Site icon ghibahin.id

Merindukan Natal yang Sederhana

“…saya merindukan Natal yang sederhana. Sesederhana kedatangan Kristus ke dunia.”

Beberapa waktu lalu mata saya tertuju pada sebuah postingan di layar handphone. Kira-kira bunyinya “Dulu, Natal pertama itu sangat sederhana, Natalmu tahun ini juga bisa begitu”.

Seketika saya tertegun. Iya ya, betul. Natal pertama yang merupakan momen kelahiran Kristus itu, dulu sangat sederhana. Terjadi di kandang domba, tidak dirayakan banyak orang, tidak ada hiasan gemerlapan, bahkan yang tercium saat itu adalah aroma kotoran hewan bukan aroma makanan mewah.

Bicara tentang Natal, ingatan saya akan selalu tertuju pada masa kecil di kampung. Di sebuah desa di pedalaman Sumatera Utara yang berlokasi di perbukitan Bukit Barisan, namanya desa Haunatas. Oleh karena letaknya yang cukup tinggi dari permukaan laut, maka udara di desa kami selalu dingin. Jika sore menjelang, biasanya, para penghuni desa sudah bersiap dengan pakaian hangat masing-masing.

Bisa dibilang 100% penghuni desa kami adalah umat Kristen. Otomatis gereja memiliki dwifungsi. Selain menjadi tempat ibadah, gereja adalah titik kumpul bersosialisasi. Apapun kegiatan di gereja akhirnya akan menjadi ajang berkumpul bagi jemaatnya. Tak terkecuali di bulan Desember, masa raya Natal.

Awal tahun 90-an adalah masa saat saya menikmati masa raya Natal sebagai anak-anak. Aura di udara berubah seketika. Meski udara tetap dingin, namun raut muka penduduk desa menjadi lebih ceria. Hampir setiap malam akan ada perayaan di gereja. Kami datang, berkumpul dan menikmati acara apa saja.

Anak kecil berbondong-bondong menuju gereja. Jalanan kampung yang gelap gulita tak kami hiraukan. Dengan bermodal senter atau lilin, kami akan berlarian menuju tempat yang sama. Padahal bisa dibilang acaranya ya begitu-begitu saja.

Dekorasinya tak meriah. Bahkan hiasan gereja yang warnanya hampir memudar itu tak mampu menyurutkan semangat kami. Kadang lampu Natal pun sudah tak sempurna, sebagian kelap-kelipnya sudah uzur dimakan usia, kami tidak mempersoalkan. Karena malam ini, kami akan berkumpul di gereja merayakan Natal.

Natal Milik Semua

Awal tahun 2000 saya berangkat ke Jakarta. Merantau ke Ibukota membawa suasana yang lain bagi saya. Dekorasi Natal tak hanya bisa dinikmati di gereja, tapi di mall, di pusat-pusat perbelanjaan. Mulailah Natal menjadi awal tradisi berbelanja kado dan tukar menukar hadiah.

Tahun-tahun itu, kemudian, muncul fenomena di sosial media. Setiap tahun ada saja yang memperdebatkan, apakah mengucapkan “Selamat Natal” haram atau tidak, boleh atau tidak. Setiap tahun, perdebatan yang sama berulang.

Padahal kami umat Kristen tak pernah berharap untuk diucapkan. Kalau ada yang mengucapkan ya kami balas dengan baik, jika tak diucapkan juga tidak akan menghalangi perayaan atau mengurangi sukacita kami.

Entah apa yang dicari warganet itu sehingga permasalahannya sama saja setiap tahun. Saya memang tidak pernah mendalami sampai mengerti mengapa ada yang melarang, ada yang cuek saja. Tapi sama saja dengan perayaan umat agama lain. Bagi saya mengucapkan kepada teman-teman yang berbeda agama adalah wajar adanya. Setidaknya saya mengingat bahwa mereka sedang merayakan sebuah kemenangan.

Beberapa tahun lalu, kami sekeluarga pindah ke Durham, Carolina Utara, Amerika Serikat. Di sana kami berkesempatan menikmati 2 kali Natal. Musim dingin yang memang menjadi ciri khas bulan Desember menjadi salah satu unsur Natal yang berkesan.

Natal kami selama di sana persis seperti Natal yang biasa kita lihat di film Hollywood. Natal bersalju, orang-orang lalu lalang dengan jaket musim dingin yang tebal. Rumah-rumah penduduk dihiasi dekorasi Natal yang apik dan cantik. Lampu hias kerlap-kerlip di sepanjang mata memandang. Toko-toko dan pusat perbelanjaan berbenah diri dengan berbagai macam diskon dan tawaran yang menggiurkan.

Sementara itu orang-orang saling mengucapkan Natal satu sama lain. Tanpa perlu menanyakan apakah mereka merayakan Natal atau tidak, sebagai Kristen atau Katolik. Karena sejatinya perayaan Natal bukan hanya sekedar perayaan keagamaan semata. Natal adalah perayaan budaya, siapa saja boleh mengucapkan, boleh merayakan.

Berkirim kartu natal pun masih terasa kental sebagai tradisi. Berbagai festival digelar, beragam atraksi ditampilkan. Para Santa Claus dapat kita temui di berbagai sudut. Di perpustakaan umum, di rumah sakit anak, di pusat pertokoan sampai di pinggir-pinggir jalanan. Musik dan lagu bertema Natal berkumandang di mana saja. Aroma vanila, coklat, buah pinus dan kukis Natal menguar di udara. Lengkap sudah seperti dalam khayalan.

Natal bukan hanya milik gereja atau umat Kristen. Tapi milik semua orang yang merayakannya. Warna merah, hijau, putih dan keemasan menunjukkan betapa meriah Natal di sana, di tanah Amerika.

Natal yang Sederhana

Namun, walau demikian, saya merindukan Natal yang sederhana. Sesederhana kedatangan Kristus ke dunia. Pada sebuah tempat yang tak terduga, beralaskan jerami, berteman bintang timur dan para gembala. Natal yang memberikan harapan, bahwa hidup manusia yang penuh dosa akan kembali putih seperti bulu domba.

Sekonyong-konyong saya mendengar suara bocah-bocah kampung bernyanyi kidung Natal dalam bahasa Batak. Bertepuk tangan gembira menuju gereja tua kami. Merayakan Natal dengan seadanya, tapi hangat terasa sampai ke hati.

Selamat menyambut hari Natal, lahirlah Kristus di dalam hati, di kehidupan sehari-hari.

Listra Mindo Lubis, Ibu rumah tangga dengan 2 anak. Tinggal di Depok.

[red/rien]

Exit mobile version