuk berbagai strategi dan pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah perceraian. 

Yang kedua, bagi pasangan yang berencana meniti kuliah S3 di mancanegara, penting untuk mempersiapkan diri secara matang, baik dari segi akademis maupun hubungan personal. Memastikan adanya komunikasi yang terbuka, saling mendukung, dan fleksibilitas dalam menghadapi peran baru adalah ikhtiar terbaik untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Dengan cara yang tepat, pengalaman studi bisa menjadi perjalanan yang menyenangkan dan justru memperkuat ikatan pernikahan. Terdengar klise tapi sepertinya ini memang kuncinya.

Sugiyanto Widomulyono, PhD Candidate di Edith Cowan University, Australia.

[AF/red]

Exit mobile version