Site icon ghibahin.id

Panai 200 Juta: Uang dari Mana?

Kata orang sekarang zaman teknologi. Zaman serba canggih. Imbasnya banyak takhayul atau adat tradisi yang mulai ditinggalkan. Sebabnya, masyarakat saat ini–utamanya kaum milenial–lebih realistis, dan (katanya) lebih modern.

Namun ternyata tidak semua tradisi ditinggalkan begitu saja. Ada yang bahkan melejit, salah satunya tradisi Panai, tradisi yang hanya ada di suku Bugis. Perlu diingat Panai tidak sama dengan mahar.

Panai adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Konon, menurut sejarah, Panai ditujukan untuk memagari wanita suku Bugis dari incaran pria Belanda yang dulu doyan kawin. Dengan diterapkannya sejumlah uang, bisa meminimalisir di-gaet-nya para wanita Bugis.

Namun belakangan tradisi ini sudah mulai jauh melenceng dari sejarah dan fungsinya. Bahkan di beberapa daerah tradisi uang Panai kerap memberatkan hingga pada tarif paling ekstrim. Kerap kali pernikahan batal hanya gara-gara persoalan Panai yang tak mencapai sepakat.

Di kampung saya juga demikian. Bahkan, kabar terbaru, uang Panai sudah sampai pada angka 200 juta. Saya yang saat ini di tengah perantauan dengan gaji seadanya kerap membatin,”Uang dari mana sampai mencapai ratusan juta?”

Masalahnya adalah angka 200 juta bisa menjadi semacam angka patokan terendah yang disepakati di masyarakat tersebut. Jadi suka atau tidak suka orang yang ingin menikahkan anaknya mesti punya budget di atas 200 juta. Karena kalau di bawah itu bukan hanya akan menjadi omongan tapi siap-siap saja bakalan ditolak.

Kalau dibilang berat, tentu saja angka 200 juta itu kelewat berat. Ini untuk ukuran saya seorang pekerja informal dengan tidak mengandalkan warisan orang tua. Bayangkan, di Batam saat gaji  pokoknya 4,5 juta selama satu bulan. Umpama lah setiap bulan hanya menyisihkan 1.000.000 (tergolong besar sih, malah ada yang numpang lewat). Artinya butuh 18 tahun menabung untuk bisa menyentuh 200 juta itu.

Eit, tapi perlu diingat hitungan kasar itu berlaku dengan keadaan sekarang. Tentunya akan pasti berbeda kalau 18 tahun mendatang.

Satu fakta menarik lagi yang perlu dibeberkan yakni angka 200 juta itu hanya angka sementara. Artinya besok atau lusa jika ada golongan yang mencoba uang Panai di angka 250 juta misalnya, maka tren akan berubah di angka tersebut.

Ibaratnya, Panai sudah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat Bugis di kampung saya. “Ah, masak kamu kalah, Si Itu kemarin 200 juta. Harusnya kamu yang sudah haji dua kali bisa lebih dari itu.”

Begitu mudahnya angka diobral. Sementara bagi kami yang memang tidak punya harta berlebih akan semakin kesulitan menunaikan sunah Rasul tersebut. 

“Bagaimana kalau nikah di kota saja, biar tidak terlalu ikut tradisi?”

Masalahnya, masyarakat kadung percaya laki-laki dalam tradisi Bugis terkenal akan kemegahannya. Jadi, di mana tempat akan sama. Mereka sudah punya harga pasaran yang tidak tertulis tapi kerap dipraktekkan.

Untuk saya yang berpenghasilan tetap saja mustahil menyentuh angka 200 juta. Bagaimana dengan mereka yang kerja serabutan dengan penghasilan seadanya. Atau mereka yang memang tengah memadu asmara tapi harta sangat minim.

Inilah yang banyak terjadi di kampung saya. Gagal menikah karena Panai. Lalu pertanyaannya mau sampai kapan?

***

Saya tentu saja sepakat bahwa biarlah tradisi itu terus dipertahankan hingga saat ini. Biarlah kemudian tradisi itu menjadi salah satu kekayaan budaya Bugis. Namun, yang perlu menjadi perhatian yakni soal bermewah-mewahan alias adanya rasa pamer, rasa terhormat ketika uang Panai-nya menjadi terbesar. Nah, itu yang mesti bisa diubah. Pola itu harusnya yang dibuang.

Masalahnya kemudian, siapa yang punya otoritas memberi fatwa itu. Kalangan tokoh masyarakat atau para ustaz. Pada prakteknya golongan mereka juga kerap menikahkan anaknya dengan Panai yang lumayan jumbo. Sebab apa? Sebab ada bisikan-bisikan tetangga yang paling berpengaruh. “Bapaknya ustaz, orang terkenal, malu lah kalau Panai-nya sedikit!”

Ya, gengsi dan siri (harga diri). Kalau demikian kami yang tidak punya warisan banyak ini bisa apa?

M.Arfah, tinggal di Batam.

[red/rien]

Exit mobile version