Site icon ghibahin.id

Orang Baik itu Bernama Buya Syafi’i Maarif

Foto Dok Istimewa dari Suaramuhammadiyah.id

“Jika kita semua bisa meneladani sikap Beliau sedikit saja dalam keseharian, saya pikir masalah-masalah terkait rendahnya toleransi akan dapat teratasi tanpa rumit.”

Kabar duka tentang berpulangnya Buya Syafi’i Maarif saya lihat lewat unggahan dokter Alim di dinding Facebooknya. Saya bukanlah warga Muhammadiyah. Saya tidak mengenal Buya Syafi’i Maarif sebaik para murid dan sahabat-sahabat Buya. Saya bukan orang yang punya wawasan luas. Anda mungkin tak percaya jika saya bilang bahwa saya baru pertama mengenal beliau pada tahun 2020.

Meski saya ini hanya orang yang baru mengenal sosok beliau belum genap dua tahun, namun saya tak bisa menepis duka yang saya rasakan. “Buya … husnul khatimah wa ahlul jannah“, tulis dokter Alim di berandanya, beserta foto sosok Buya di dalam sebuah masjid. Saya terduduk. Membacanya sekali lagi. Memastikan saya tak salah memaknai kalimat berbahasa Arab itu. 

Saya menyerah dengan rasa duka yang muncul dalam dada. Semedhot kata orang Jawa. Saya menangis. Saya berusaha mengusap wajah saya. Apa yang harus saya katakan jika anak-anak saya melihat saya tiba-tiba menangis? Tapi saya tak mampu. Saya pikir, oh bisa jadi saya salah menafsirkan. Siapa tahu itu ucapan minta doa agar Buya sembuh, seperti yang selama ini sering diposting dokter Alim setiap kali Buya dirawat di rumah sakit. 

Lalu saya membuka WAG yang berisi kontributor Rahma.Id untuk memastikan kabar. Dan ternyata kabar duka itu benar. Saya tak salah mengartikan caption berbahasa Arab yang ditulis dokter Alim. Semakin siang, obituari tentang Buya Syafii Maarif semakin banyak. Saya membaca setiap kalimat duka yang melintas. Turut berduka bersama mereka semua yang menyayangi Buya. 

Beliau memang sosok istimewa. Lewat akun Irwanjasmoro saya jadi tahu bagaimana seorang Buya dulu biasa naik kendaraan umum Kobutri jalur 15 dan membaur. Persis seperti kisah-kisah keseharian Buya yang kadang saya baca lewat unggahan dokter Alim di Facebook. 

Membaca kenangan-kenangan tentang Buya membuat saya turut mengingat perjumpaan virtual saya dengan Beliau. Saya masih ingat, waktu itu tahun 2020. Saya menulis tentang pengalaman merasakan bagaimana toleransi diterapkan saat saya bersalin di RS PKU Muhammadiyah Jogja yang ditayangkan Rahma.Id. Tulisan itu membuat saya diundang ke sebuah acara diskusi bertajuk “Muhammadiyah Rumah Besar Toleransi”. Mbak Mona, Pimred Rahma.Id sekaligus yang mengundang saya, mengatakan kalau dalam webinar tersebut akan dihadiri Buya Syafi’i Maarif. 

Saat itu saya bingung. Mau ngomong apa saya di webinar? Sehari-hari, saya ini seorang ibu rumah tangga. Dalam keseharian, untuk ngomong langsung saja saya sering belepotan. Lha ini diajak Zoom, bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah dan jaringan media Muhammadiyah pula. Saya, hampir menolak karena merasa nggak mampu.

Tetapi, Mbak Mona dan guru menulis saya, Iqbal Aji Daryono (IAD), menyebut nama Buya. Mbak Mona dan Pak IAD meyakinkan saya buat santai, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.

Saya waktu itu tidak paham. Siapa beliau yang berkali-kali disebut Mbak Mona dan Pak IAD ini. Lalu saya browsing dan membaca tentang Buya. Dan muncullah artikel Buya dari kolom di Republika yang berjudul “Orang-Orang Baik dalam Hidup Ini”. 

Saya membacanya dan seketika itu juga saya merasa bahwa tak perlu ada yang saya khawatirkan dengan sosok sebaik Buya. Dalam tulisannya, Beliau bicara tentang orang baik. Padahal Beliaulah orang baik itu. 

Jika kita semua bisa meneladani sikap Beliau sedikit saja dalam keseharian, saya pikir masalah-masalah terkait rendahnya toleransi akan dapat teratasi tanpa rumit. Di webinar yang saya ikuti itu Beliau memberi beberapa pesan, salah satunya, “Bumi yang satu ini hanya bisa aman dan tenang jika ada toleransi”.

Dalam duka, saya melihat dan mengenang Beliau yang begitu sederhana. Beliau tidak merumitkan hal yang seharusnya mendasar dalam kemanusiaan dan tetap bisa menjunjung tinggi ajaran agamanya. Beliau bisa membuat saya merasa di-uwongke hanya dengan membaca tulisannya. 

Anak saya mendekat untuk meminta saya menemaninya mengerjakan tugas riset dari sekolahnya. Saya ingin anak saya tahu bahwa saya sedang bersedih. Saya juga ingin mengenalkan Buya padanya. 

Lalu saya menunjukkan beberapa foto Buya di media. “Bapak ini, Eyang ini, orang penting di Indonesia dan agamanya Islam. Ia begitu baik. Ia mengajarkan anak-anak dan murid-muridnya untuk baik dengan orang lain walau berbeda agama, seperti kita. Jadi Ibuk sedih karena Eyang ini meninggal.” 

Anak saya manggut-manggut dan ikut bercerita bahwa ia juga pernah sedih saat membaca tentang tokoh sepakbola idolanya yang meninggal. Seperti orang-orang yang telah meninggal mendahului kita, Buya masih bisa kita kenang lewat kebaikan-kebaikannya.

Selamat jalan, Buya Syafi’i Maarif. Bapak, Guru, Orang Tua, Orang Baik yang saya hormati. Meninggalnya pun di hari yang indah, Jumat, 27 Mei 2022. Sugeng tindak, Buya. 

Butet RSM, ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.

[red/rien-af]

Exit mobile version