Minat Baca dan Pilihan Buku Kita

Beberapa hari belakangan, saya merasa terganggu saat memikirkan pilihan bacaan buku yang tepat bagi kita. Apalagi setelah mengintip minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim. Seperti dilansir oleh Majalah Tebuireng, hanya 1% dari masyarakat kita yang memiliki minat baca. Meningkatkan minat membaca buku masih menjadi pekerjaan rumah kita, sejak zaman dulu sampai saat ini. 

Saya sempat berpikir bahwa keadaannya ini disebabkan oleh pemerintah yang abai terhadap tugasnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi rupanya saya keliru.

Sudah banyak tindakan yang dilakukan pemerintah dengan cara bekerja sama dengan penerbit-penerbit kelas atas dan beberapa program untuk meningkatkan kegemaran membaca. Para penerbit ini berfungsi sebagai mitra kerja untuk memperkenalkan berbagai rekomendasi bacaan kepada masyarakat.

Jika kita lebih peka kepada aktivitas masyarakat hari ini, mereka ternyata lebih suka menonton sepotong video daripada membaca satu halaman buku. Dapat kita buktikan, aplikasi TikTok yang memuat cuplikan video pendek, begitu asyik dilihat dan memanjakan mata selama berjam-jam. Tanpa pernah habis. Meskipun tayangannya itu-itu saja: menari, menyanyi, ceramah agama, prank, jual beli, dan quotes.

Bandingkan dengan membaca sebuah buku, kita agaknya alergi untuk menuntaskan. Video orang berjoget di TikTok, misalnya, tentu lebih mudah dinikmati daripada membaca novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Karya monumental tersebut tentu membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk menyelesaikannya.

Saya tidak akan panjang lebar membahas mengapa kita lebih suka menonton video pendek daripada membaca buku. Karena dua hal ini ternyata lumayan sensitif untuk dibicarakan. Bahkan, saya yakin dua pendapat ini akan terus saling tolak-menolak, berbenturan satu sama lain. Dan orang lain, ujung-ujungnya, secara nakal akan mudah mengintimidasi siapa saja yang kalah dan menang dalam pertarungan ini. 

Para penulis pemula, seperti saya, agaknya cenderung tidak berani “berjudi” dalam memilih buku yang ingin dibacanya. Ketika memilih sebuah bacaan, biasanya, orang cenderung melihat dulu siapa pengarangnya. Jika ia orang terkenal, pasti akan dibaca. Sebaliknya, seorang penulis yang jarang didengar atau tidak termasuk ke dalam daftar para penulis tersohor, saya—dan tentu saja kita semua—akan sulit menerima bahwa tulisannya bermutu dan sepantasnya dibaca. 

Paulo Coelho, misalnya. Nama penulis satu ini, ternyata masih asing ke telinga santri yang statusnya siswa. Padahal, Paulo adalah termasuk dari seribu satu penulis yang direkomendasikan dan karya-karyanya benar-benar baik. Sekalipun bukunya impor dari luar negeri, tetapi terjemahannya bagus. Bagi yang belum membaca bukunya, Sang Alkemis menceritakan perjalanan seorang anak pengembala domba bernama Santiago yang ingin menemukan harta karun di Piramida. 

Paulo Coelho agaknya tidak menjabarkan secara detail mengapa ia menulis novel pendek tersebut. Sesuatu yang tidak lazim diterbitkan sebagai genre paling populer dan banyak disukai oleh kalangan remaja. Mungkin pasar buku ini adalah masyarakat yang semula tidak menyukai buku, semakin tertarik, berhubung halamannya cukup ringkas. Namun tujuan itu tidak selamanya berhasil. 

Buku lain dari penulis lokal kita, yakni Sapardi Djoko Damono. Judul bukunya Hujan Bulan Juni. Kita semua tahu, Hujan Bulan Juni ada dua genre, tapi yang mungkin banyak dibaca adalah novel sastranya. Sebab kehadiran buku Hujan Bulan Juni membawa sesuatu yang bernilai: atas nama sepasang manusia yang sedang rindu. Seperti pengantar penerbit, dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nantinya di-film-kan.

Sungguh aneh, dua buku itu harus rela kalah oleh tumpukan buku bertemakan asmara remaja. Saya merasa curiga, ketika melihat setumpuk buku yang berada di lemari teman-teman, semua judulnya berbahasa Inggris. Di antara susunan buku, saya menemukan nama penerbit yang sama sekali jarang didengar, Wattpad. Ajaibnya, buku ini mendominasi bahan bacaan yang lain.  

Saya bisa menduga mengapa santri begitu antusias untuk membacanya. , buku itu dijual KW dan harganya ramah kantong. Kedua, ceritanya selalu soal percintaan anak SMP, SMA, mahasiswa, atau dosen. Ada juga cerita yang punya ranting 18 ke atas. Dibandingkan dengan penerbit buku lain, penerbit satu ini hanya menjual kisah seperti itu saja dan seterusnya. 

Satu-satunya judul yang bisa saya ingat hanyalah Antares. Antares ini adalah nama seseorang yang berprofesi sebagai anak geng motor. Narasi-narasi yang coba ditulis—dalam buku itu bila mau dibandingkan—nyaris sama dengan satu buku ikonik, dan kawula remaja pasti tahu akan hal itu; Dilan. Maksudnya dua buku tersebut mempunyai kesamaan dari penokohan tapi unsur ceritanya beda. 

Namun, buku itu begitu laku di pasaran. Dan, santri menikmati setiap bagian ceritanya. Entah ceritanya karena seorang anak SMA yang kebetulan menjadi geng motor, atau ikon anak jalanan sebagai identitas “kenakalan” yang sampai hari ini menjadi trend di media sosial adalah sekian alasan mereka tertarik membaca bukunya. Kita tak pernah tahu.

Padahal, urusan membaca adalah  persoalan nomor satu dalam pendidikan kita saat ini. Jika generasi saat ini berbicara politik, tapi bacaannya Mariposa misalnya, mungkinkah mereka paham dan mengerti seperti apa situasi politik Indonesia?

Ikrom Firdaus. Pemuda kelahiran Jember. Saat ini sedang mengabdi di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *