Site icon ghibahin.id

Para Perempuan Tangguh, Penyangga Finansial Keluarga

“Hidup tetap berlangsung, ada perut-perut yang harus dihindarkan dari kelaparan. Ada cicilan yang tetap harus dibayar.”

Di dekat tempat saya tinggal, tadinya ada banyak penginapan kecil-kecilan. Saat pandemi berlangsung, saya melihat penginapan-penginapan itu memasang papan bertuliskan “closed” besar-besar di depan pintunya. Penginapan-penginapan tersebut tentu sudah berusaha melakukan pengurangan biaya operasional di tahun pertama pandemi. Namun, pengurangan beban pun tak bisa serta merta mengatasi permasalahan mereka. Belum lama ini, saya melintas di depan area tersebut, dan melihat bahwa tulisan “closed” yang dulu terpajang sudah berganti menjadi “dijual”.

Menutup usaha hingga menjual aset menjadi pilihan logis yang diambil oleh pemilik penginapan-penginapan tersebut. Sayangnya, pilihan tersebut membawa konsekuensi tak enak bagi para karyawan. Terlebih saat karyawan yang dirumahkan merupakan tiang penyangga finansial di keluarganya. Maka, efek domino yang timbul dari pemberhentian para karyawan adalah ketidakpastian finansial bagi ratusan bahkan ribuan rumah tangga. 

Mereka yang tangguh dan beruntung bisa segera mencari cara untuk segera mendapatkan pekerjaan. Sayangnya, menemukan pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah bagi suami Novi, Anik, dan Lia. Ketiga ibu muda ini punya kisah yang mirip-mirip. Setidaknya, dari ketiga perempuan tersebut, tak ada yang pernah menyangka bahwa mereka akan mengambil peran sebagai tulang punggung bagi kehidupan rumah tangganya. 

Pertama, ada Novi yang tinggal di Wates, Yogyakarta. Ia adalah seorang karyawan dari sebuah toko plastik. Sehari-hari ia bekerja sebagai admin, sementara suaminya bekerja di sebuah penginapan dengan penghasilan di bawah UMR. Novi, yang pada dasarnya merupakan ibu pekerja, tak mengeluhkan penghasilan suaminya. Hingga hal yang tak disangka terjadi. Penghasilan yang tak berlimpah itu kena imbas dari pandemi. 

Suami Novi diberhentikan dari penginapan tempat ia bekerja. Tanpa pesangon. Tanpa keterangan libur sementara. Benar-benar diberhentikan beserta karyawan-karyawan yang lain. Novi pun memutar otak agar keuangan rumah tangganya tidak ambruk. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjualan. Lewat WhatsApp dan Facebook, ia menjaring konsumen. Barang yang dijualnya sangat beragam, ia bahkan bisa menyebut dirinya penjual palugada (apa yang lu minta, gua ada). 

Hal yang dialami suami Novi, dialami juga oleh suami Anik yang tinggal di Prambanan. Suami Anik bekerja di tempat hiburan karaoke keluarga. Tentu, tak ada orang yang mau berkaraoke selama masa pandemi. Berbagai aturan yang ada pun memaksa perusahaan-perusahaan untuk meliburkan bisnis hiburannya. Akhirnya, perusahaan-perusahan itu memutuskan untuk memberhentikan sebagian karyawannya. Suami Anik termasuk salah satunya.

Untung saja Anik punya hobi membuat kudapan. Ia juga sudah merintis usaha kecil dengan menjajakan aneka makanan hasil karyanya. Saat keluarga mereka dalam keadaan tanpa pendapatan, Anik bekerja lebih gigih. Ia memikirkan produk apa yang bisa dijualnya, yang cukup awet bertahan di suhu ruangan, sehingga dapat dikirim ke pelanggan-pelanggan yang berasal dari komunitas yang diikutinya. Kue kacang menjadi komoditas utama yang dijualnya. Selain memasarkan kudapan buatannya di komunitasnya, Anik juga memilih lokapasar Shopee untuk membantu meringankan ongkos kirim para pelanggannya.

Usaha rumahan memiliki banyak tantangan. Mencium bau karet blender yang leleh, karena kepanasan setelah dipaksa bekerja keras menghaluskan kacang, adalah pengalaman yang sudah biasa dirasakannya. Peristiwa demikian hanya dianggap Anik sebagai tantangan kecil. “Alhamdulillah, semua baik-baik saja.” Demikian ucapnya saat saya bertanya soal suka duka dan kesulitan yang dihadapi selama menjual kudapan hasil karyanya. 

Kisah serupa juga datang dari Lia yang tinggal di Surabaya. Sebelum pandemi, suami Lia bekerja dalam bidang ekspedisi dan logistik. Penghasilan dari suami Lia sangat cukup bagi keluarga kecil mereka. Lia sendiri mengaku memiliki aneka privilese sebagai seorang istri. Ia hidup dengan nyaman dan terjamin secara finansial. Semua baik-baik saja. Hingga pandemi merenggut privilese yang dimiliki Lia.

Dulu, suami Lia melarang istrinya kelelahan. Bahkan untuk iseng-iseng menjajakan hasil karya hobi membuat kudapan pun dilarang. Hadirnya pandemi mengubah hal itu. Ketika suami Lia harus dirumahkan, Lia pun berubah menjadi sosok perempuan yang berbeda dari kesehariannya dulu. Lia yang masih muda dan kreatif memilih usaha Multilevel Marketing (MLM) dan menekuni hobi memasaknya untuk mendapatkan pemasukan. Ia sangat gigih menawarkan dagangannya lewat WhatsApp maupun Facebook. Otomatis, tak ada lagi larangan tak boleh bekerja untuk Lia. 

Dari ketiga cerita tentang ibu muda yang tangguh tersebut, ada kesamaan dalam hal memilih komoditas yang akan mereka jual. Mereka memilih komoditas yang paling mudah didapatkan. Pilihan dijatuhkan tanpa membuat survei kebutuhan konsumen, tanpa modal yang besar, serta tanpa pertimbangan yang terlalu rumit. “Tidak ada pertimbangan khusus, hanya memikirkan snack yang lebih tahan lama saja untuk dijual,” kata Anik. Sementara Novi memilih menjadi reseller dari toko milik bosnya, mengingat keterbatasan waktu untuk berburu dagangan dari tempat lain. 

Menurut data statistik E-Commerce 2020 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ada 47,48% pekerja e-commerce berjenis kelamin perempuan. Angka tersebut menjadi bukti nyata dari jargon-jargon tentang perempuan berdaya. Kita dapat dengan mudah melihat para perempuan berdaya tersebut menjual aneka komoditas sesuai kebutuhan komunitas di sekitarnya. Selain usaha di bidang kuliner dan pakaian, kebutuhan anak berupa buku dan mainan pun menjadi produk yang sering jadi pilihan untuk dijual. 

Perempuan, dalam hal ini seorang ibu, sudah tak lagi menjadi sekadar “kanca wingking”. Kesetaraan peran perempuan dengan laki-laki dalam sebuah keluarga masa kini dapat dengan mudah ditemukan di mana saja. Bahkan, tak jarang perempuan sudah mengambil peran sebagai pemimpin dalam keluarganya. Demikianlah fakta yang harus diakui, meski pandangan yang menempatkan pria sebagai pemimpin dalam keluarga masih menjadi norma yang umum bagi masyarakat. 

Pemberdayaan perempuan tak boleh berhenti pada ide-ide tentang bagaimana membuat para ibu menjadi produktif dan menghasilkan nafkah bagi keluarganya saja. Pemberdayaan perempuan seharusnya juga mengakomodasi kebutuhan perempuan, terutama para ibu, untuk mendapat dukungan penuh dalam mengaktualisasikan dirinya. Dalam hal ini, para suami diharapkan dapat memberi ruang gerak yang leluasa bagi istri.

Ketika kebutuhan perempuan dalam mencapai aktualisasi diri sudah terpenuhi, niscaya kesetaraan antara suami dan istri dapat tercapai. Kebebasan bagi para ibu untuk memberdayakan diri dapat berdampak pada terciptanya keluarga yang tangguh. Perempuan seperti Novi, Anik, juga Lia yang kemudian menjadi penyangga finansial utama di masa pandemi adalah salah satu bukti nyata, bahwa untuk menjadi keluarga yang tangguh, kesetaraan peran suami dan istri sangat dibutuhkan dalam sebuah keluarga. 

Ruang-ruang komunitas untuk memberdayakan para ibu perlu dibuka lebih luas lagi. Selama ini, para ibu masih harus mencari sendiri ruang-ruang pemberdayaan yang bisa memberikan informasi bagi mereka, khususnya dalam hal finansial. Kelompok-kelompok yang ada di tingkat terendah belum cukup mampu meningkatkan keberdayaan para ibu yang ingin berpenghasilan dari rumahnya masing-masing.

Program pembinaan ekonomi keluarga, seperti PNM Mekaar, yang mendampingi para ibu prasejahtera dengan Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), nyatanya belum dikenal secara merata. Masalahnya, program tersebut menyasar keluarga yang masuk kategori prasejahtera. Padahal, banyak dari keluarga yang terdampak pandemi tidak tergolong dalam keluarga prasejahtera. 

Hidup tetap berlangsung, ada perut-perut yang harus dihindarkan dari kelaparan. Ada cicilan yang tetap harus dibayar. Harapan akan pemberian bantuan berubah menjadi energi untuk memberdayakan diri. Perempuan-perempuan tangguh lahir dari keluarga yang tangguh. Lihat, mereka pun mampu menjadi penyangga finansial keluarga. Hormat saya untuk Novi, Anik, Lia, dan ibu-ibu lain yang tak gentar menghadapi sesaknya himpitan ekonomi di luar sana.

Butet RSM, ibu rumah tangga.

[red/bp]

Exit mobile version