Menjemput Urmun

ghibahin

“Hanya Tuhan yang tahu, bahwa di dalam tanah berlumpur itu terkandung banyak cucuran air mata.”

Orang-orang di daerah kami menyebutnya urmun, yakni sore persis sebelum malam, bilamana matahari telah pamit untuk bersinar di bagian lain bumi ini. Tapi ini bukanlah senja keemasan yang menjadi alasan manusia kesepian untuk membenarkan rasa rindu.

Ini adalah sore menjelang kegelapan, dingin dan abu-abu. Terkadang langit menjadi biru tua, nuansa yang tak akan mengundang untuk bercumbu. Kau hanya ingin meringkuk dalam pelukan yang hangat: dekapan ibu. Pada saat itulah ibu-ibu pulang dari sawah dan ladang. Berjalan kaki, memikul pacul, kadang dengan sandal rombeng, kadang bertelanjang kaki.

Mereka jalan bergerombol. Ada yang bergumam menundukkan kepala, ada yang diam menghitung langkah-langkah. Mungkin masih bingung bagaimana memberi makan enam mulut yang ditinggalkan di rumah. Ada yang bercakap-cakap seadanya, sembari pikiran masih dipenuhi kekhawatiran, apakah besok sudah ada uang untuk menebus buku pelajaran, membayar listrik yang sudah menunggak, atau melunasi hutang beras di warung si pengusaha muda.

Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk membahas bentuk alis terkini, atau potongan dan warna rambut yang akan ngetren tahun depan, atau rencana arisan cantik ibu-ibu sekampung. Tidak ada. 

Mereka berjalan pulang. Menggigil. Badan gontai dan bibir membiru.

Jangan tanya bagaimana rasanya jika kabut sudah mematikan saraf, dan udara beku mengejangkan otot. Di ladang dan sawah, hanya Tuhan yang tahu betapa kerasnya hidup mereka, betapa liat tanah yang harus mereka balikkan, atau bagaimana darah mereka dihisap oleh lintah setiap harinya. 

Hanya Tuhan yang tahu, bahwa di dalam tanah berlumpur itu terkandung banyak cucuran air mata. Pagi hingga siang mereka menegakkan badan agar tak terperosok lumpur. Urmun menggiring mereka kembali pada kenyataan.

Mereka adalah ibu-ibu di kampungku. Sebuah dusun yang dikelilingi perbukitan. Kampung yang berada di dataran tinggi Bukit Barisan.

Letak geografisnya membuat kampung kami selalu dingin. Bahkan jika matahari sudah di atas kepala, dirimu akan merasa tangguh untuk menantang sinar ultraviolet, karena udaranya yang masih terasa dingin.

Ibu-ibu di kampungku itu tidak mau menumpukan harapan pada suami-suaminya. Sebab, di kampungku, lelaki pada umumnya pemalas. Mereka banyak cakap dan jago berkelakar, padahal aslinya hanyalah remaja tanggung yang terperangkap dalam tubuh renta. Mereka senang menghabiskan waktu berbual-bual tentang pelbagai hal, seolah mereka sendiri mengalaminya, padahal kebanyakan adalah cerita “katanya”.

Lelaki di sana bertitel raja, tidak mau berlelah letih. Mereka dibesarkan dengan ego seluas kubangan kerbau, dan dididik dengan kebanggaan setinggi lampu minyak yang menempel di tembok, yang seolah berkuasa jika malam tiba, tapi nyatanya hanya templokan kecil di dalam ruangan.

Apa lacur, kami memang suku yang hidup dalam patriarki. Jika pun kau temukan satu atau dua orang bapak yang rela memasak atau memegang sapu, maka dipastikan dia akan menjadi cemoohan.

Ibu-ibu di kampungku jelas tidak pernah tahu bahwa mereka seharusnya memakai krim tabir surya, padahal setiap hari kulit mereka terpanggang sinar UVA, UVB, dan entah UV apa lagi. Kerutan dengan segera menjajahi kulit wajah, membuat mereka tua sebelum waktunya. 

Ibu-ibu itu tidak peduli jika kulit mengelupas kencang, seluruh tubuh lebam, asal anak-anak tidak kelaparan.

Mereka tidak punya waktu untuk depresi, sebab kantong beras harus segera diisi. Mereka tidak sempat saling iri, karena pinjam meminjam garam sudah menjadi tradisi. Para ibu di kampungku tidak pernah masuk tayangan televisi atau tulisan majalah sebagai orang-orang yang menginspirasi. 

Cobalah sesekali tilik ke luar, ketika senja hampir menutup diri menuju kegelapan malam. Ada keheningan tersendiri yang mengantarkan pada perenungan. Duduklah sendiri jika urmun telah tiba, lalu ingatlah mereka. Para pejuang tanpa nama, yang di hadapan majelis adat tidak bisa berbicara. Mereka yang senantiasa menjemput kehormatan anak-anaknya, dan membawanya dalam pikulan, kala urmun hampir berganti malam.

Listra Mindo Lubis, Ibu rumah tangga dengan dua anak. Tinggal di Depok.

[red/bp]

2 thoughts on “Menjemput Urmun

  1. Keren lis… tulisan mu bagus dan bahasanya mudah dipahami.
    Kutunggu tulisan berikutnya ,, good luck

  2. Tulisan dengan bahasa sederhana tapi ikut menggigil, marah, dan beberapa emosi bercampur aduk membacanya.
    Dari anak gadis di suku yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *