Site icon ghibahin.id

Pasang Iklan kok di Pohon Pinggir Jalan

Esai

Gambar oleh Vinson Tan ( 楊 祖 武 ) dari Pixabay

“Pepohonan yang seharusnya berfungsi untuk mengurangi polusi dan menambah keindahan jalanan, seketika berubah bak lapak untuk berjualan.”

Mengapa hanya pohon di hutan saja yang kita selamatkan? Pertanyaan itu muncul di kepala, sesaat setelah saya selesai membaca berita tentang aksi dan gerakan menanam pohon yang dilakukan oleh banyak komunitas pencinta lingkungan, dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni lalu. 

Dan saya setuju serta segera meng-amin-kan bahwa apa yang saya baca merupakan sebuah berita yang menggembirakan. Karena tentu saja gerakan itu membawa dampak baik bagi lingkungan, dan semestinya tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang kerap kali menamai diri sebagai pahlawan bumi, melainkan oleh semua orang yang sudah seharusnya peduli, dan bertanggung jawab menjaga lingkungan untuk masa depan, termasuk saya sendiri.

Apalagi jika mengingat riset yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI. Data yang didapat dari riset itu menyatakan bahwa di Indonesia, lahan seluas 159 juta hektar sudah terkavling dalam izin investasi industri ekstraktif. Data IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) 2018 juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang tentunya sangat berpengaruh pada berkurangnya kawasan hutan dunia. 

Dengan fakta ini, dapat dipastikan bahwa di masa depan manusia akan menjadi makhluk paling menyesal, karena terlambat menyadari bahwa bumi tak lagi layak huni. Salah satu penyebabnya adalah keterlibatan para pengusaha, yang saat ini menghalalkan segala cara demi laba, dan tega merusak lingkungan demi kekayaan.

Bicara soal keterlibatan para pengusaha dalam perusakan lingkungan, jelas akan membuat siapa saja merasa kesal kecuali para pengusaha itu sendiri. Saya pikir mereka layak mendapatkan gelar sebagai manusia-manusia paling kreatif di dunia yang fana ini. 

Tingkat kreativitas mereka mampu mengalahkan guru-guru TK yang mengajarkan para muridnya bernyanyi. Mampu mengalahkan kreativitas para seniman yang terlibat dalam proyek pasar seni. Bagaimana tidak, demi meraup keuntungan, mereka bisa mengubah hutan menjadi perkebunan, persawahan jadi perumahan, serta area pegunungan jadi tempat liburan.

Kreativitas mereka terlihat di mana-mana. Di jalan yang saya lewati, selalu tampak mahakarya mereka. Salah satunya adalah jajaran poster dan pamflet promosi yang mereka pasang di pohon-pohon yang ditanam di bahu jalan. Pepohonan yang seharusnya berfungsi untuk mengurangi polusi dan menambah keindahan jalanan, seketika berubah bak lapak untuk berjualan. 

Berbagai poster terpasang sepanjang jalan dari mulai poster promosi property sampai promosi grand opening rumah makan. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab membuat aturan khusus karena berkaitan dengan tata kota terkesan membiarkan, bahkan sesekali ikut serta memasang poster kampanye saat bertarung dalam pemilu. Barangkali agar bisa meramaikan musim selain hujan dan kemarau, yaitu musim demokrasi.

Padahal selain memasang iklan di papan reklame yang dibuat khusus untuk promosi, di era yang serba cepat seperti sekarang ini, ada banyak opsi yang bisa dipilih, tanpa mengorbankan pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan. Opsi yang tentunya lebih mudah, semisal memasang iklan di akun-akun media sosial, atau platform digital lainnya. Namun, mungkin saja dengan berbagai alasan, mereka menganggap pohon-pohon itu sebagai peluang untuk menggantikan tiang dan menghasilkan uang.

Melihat perilaku tersebut, dalam upaya menjaga lingkungan, saya rasa penggunaan alih fungsi pepohonan di jalanan perlu mendapatkan perhatian. Misalnya, dilakukan upaya pencegahan dengan membuat aturan perizinan yang jelas oleh pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan, dan peran serta masyarakat dengan tak lagi menganggap perilaku tersebut sebagai suatu hal yang wajar. 

Selain itu, yang terpenting adalah kesadaran dari para pelaku itu sendiri, agar mau memasang poster promosi di papan reklame yang memang dibuat khusus untuk iklan. Daripada memasang iklan dengan cara merusak lingkungan, lebih baik mereka berupaya untuk meningkatkan kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan. Juga untuk para pejuang jabatan, daripada merusak lingkungan dengan dalih meramaikan demokrasi, lebih baik sama-sama berupaya mengurangi polusi juga korupsi. 

Namun, bisa jadi cara-cara tersebut masih dirasa sulit dan terlalu mulia untuk dilakukan, karena memerlukan modal dan juga kebesaran hati. Cara terakhir yang bisa jadi pilihan sederhana saja, berhentilah memasang iklan di pepohonan. Jikalau kita tak bisa menciptakan keindahan, setidaknya jangan menjadi sumber yang mengganggu pemandangan. Jikalau tak mampu membuat perbaikan, minimal jangan jadi sumber kerusakan.

Sebelum menutup tulisan ini, saya berharap agar komunitas yang getol mengadakan aksi menanam pohon sebagai gerakan penyelamatan bumi, tidak hanya mengajak orang-orang untuk menyelamatkan pohon di hutan. Namun juga mengajak orang-orang untuk menjaga pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Karena pohon di hutan maupun di jalanan sama-sama berperan untuk sumber kehidupan, juga keindahan. 

Saya juga membayangkan, suatu hari nanti ketika saya melewati jalanan, tak ada lagi pohon yang tumbuh dengan tancapan paku, tak ada lagi promosi yang mengganggu. Karena pada dasarnya jalanan bukanlah tempat untuk menanam iklan, apalagi memanen keserakahan. 

Imas Millah. Alumni Teologi yang mencoba peduli kepada bumi dan literasi.

[red/sk]

Exit mobile version