Menyekolahkan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Umum, Mungkinkah?

“Plus-minus menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di sekolah umum juga harus dipahami oleh orang tua dan guru, agar tercipta dinamika kelas yang positif.”

Anak berkebutuhan khusus seringkali tidak diterima di sekolah umum. Pada banyak kasus, sekolah menyarankan orang tua calon siswa untuk menyekolahkan anaknya ke SLB (Sekolah Luar Biasa) dengan alasan SDM yang tidak memadai. Padahal, idealnya, sekolah umum juga menyelenggarakan pendidikan inklusif, dan tidak menolak siswa berkebutuhan khusus. 

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik berkelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa, untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu langkah pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik lainnya.

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 mewajibkan pemerintah kabupaten/kota untuk menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan, dan satu satuan pendidikan menengah, untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.

Pada beberapa kasus, keistimewaan anak masih bisa ditolerir oleh sekolah umum, dengan syarat anak dibantu oleh guru pendamping khusus. Kekhususan yang dimaksud antara lain jenis autisme tertentu, slow learner, tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, dan anak-anak yang gifted.

Plus-minus menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di sekolah umum juga harus dipahami oleh orang tua dan guru, agar tercipta dinamika kelas yang positif.

Dengan memiliki siswa yang lebih beragam, maka keterampilan guru-guru dalam mengelola siswa akan bertambah, sehingga sekolah akan punya nilai tambah, dan layak direkomendasikan. Hal ini tentu merupakan keuntungan tersendiri bagi pihak sekolah. Warga sekolah juga diharapkan tumbuh empatinya, sehingga tercipta kondisi sekolah yang nyaman dan kondusif. 

Di sisi lain, siswa berkebutuhan khusus juga mendapatkan kemudahan pada sisi psikologisnya. Secara psikis, bersekolah di sekolah umum bisa menumbuhkan rasa percaya diri anak, karena ia merasa diterima di tengah masyarakat. Sedikit banyak, hal ini akan memotivasi anak untuk meningkatkan life skills-nya agar bisa memangkas jarak dengan teman-temannya yang lain.

Namun perlu diperhatikan juga, bahwa siswa inklusi di sekolah umum rentan mengalami perundungan dari teman-temannya, karena mereka menganggap ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) sebagai sasaran empuk untuk diusili, dicela, atau dijadikan bahan ejekan. Terlebih jika ABK tidak berdaya untuk melawan atau membalas.

Sad but true…

Orang tua ABK yang menyekolahkan anaknya ke sekolah umum harus punya energi lebih untuk melakukan pendampingan dan bimbingan terus menerus. Sebenarnya, hal ini berlaku bagi setiap orang tua siswa. Bedanya, orang tua ABK harus mengerahkan usahanya berlipat ganda dari orang tua pada umumnya.

Hal yang menjadi tantangan bagi sekolah adalah guru dan pamong harus belajar lagi untuk mengelola kelas dan juga sekolah secara umum, agar para pendidik mampu berlaku adil terhadap semua siswa.

Pada beberapa kasus ABK yang berperilaku agresif (menyerang), terkadang guru cenderung mudah untuk melabeli, dan menganggap bahwa ABK tersebut membahayakan teman-temannya. Padahal, perilaku agresif timbul karena ada pemicunya.

Agresivitas pada ABK biasanya disebabkan karena keterbatasannya dalam membela dan melindungi dirinya sendiri ketika mendapatkan gangguan. Biasanya, ABK belum lancar mengomunikasikan apa yang dia alami dan rasakan.

Hal ini tidak hanya berlaku pada anak yang mengalami keterlambatan. Berdasarkan pengalaman pribadi, anak saya yang IQ-nya 177 juga terkadang tantrum tidak jelas. Bikin saya pengen auto njathil juga. Hehehe.

Saya berharap, guru yang memiliki siswa ABK di kelasnya dapat menumbuhkan empati terhadap siswa-siswinya, agar mereka bisa saling membantu, menumbuhkan rasa welas asih, dan saling melindungi. Guru juga diharapkan dapat bersikap tegas, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa. Misal, tidak boleh mengganggu teman, terutama ABK, karena bisa menimbulkan reaksi yang unpredictable.

Selanjutnya, guru diharapkan dapat berdiskusi dengan orang tua, supaya proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Pihak sekolah sebaiknya terbuka pada para wali murid jika di kelas ada ABK, dan meminta bantuan wali murid untuk mendidik anak-anak, atau memberikan pemahaman seputar cara bersikap pada teman yang berkebutuhan khusus. Peran serta para wali murid amat penting, karena dinamika kelas bukan hanya tanggung jawab guru semata. 

Siswa datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Karenanya, orang tua atau wali murid yang ingin anaknya mengenyam pendidikan dengan optimal, juga harus berperan aktif.

Terkadang para orang tua hanya protes saat melihat suasana belajar-mengajar kurang kondusif. “Gurune ki piye to?” Lha Anda mengatur anak-anak sendiri saja mumet, apalagi guru yang harus momong empat puluh orang anak dalam satu kelas. Byuuh….

Padahal, pengalaman saya dulu saat masih sekolah, satu kelas berisi 40 anak itu ada yang asyik main gaple, ada yang tidur, ada yang yang-yangan, ada yang menggambar, ada yang sibuk mencintainya namun tidak mencintaiku. Hiks….

Pokoknya, begitulah. Bagi sekolah-sekolah umum yang menerima siswa inklusi, semoga bisa terus meningkatkan kerjasama antara guru dan wali murid. Mudah-mudahan bisa menumbuhkan empati dan simpati murid-muridnya, agar bisa saling menjaga, sehingga perundungan tidak terjadi.

Arum Titisari. Volunteer fasilitator SALAM Yogyakarta.

[red/sk/bp] 

2 thoughts on “Menyekolahkan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Umum, Mungkinkah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *