Meraba Selayar, Melihat Bitombang dari Dekat

“Mataguri adalah orang yang mempunyai keahlian dalam merancang rumah atau istilah modernnya arsitek.”

Mulanya tempat itu bernama Bitambang yang artinya memelihara babi. Menurut sejarah yang dituturkan secara turun-temurun dalam bentuk pesan, saat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Datuk ri Bandang abad ke-16 di Kerajaan Gantaran, ada 40 kepala keluarga (KK) yang menolak dan takut masuk Islam. Mereka lari ke Bitambang dan dipercaya sebagai nenek moyang dari kampung tersebut. 

Raja Bontobangun kala itu mengutus seseorang untuk datang menemui ke-40 keluarga itu. Selanjutnya, mereka dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing berjumlah 10 KK, dengan tugas yang berbeda-beda. Ada yang bertugas mengambil kayu, mengambil air, dan menanak nasi. Setelah semuanya disepakati, akhirnya diputuskan siapa yang memerintah di kampung itu.

Di saat pemerintahan sudah terbentuk, ke-40 keluarga tersebut masih mengonsumsi daging babi. Mereka pun diislamkan oleh seseorang dari Bontobangun. Setelah pengislaman itu, nama Bitambang pun berubah menjadi Bitombang.

Kampung tua Bitombang terletak di Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar. Kepulauan Selayar adalah satu dari 24 kabupaten yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini memiliki kekhususan, yakni satu-satunya Kabupaten di Sulawesi Selatan yang seluruh wilayahnya terpisah dari daratan Sulawesi, dan terdiri dari gugusan beberapa pulau sehingga membentuk suatu wilayah kepulauan.

Kampung Bitombang jaraknya kurang lebih 7 kilometer dari ibukota kabupaten. Dengan medan yang berat dan jalanan yang belum terlalu bagus, perjalanan menuju ke tempat ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Bentuk alam yang memanjang, dan lokasinya yang terletak di dataran tinggi, membuat perkampungan ini memiliki pemandangan khas pedesaan dengan bentangan topografi yang berbukit. 

Rumah-rumah panggung di perkampungan ini sudah berusia kurang lebih 400 tahun. Tiang-tiang penyangga rumah yang panjangnya bisa mencapai 15 meter menjadi keunikan tersendiri bagi perkampungan tua Bitombang. Ada beberapa alasan kenapa tiang-tiang rumah dibuat sedemikian tinggi, salah satunya adalah untuk menghindari pencurian yang masih sering terjadi kala itu. 

Tingginya tiang rumah juga dikaitkan dengan mitos yang masih dipercaya di kalangan masyarakat. Diyakini, bahwa tinggi penopang rumah berkaitan erat dengan panjangnya usia penduduk desa. Ada sebuah cerita yang mengatakan, bahwa pernah ada nenek moyang mereka yang hidup sampai usia 100 tahun. Orang-orang zaman dahulu juga masih percaya dengan adanya ilmu yang bisa membuat umur menjadi panjang.

Mataguri, Arsitek dengan Kearifan Lokal

Ada sisi lain yang tak kalah unik, yaitu meskipun tiang rumah terdiri atas batang-batang kayu yang panjang dan bengkok, akan tetapi lantai rumah tetap rata dengan sambungan yang baik. 

Di kampung itu dikenal sebuah profesi bernama mataguri, yaitu orang yang mempunyai keahlian dalam merancang rumah atau istilah modernnya arsitek. 

Jumlah mataguri sangat terbatas, biasanya terdiri dari tiga sampai empat orang saja. Ilmu yang mereka miliki hanya didapat dari pengalaman. Mulai dari penempatan tiang-tiang kayu agar tidak goyah, menentukan posisi kayu sedemikian rupa agar sesuai dengan bentuk asli kayu, semuanya tidak bisa dipelajari di sekolah maupun perguruan tinggi. Pengetahuan khusus tersebut hanya milik para mataguri.

Kayu yang digunakan untuk tiang rumah adalah jenis kayu meranti, atau dalam bahasa setempat disebut kayu holasa. Kayu meranti sendiri adalah jenis kayu anti rayap yang paling populer dan komersil di kawasan Asia Tenggara. Salah satu karakteristiknya adalah semakin gelap warnanya, berarti semakin tua usianya, dan semakin baik pula mutunya. Umumnya, meranti digunakan sebagai bahan baku pembuatan konstruksi bangunan serta bahan dasar furnitur.

Hingga kini, rumah-rumah panggung tinggi menjulang di Bitombang masih tampak kokoh. Sejarah telah menjadi saksi akan tangguhnya mereka bertahan melewati perubahan zaman. Dari peninggalan-peninggalan fisik yang masih terlihat, serta cerita-cerita yang diturunkan dari mulut ke mulut, dari orang tua ke anak cucunya, ingatan akan dibawa bertualang menuju masa lalu. Di kampung ini pula pernah lahir pemberontakan, keteguhan, dan sebuah ketabahan.

Harsandi Pratama Putra, Mahasiswa Jurnalistik UIN Alauddin Makassar.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *