“Orang Pintar Tidak Selalu Baik” dalam Kacamata Psikoanalisis

“Tak jarang ilmu pengetahuan yang dimiliki ternyata tak menghambat seseorang untuk melakukan pelanggaran.”

Beberapa pekan terakhir, media mainstream tanah air dan media sosial dipenuhi berita yang bisa membuat kita mengelus dada. Ada petinggi lembaga filantropi yang diduga menyalahgunakan donasi umat. Ada oknum ustaz dan anak kiai yang mencabuli santriwatinya. Ada pula oknum hakim yang terlibat penyalahgunaan narkotika. Berita-berita tersebut menjadi ironi, karena pelanggaran hukum justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi suri teladan yang baik bagi masyarakat. 

Ngeghibahin “orang-orang besar” memang tak ada habisnya, karena mereka merepresentasikan status sosial, profesi, termasuk lembaga di mana mereka bernaung. Identitas yang melekat pada mereka bukan hanya terkait hal-hal yang bersifat pribadi. Dengan demikian, kasus yang melibatkan dirinya akan menyeret segala yang atribut yang mereka representasikan tadi. 

Pepatah yang mengatakan karena nila setitik rusak susu sebelanga itu benar adanya. Akibat ulah segelintir oknum ustaz, citra pesantren—yang menurut data Kemenag, jumlahnya hampir mencapai 27.000 unit—menjadi buruk di mata masyarakat.

Kita sering lupa bahwa “orang-orang besar” ini juga manusia seperti kita. Tabiat mereka, sebagaimana orang pada umumnya, juga sangat mungkin berubah-ubah dari waktu ke waktu. Perilaku manusia adalah spektrum yang panjang. Di satu ekstrem, perilakunya seperti malaikat. Di ekstrem yang lain, perilakunya bak binatang.

Kita umumnya percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa membuat orang lebih bijak dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Namun tak jarang juga, ilmu pengetahuan yang dimiliki ternyata tak menghambat seseorang untuk melakukan pelanggaran. Seperti halnya dengan contoh-contoh tadi, meski saya yakin mereka juga memahami berbagai konsekuensi atas perbuatannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan orang-orang (termasuk kita sendiri) melakukan pelanggaran, walaupun mereka tahu perbuatannya salah. Misalnya, pengendara yang menerobos lampu merah atau naik motor tanpa memakai helm. Umumnya, mereka tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah salah, termasuk konsekuensi dan bahaya yang bisa ditimbulkannya. Nah, ketika pengetahuan seseorang tidak mampu mencegah dirinya dari perilaku menyimpang, ada faktor lain yang bisa mempengaruhi penyimpangan tersebut. 

Salah satu pendekatan dalam kajian psikologi forensik adalah psikoanalisis Sigmund Freud. Freud menjelaskan bagaimana alam bawah sadar mempengaruhi perilaku seseorang; bahwa manusia pasti memiliki pikiran, perasaan, keinginan, dan ingatan yang tidak disadari. Psikoanalisis percaya bahwa semua tingkah laku yang kita lakukan berasal dari dorongan alam bawah sadar. Alam bawah sadar adalah pendorong kepribadian dan tingkah laku kita. 

Dalam psikoanalisis, kepribadian kita terdiri tiga elemen yang selalu berdinamika dan berkonflik. Tiga elemen itu adalah id, ego dan superego.

Id adalah aspek paling dasar dari kepribadian manusia. Mungkin kita lebih akrab mengasosiasikannya dengan istilah nafsu. Id melibatkan perilaku primitif berdasarkan insting. Hal yang menggerakannya adalah keinginan serta kebutuhan. Kecenderungannya adalah mendapatkan kesenangan. Entah itu soal makanan, kebutuhan seksual, dan berbagai kesenangan lainnya. 

Id tidak mengenal baik buruk atau halal haram. Ia hanya berpikir bagaimana kepuasannya terpenuhi, meski harus dengan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang, misalnya.

Sedangkan superego adalah nilai, moral, dan seperangkat aturan yang membatasi seseorang agar berperilaku secara realistis dan bisa diterima secara sosial. Superego adalah cara manusia berpikir mana yang benar dan salah. Superego bekerja dengan menekan keinginan id, agar memenuhi standar ideal dan prinsip realistis.

Elemen ketiga adalah ego. Ia adalah pengendali. Dengan ego, keinginan yang muncul bisa terpenuhi lewat cara-cara yang bisa diterima secara sosial. Freud menganalogikan id sebagai seekor kuda yang cenderung bebas, liar, dan tidak terkendali. Superego adalah lintasannya. Sedangkan ego adalah penunggangnya. Id memberikan tenaga dan kemampuan bergerak, sementara ego menjadi pengarah agar id bergerak sesuai norma. Tanpa adanya ego, id bisa berlari ke mana pun tanpa pertimbangan logis.

Konflik antara id dan superego akan selalu terjadi, karena id cenderung melakukan apapun untuk memuaskan nafsunya, sementara superego akan melarang perbuatan yang melanggar nilai dan norma. Ketika seseorang akhirnya terjerumus melakukan kejahatan, itu berarti egonya tidak mampu mengendalikan id. 

Dalam proses pendidikan, tahapan pengetahuan diawali saat kita mendapatkan informasi atau mengindra sebuah fenomena. Bisa berupa apa yang disampaikan oleh guru atau orang tua, bisa juga berasal dari kejadian-kejadian dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, kita membangun pemahaman atas apa yang ditangkap oleh indra kita. Tahap berikutnya adalah mengidentifikasi fenomena lain yang serupa. 

Sampai tahap ini, kita berada pada batas transisi. Apakah kita mampu melakukan internalisasi pemahaman ke dalam diri, sehingga bisa membawa kita pada perubahan perilaku? Jika mampu, kita akan memperkuat ego. Kalau tidak, pengetahuan tersebut hanya sebatas kumpulan informasi. 

Memang, pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memperkaya nilai, norma, dan peran pentingnya dalam masyarakat. Orang yang berpengetahuan tinggi, atau yang biasa kita sebut sebagai orang pintar, tentu memahami berbagai macam aturan dan norma yang berlaku. Namun kekayaan pengetahuan yang dimilikinya tidak secara otomatis menjadikannya orang baik yang mampu mengendalikan nafsunya.

Baik atau buruknya perilaku seseorang ditentukan oleh kemampuannya mengendalikan nafsu (id) agar selalu sesuai dengan nilai dan norma (superego). Bila superego dipengaruhi oleh seberapa banyak informasi yang didapatkan, maka ego (dan kemampuan mengendalikan id) orang dewasa dipengaruhi oleh bagaimana ia mendapatkan pendidikan, serta perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Singkatnya, ego seseorang sangat dipengaruhi pengalamannya semasa kecil.

Demikianlah, orang pintar memang tidak sama dengan orang baik. Keduanya memang sama-sama ideal, tapi jelas berbeda kategori. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat, bahwa pikiran yang cemerlang dan berbagai ilmu pengetahuan di dalamnya akan percuma, jika tidak dibarengi dengan nurture yang baik dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Roy Waluyo. Pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor.

[red/sk/bp]

One thought on ““Orang Pintar Tidak Selalu Baik” dalam Kacamata Psikoanalisis

  1. Tulisan yang bagus, tidak salah kalau para ulama kita selalu memberikan pemahaman kepada santrinya: “Pelajari ilmu adab dahulu sebelum mempelajari ilmu yang lain.”

    Maknanya agar budipekerti berada di depan ilmu lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *