Pengalamanku Berpuasa Sebagai Minoritas di Negeri Orang

ghibahin

“Tidak hanya kita perlu tahu tentang liyan dan perbedaannya, tetapi juga tentang bagaimana kita menyikapi perbedaan itu secara tepat.”

Ramadan tahun ini adalah ramadan keempat berturut-turut saya jalani di Perth, Australia. Ini bukan kali pertama saya menjalani puasa di tempat muslim sebagai minoritas. Tentu saja tidak ada ingar-bingar ngabuburit, bazar takjil, atau toa yang sampai tengah malam mengencangkan suara orang tadarusan. 

Di negara di mana muslim jumlahnya cuma segelintir, hari-hari ramadan bergulir seperti biasanya. Berpuasa menjadi praktik personal, bukan kolektif, apalagi sampai terlembagakan sebagaimana lazim di Indonesia misalnya. Seorang muslim dituntut untuk menjalani hari ramadan seperti hari-hari biasanya, dengan tanggung jawab profesional yang sama dengan kondisi-kondisi yang sama. Jam kerja, sebagai contoh, tak ada kelonggaran. 

Apakah situasi begini bikin saya merana? Tidak juga. Ini soal cara pandang belaka. Konon, the world is what you make it – dunia itu tergantung bagaimana kita membawanya.

Perihal ramadan di negeri orang, saya tertarik untuk membagikan pengalaman berpuasa di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, saat saya ada urusan kerja di sana lebih dari sepuluh tahun silam. Secara tak sengaja, saya mendapatkan kesempatan itu untuk mengenalkan puasa dan Islam, dan pada saat yang sama saya juga belajar sesuatu yang baru.

Minggu pertama saya tinggal di kamar hotel sendirian. Minggu kedua, demi penghematan anggaran, saya mesti berbagi dengan seorang kolega dari Amerika Serikat. Sebut saja Bunga, eh, Vincent. Vincent lebih muda dari saya. Belum lama jadi sarjana. Itu pertama kalinya dia ke Kamboja, dan pertama kali ketemu orang Indonesia dan muslim pula.

Satu-dua hari berselang, ramadan datang. Hotel kecil saya jelas tidak menyediakan sahur. Maka, siangnya saya membeli beberapa potong roti dan sebotol air. Karena tak mau mengganggu tidur Vincent, saya putuskan mengunyah sahur saya dalam gelap.

Sahur kedua saya melakukan hal yang sama. Celakanya, plastik pembungkus rotinya ulet sekali. Saya mesti berupaya lebih kuat untuk membukanya. Berhasil, tapi timbul suara sobekan yang cukup kencang untuk membangunkan Vincent.

Dia bertanya, “What are you doing?”

Saya serta-merta meminta maaf untuk kemudian menjelaskan apa yang saya lakukan.

“Why are you doing it in the dark? Turn on the lights. I don’t mind”, katanya.

Saya menyalakan lampu. Dia bangun dari ranjang, lalu mendekat ke tempat saya duduk. Dia pun turut duduk.

Kami lantas mengobrol tentang apa itu puasa, apa itu ramadan, dan banyak hal lainnya. 

Siangnya, dia bilang dia tertarik untuk mencoba. Maka, jadilah dia teman berpuasa saya selama paruh pertama ramadan, termasuk dalam kesibukan memilih makanan apa untuk sahur. Di sela-sela waktu, dia bertanya sesuatu soal puasa atau Islam. Kadang kami berdiskusi tentang hal lain yang lebih umum.

Setelah menjalani puasa pertamanya dengan lancar, di hari kedua dia memutuskan untuk tetap minum air di waktu siang. Matahari di Phnom Penh terlalu terik untuk dia yang tak biasa dengan iklim tropis. Toh, sebenarnya dia tidak termasuk yang diwajibkan berpuasa.

Di satu kesempatan setelah berpuasa beberapa hari, Vincent menyebutkan bahwa sebelum ini, dia tak pernah benar-benar tahu rasa lapar itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga berkecukupan. Makanan selalu tersedia. Lagipula, dia tidak pernah sekalipun berpuasa. Lewat pengalaman ini, dia jadi menyadari bahwa rasa kenyang itu adalah berkah, bukan sesuatu yang taken for granted.

Pengalaman dengan Vincent selama dua minggu ini meninggalkan jejak yang cukup signifikan pada diri saya. Di lingkungan pertemanan saya di Indonesia kebanyakan orang Islam juga. Umumnya sudah tahu tentang ramadan dan berpuasa, baik dari sisi teologis maupun sosial.

Tidak banyak ruang bagi saya yang pemahaman agamanya pada level ala kadarnya untuk berbicara tentang hal-hal yang orang lain sudah sama-sama tahu. Justru pada tempat yang asinglah, peluang kita terbuka lebar untuk syiar – mengenalkan ide dan praktik agama yang orang lain belum pernah menjumpainya. 

Selanjutnya adalah tentang mengenal liyan. Ada banyak ketidaktahuan yang Vincent miliki tentang saya, tentang agama saya, tentang ibadah saya, dan juga tentang worldview (dan juga afterworldview) versi Islam. Selama dua pekan itu, Vincent banyak sekali bertanya tentang Islam. Tak semuanya saya tahu jawabannya. 

Dari tanya jawab itu, Vincent lebih lanjut mengeksplorasi posisinya dalam menghadapi liyan dengan semua perbedaannya. Seperti, kepekaan apa yang perlu dia bangun, bentuk-bentuk interaksi apa bisa dia lakukan dengan orang lain secara layak dan sikap hormat, dan apakah ada hal lain yang perlu dia tahu dari orang lain mengenai ekspektasi orang tersebut atas dirinya.

Saya kira, ini attitude yang layak untuk dicontoh, khususnya untuk kita yang bersinggungan dengan dunia yang multikultural. Tidak hanya kita perlu tahu tentang liyan dan perbedaannya, tetapi juga tentang bagaimana kita menyikapi perbedaan itu secara tepat.

Kegiatan kerja sebulan saya ditutup dengan makan malam di atas perahu, menyusuri Sungai Tonle Sap, lalu berputar sedikit di Sungai Mekong. 

Sebelum berangkat, kami berkumpul di dermaga di Preah Sisowath Quay, tak terlalu jauh dari istana Preah Barom Reacheaveang Chaktomuk Serey Mongkol. Nah, pada saat menunggu semua orang tiba, rupanya jam magrib sudah tiba. Saya pun berbuka dengan minum.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, saat rombongan sudah lengkap, tiba-tiba terjadi sedikit kehebohan. Vincent dikerubungi beberapa orang. Saya tengok dia memegangi perutnya. Dia jongkok sebentar, kemudian diminta berbaring. Mukanya meringis menahan sakit. 

Rupanya, dari berpuasa di negeri asing ini ada satu lagi catatan pinggir. Jangan sekali-kali berbuka dengan bir! Nanti seperti Vincent, teman saya, yang merintih kesakitan sembari nyengir! Anjirr! (red/rien)

Sugiyanto Widomulyono, PhD Candidate di Edith Cowan University. Tinggal di Perth, Australia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *