Pemuda dan Literasi Kita

“Meskipun cukup membanggakan menjadi karyawan termuda di kantor, sebenarnya saya iri sekali kepada sahabat-sahabat saya semasa SMA yang sebagian besar bisa kuliah.”

Sore itu kelas tampak lesu. Berbagai wajah kuyu menjatuhkan diri di bangku. Saya tahu, para mahasiswa itu sedang tak berminat belajar hari ini. Mereka mungkin lelah usai mengikuti reli kelas luring sejak pagi. Apalagi sore ini, di kelas manajemen investasi yang saya ampu, materinya cukup berat. Setelah itu, mereka masih harus mengikuti kelas auditing. 

Bukan hanya kelelahan fisik yang membuat suasana kelas hari itu tidak kondusif. Mereka, para generasi muda itu, tengah dihadapkan kepada situasi yang tak menentu. Inflasi semakin tinggi, resesi sudah di ambang pintu, ditambah IHSG yang mendadak genit menjadi penyuka warna merah. Dalam kondisi serupa, belajar setinggi apa pun terasa percuma, toh tetap tak akan mampu membalikkan keadaan dengan segera.

Di depan kelas, sejenak saya menatap wajah-wajah kuyu itu satu persatu. Saya teringat masa-masa ketika berada di situasi yang sama, hingga menjadi sedemikian putus asa karena merasa tak ada jaminan masa depan cerah di hadapan saya. 

Saya masih duduk di kelas dua SMA, ketika menyadari bahwa saya tak akan bisa melanjutkan kuliah karena ketiadaan biaya. Mendadak saya menjadi malas belajar karena merasa sia-sia. Saya tak lagi membaca buku, tak mau mengerjakan tugas, dan bahkan sempat beberapa kali membolos pelajaran. 

Beruntung, saya segera tersadar bahwa masa depan saya bukan tanggung jawab orang lain, melainkan berada di tangan saya sendiri. Tak ada gunanya menyalahkan orang lain atas nasib buruk saya. Karena khawatir tak mendapat pekerjaan bila nilai ijazah saya jelek, maka ketika duduk di kelas tiga SMA, saya kembali rajin belajar hingga bisa lulus dengan nilai rapor yang baik.

Selepas SMA, seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, saya langsung berhadapan dengan dunia kerja. Selain untuk memenuhi harapan orang tua, saya juga bekerja untuk meringankan beban perekonomian keluarga. 

Pada masa itu teman-teman seangkatan sedang senang-senangnya menikmati masa muda, kuliah di luar kota, dan mengalami berbagai peristiwa seru layaknya anak muda yang tengah mencari jati diri. Saya sendiri tak perlu lagi bersusah payah menemukan jati diri, karena sejak bekerja identitas saya menjadi jelas: seorang karyawan!

Meskipun demikian, bertahun-tahun lamanya saya merasa terkucil dari lingkaran pertemanan, terutama dengan teman sebaya. Teman-teman kantor rata-rata berusia jauh di atas saya. Meskipun cukup membanggakan menjadi karyawan termuda di kantor (saya mulai bekerja ketika berumur sembilan belas), sebenarnya saya iri sekali kepada sahabat-sahabat saya semasa SMA yang sebagian besar bisa kuliah di Jogja. 

Perasaan iri itu kemudian muncul ke permukaan, berkamuflase sebagai perasaan minder atau rendah diri. Saya selalu menundukkan kepala bila bertemu dengan rekan kerja yang semuanya sarjana.

Saya juga merasa tidak nyaman di lingkungan kerja karena belum menguasai skill yang dibutuhkan. Kemampuan saya masih terbatas pada pekerjaan administrasi yang tentu saja membosankan sekali. Karena itulah saya ibarat mendapat durian runtuh ketika kantor menawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, baik akademis maupun profesional sesuai bidang pekerjaan.

Dalam kurun waktu itu, sahabat-sahabat saya sering berkirim surat (iya betul, surat! Bukan WhatsApp karena waktu itu telepon genggam masih menjadi barang langka yang tak semua orang punya) ke alamat kos saya di Jakarta. 

Saya cukup terhibur membaca cerita mereka tentang kehidupan di kampus yang tidak bisa saya alami sendiri. Meskipun saya juga kuliah, tetapi waktu perkuliahan yang harus saya jalani di malam hari usai bekerja, tentu tidak seseru teman-teman yang kuliah reguler di siang hari.

Semakin lama, surat-surat sahabat semakin jarang saya terima. Tiba-tiba saya menyadari bahwa sahabat saya telah menjadi pribadi asing karena kehidupan kami yang tak lagi saling bersinggungan. Saya tidak mengenal dunia kampus, sama halnya seperti mereka yang tak bisa memahami dunia kerja yang saya geluti sehari-hari.

Kembali ke situasi kelas sore itu, ketika saya menatap wajah muda para mahasiswa yang sedang kehilangan semangat, saya teringat bahwa saya membawa buku baru yang belum sempat saya baca. Buku itu sudah terlalu lama menjadi penghuni tetap tas yang selalu saya bawa ke mana-mana, tanpa sempat dibuka plastiknya. 

Saya memang sering lapar mata setiap menginjakkan kaki di Gramedia, sehingga setiap kali keluar dari toko buku terbesar di Indonesia itu, tangan saya dipenuhi setumpuk buku yang seringkali tak sempat saya baca.

Untuk mencairkan suasana kelas, buku itu saya pamerkan di depan kelas sambil berkata, “Siapa yang bisa menjawab pertanyaan, dapat hadiah buku!” 

Tak disangka, suasana kelas menjadi riuh dan para mahasiswa mendadak bersemangat mengerjakan soal. Entah termotivasi karena suka membaca buku, atau hanya karena senang mendapat barang gratisan, alasannya tak perlu diperdebatkan lagi. Toh saya juga suka bila sesekali memperoleh sesuatu tanpa perlu pengorbanan.

Membagikan buku sebagai hadiah untuk mahasiswa yang aktif di kelas akhirnya menjadi tradisi yang tak bisa saya tinggalkan, karena setelah hari itu, setiap kali saya melontarkan pertanyaan, mereka akan balas bertanya, “ada hadiahnya nggak, Bu?”

Saya tak tahu apakah buku-buku tentang keuangan dan motivasi yang saya bagikan setiap minggu di kelas akan dibaca hingga tuntas oleh para mahasiswa itu. Jangan-jangan mereka seperti saya, yang hanya kuat membaca beberapa bab saja sebelum beralih ke buku yang lain karena bosan atau menemukan buku yang lebih menarik.

Tetapi yang jelas, dalam kelas saya kemarin, beberapa mahasiswa menghampiri saya pada saat jeda dan menanyakan bagaimana caranya memulai investasi reksadana. Produk reksadana seperti apa yang harus dipilih dalam situasi perekonomian yang tidak menentu seperti sekarang ini? Reksadana pasar uang, reksadana saham, reksadana pendapatan tetap, atau reksadana campuran? 

Mereka tidak menanyakan cara membeli saham, barangkali karena uang jajan mereka belum cukup untuk ditukarkan dengan satu lot saham, sedangkan untuk membeli reksadana cukup dengan seratus ribu rupiah saja. Atau jangan-jangan mereka sudah memahami bahwa pada saat ini investasi saham sedang terpuruk seiring IHSG yang sedang melemah?

Para mahasiswa itu mengelilingi saya dengan mata berbinar menyimpan harapan. Saya membalas menatap mereka satu persatu dengan haru, menyaksikan wajah mereka tak lagi kuyu tetapi bersinar cerah. Wajah-wajah generasi muda tempat kita menitipkan masa depan bangsa.

Jakarta, 28 Oktober 2022.

Margaretha Lina Prabawanti, Dosen praktisi yang bekerja di perusahaan asuransi.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *