Site icon ghibahin.id

Pendidikan Eksistensial versus Pendidikan Esensial

Setelah kota Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak oleh bom nuklir Amerika Serikat, Jepang mengalami keterpurukan. Namun Hirohito, kaisar saat itu, paham apa yang harus dilakukan untuk bangkit. Pertanyaan sang Kaisar kepada jendral-jendral yang masih hidup adalah, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Begitulah Jepang mengawali kemajuan negaranya sebagai salah satu adikuasa ekonomi dunia.

Peran guru melalui pendidikan begitu powerful mengubah suatu bangsa. Dan memang ada korelasi yang erat antara kemajuan suatu negara dengan derajat pendidikan masyarakatnya. Tingginya tingkat pendidikan masyarakat menentukan kemajuan suatu negara, dan begitu pun sebaliknya.

Pada hakikatnya, menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka itu selamat raganya, bahagia jiwanya. Individu yang merdeka mempunyai kedaulatan pemikiran maupun finansial. Pribadi yang merdeka tidak akan merasa dirinya eksklusif atau abai terhadap masalah di sekelilingnya. Individu merdeka mestinya mampu menebar manfaat untuk menciptakan masyarakat yang tinggi tingkat pendidikan dan literasinya.

Pada kenyataannya, meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan tidak serta merta menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Pertanyaannya, apa yang salah dalam pendidikan kita? Pendidikan seperti apa yang dapat mengubah suatu bangsa? 

Banyak dari kita mengidentikkan pendidikan dengan sekolah. Kita menganggap orang yang berpendidikan adalah yang menyelesaikan sekolahnya sampai perguruan tinggi. Lalu, kita anggap anak-anak yang putus sekolah sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan. Padahal, kesuksesan seseorang tidak selalu ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan formal yang ditempuh. Juga bukan oleh seberapa panjang gelarnya. 

Ada begitu banyak contoh orang-orang sukses, padahal ia tidak pernah mengenyam bangku kuliah.  Bahkan, ada di antaranya hanya lulusan sekolah dasar. Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya, meski tidak bersekolah, mereka berpendidikan. Mereka mau belajar dan senantiasa berupaya mengembangkan dan memperbaiki diri.

Misalnya, ada anak yang putus sekolah kemudian harus membantu orang tuanya berjualan, keliling dari rumah ke rumah berjalan kaki. Dia bertemu banyak orang. Dari situ, dia belajar bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi. Otaknya selalu berpikir bagaimana dagangannya habis terjual dan besok kembali berjualan dengan dagangan yang lebih banyak. Secara eksistensial dia tidak sekolah, namun pada hakikatnya dia sedang sekolah. 

Di sisi lain, siswa yang berbakat dan sekolah dengan fasilitas ekstra lengkap, tidak serta merta menghasilkan lulusan yang berkualitas, terutama bila proses penyelenggaraannya tidak dijaga dari hal yang dapat mendistraksi. Distraksi bisa berupa berubahnya tujuan, dari menuntut ilmu menjadi mengejar ijazah, atau sekadar memenuhi kualifikasi pekerjaan atau profesi tertentu. Akibatnya, peserta didik menuntut ilmu dengan cara yang berbeda. 

Nilai tinggi jadi tujuan, tak jarang untuk memperolehnya ditempuh dengan cara-cara instan. Padahal ijazah tidak lebih dari selembar kertas yang berisikan deretan angka. Kekuatannya justru bukan terletak pada seberapa besar angka yang tertera di situ. Tapi pada upaya kita mendapatkannya. Apalah artinya ijazah dengan deretan nilai tinggi tanpa dibarengi kompetensi dari pemiliknya. 

Ada juga oknum guru yang kurang kreatif, memberi tugas atau soal mengambil dari Google. Siswa yang akrab dengan gadget tentu dengan mudah menjawab soal dengan bantuan search engine. Siswa hanya melakukan salin-tempel tanpa ada proses berpikir. Bila hal ini terjadi maka secara eksistensial dia sekolah, tetapi tidak secara esensial.

Berapa banyak perguruan tinggi di negeri ini? Berapa banyak karya ilmiah hasil penelitian yang dihasilkan setiap tahun? Jika setiap satu karya ilmiah adalah solusi, berapa banyak permasalahan yang mestinya terselesaikan? Namun, para cendekia kadang lupa, menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dekat dengan keseharian kita. Akibatnya begitu banyak karya yang hanya menjadi koleksi perpustakaan. 

Masalah lainnya—sangat klasik—selalu ada jarak antara apa yang diajarkan di sekolah dengan penerapannya di dunia nyata. Pengetahuan yang didapatkan di ruang kelas seolah jadi barang asing yang tidak mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan teknologi dan industri selalu melesat jauh di depan kurikulum sekolah yang tidak pernah tuntas.  Berubah secara dinamis mengikuti berubahnya penguasa. 

“Pendidikan itu penting, tapi sistem yang hari ini kita sebut sekolah yang apa iya penting?”. Begitu kritik dari Ivan Illich dalam Deschooling Society. Menjadi PR kita bersama mengembalikan fungsi primordial sekolah.  

Istilah sekolah berasal dari bahasa latin, yaitu schola bermakna “waktu lapang” atau “waktu senggang”. Lelaki zaman Yunani kuno memiliki kebiasaan mengisi waktu luang mereka dengan cara mendatangi seseorang yang bijak. Mereka belajar hal-hal yang mereka rasa perlu diketahui, dan menyebut kegiatan ini dengan istilah scola, skhole, scolae atau schola. Keempatnya memiliki arti yang sama, yaitu “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.”

Pendidikan yang mampu menjawab persoalan kemiskinan adalah pendidikan yang esensial. Bukan pendidikan yang hanya eksistensial. Pendidikan esensial adalah proses belajar kontekstual, terarah, penuh kesadaran, dan melampaui zona nyaman kemampuan. Yang kita butuhkan adalah pendidikan yang menghasilkan transformasi paripurna, meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Meski terkadang prosesnya tidak terbatasi oleh dinding sekolah yang sempit.

Roy Waluyo. Pengajar, tinggal di Bogor.

[red/rien]

Exit mobile version