Pengalaman Menangkap Tukang Jiplak di Kelas Daring

“Kita semua pun pada dasarnya juga menjiplak, meniru dalam banyak hal. Ketika masih kecil, kita meniru cara orang tua kita berjalan, makan, dan berbicara.”

“Menangkap pencuri itu susah.” 

Kata siapa? Kalau pencuri yang dimaksud adalah si pencuri hati, mungkin memang susah ditangkap. Tapi kalau pencuri karya orang lain, alias tukang nyontek, atau plagiator, ternyata tak sulit untuk membuat mereka menyerahkan diri.

Peristiwa ini terjadi dalam masa pembelajaran jarak jauh, ketika semua penyampaian materi maupun ujian dilakukan secara daring. Karena sebelumnya juga sudah pernah menjadi mahasiswa, maka ketika kemudian menjadi dosen, saya sedikit banyak mengetahui trik untuk mempersulit peluang mahasiswa untuk menjiplak jawaban temannya.

Saat itu, saya sengaja membuat soal yang sebagian besar pertanyaannya diakhiri dengan “jelaskan hal tersebut menurut pendapat Anda”. Dalam benak saya, soal yang menanyakan pendapat pribadi tak mungkin dijawab dengan cara yang persis sama. Namanya pendapat, tentu berbeda-beda sesuai dengan isi kepala mahasiswa masing-masing.

Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika mendapati dua lembar jawaban mahasiswa yang isinya persis sama. Jelas, ini indikasi bahwa plagiarisme telah terjadi.

Mahasiswa yang jawabannya sama persis ini, sebut saja si Ini dan si Itu, keduanya adalah mahasiswa yang tidak terlalu aktif di kelas daring. Mereka sekadar hadir namun jarang berinteraksi. Saya tak bisa menebak apakah si Ini meniru jawaban si itu atau sebaliknya. Ketika saya tegur secara pribadi, keduanya sepakat pura-pura tidak tahu dan tidak mengakui tindakan plagiat yang mereka lakukan.

Tentu saja saya kesal, namun tak kekurangan akal. Sebagai dosen praktisi atau pelaku bisnis yang mengajar, menghadapi mahasiswa yang menyontek membuat saya merasa seakan sedang ditipu oleh rekan kerja.

Yang lebih menyebalkan, kedua mahasiswa ini isi lembar jawabannya sama persis hingga ke titik komanya. Bahkan, kesalahan pengejaannya pun sama persis. Jika mereka memang sudah kepepet banget untuk menjiplak jawaban teman, mbok ya dibuat lebih kreatif sedikit. Bisa lho, sedikit dimodifikasi, ditambahi, atau kalau bisa dibikin sedikit lebih bagus dari aslinya. Jangan dijiplak mentah-mentah, ya kan

Dalam dunia bisnis pun, jargon ATM (amati, tiru, dan modifikasi) sebenarnya sudah banyak dilakukan orang. Lihat saja setiap ada peluncuran produk baru yang sukses di pasar, sudah pasti imitasinya akan bermunculan dalam berbagai level KW. 

Kita semua pun pada dasarnya juga menjiplak, meniru dalam banyak hal. Ketika masih kecil, kita meniru cara orang tua kita berjalan, makan, dan berbicara. Ketika dewasa, kita juga sering meniru cara orang berpakaian, berperilaku, bahkan model rumah orang lain pun kita tiru.

Tapi ketika kita meniru, bukankah kita juga melakukan modifikasi? Bila orang tua kita makan daging dengan cara dijadikan semur, kita juga makan daging dalam wujud steak. Jika orang lain memakai kemeja, kita mungkin melakukan variasi dengan menambah kaos di dalamnya. Jika orang lain membangun rumah gaya minimalis menggunakan batako, kita juga bisa membangun rumah bergaya serupa dengan material batu bata. Intinya, kita tetap membuat pembedaan dari beragam hal yang kita tiru.

Ada rasa prihatin ketika melihat mahasiswa yang masih muda belia ini ternyata sudah sedemikian malasnya, bahkan terlalu malas untuk sekadar memodifikasi lembar jawaban yang dijiplaknya. Keprihatinan ini membuat saya ingin sekali memberi mereka pelajaran.

Dalam industri yang saya geluti, kepercayaan adalah hal yang sangat penting dan menjadi modal utama dalam berbisnis. Tentu saja, saya ingin para mahasiswa, yang merupakan generasi penerus industri di masa depan, memiliki integritas dan reputasi yang baik.

Meskipun saya hanya dosen praktisi yang tugas utamanya mengampu mata kuliah sesuai bidang pekerjaan saya sehari-hari, dan bukan dosen akademisi seperti rekan dosen lain, saya tetap berkeyakinan bahwa membangun attitude jauh lebih berharga daripada sekadar meningkatkan pengetahuan.

Saya memahami kebiasaan orang yang terdesak, pasti akan membela diri. Demikian pula orang yang tertangkap basah menjiplak hasil kerja orang lain, tentu saja tak akan mengakui perbuatan curangnya begitu saja.

Karena saya ingin menangkap pencuri tanpa perlu menghakimi, maka saya pun mengatur strategi. Saya menulis sebuah pesan di WhatsApp Group yang anggotanya terdiri dari semua mahasiswa yang mengikuti mata kuliah saya. Pesan itu berisi kalimat yang telah saya rancang untuk menstimulus rasa bersalah, sekaligus mengakumulasi ketakutan mereka akan kegagalan.

“Saya kecewa karena ada plagiat di kelas ini. Sesuai peraturan kampus, plagiat tidak akan lulus. Saya tidak akan menyebut nama, namun bagi mahasiswa yang merasa telah melakukan plagiat jawaban UAS, silahkan menghubungi saya. Saya akan memberikan soal ujian susulan, dan tidak akan mengurangi nilainya karena saya menghargai orang yang mau mengakui kesalahan. Tapi bila tidak ada yang mau mengaku, maka seluruh mahasiswa di kelas ini tidak lulus mata kuliah saya.”

Tak lama berselang sejak saya mengirimkan pesan itu, seorang mahasiswa datang ke hadapan saya. Bukan si Ini atau si Itu yang saya tangkap basah memiliki jawaban yang sama, melainkan si Anu, mahasiswa yang cukup aktif di kelas. Ia mengaku telah menyontek dan meminta maaf. Saya pun memberikan kepadanya soal ujian susulan seperti yang saya janjikan, karena lembar jawaban UAS yang ternoda itu jelas tidak akan saya nilai.

Pengakuan yang saya terima dari si Anu bukanlah pengakuan tunggal. Pada hari yang sama, secara beruntun, saya juga menerima pengakuan mahasiswa-mahasiswa lain yang menjiplak jawaban temannya. Dan ternyata, hampir seluruh mahasiswa melakukannya. 

Saya pun tertegun. Jadi, selama ini …?

Margaretha Lina Prabawanti. Dosen praktisi, mengajarkan ilmu dari pekerjaan yang dilakukan sehari-hari

[red/yes/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *