Menjaga Kesehatan Mental dalam Keluarga Broken Home

“Tersenyum dan berbahagialah selalu, keluarga terbelah dua bukan akhir dari segalanya.”

Mental yang sehat adalah kondisi di mana batin kita terkendali, sehingga kita bisa menikmati kehidupan sehari-hari dengan tenteram tanpa tekanan apa pun. Orang dengan kesehatan mental yang stabil dapat dengan mudah meningkatkan potensi diri secara maksimal, serta memiliki pandangan positif. Sebaliknya, orang yang memiliki gangguan kesehatan mental akan mengalami kondisi yang bertolak belakang. 

Penderita gangguan mental cenderung lebih sulit mengendalikan emosi, sehingga berdampak buruk bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Salah satu contohnya adalah depresi, di mana penderitanya mengalami gangguan suasana hati, dan merasa sedih terus-menerus. 

Penderita depresi sering menganggap bahwa dirinya tidak bisa seperti orang lain. Terkadang mereka membandingkan permasalahan hidup yang dialami dengan kehidupan orang lain, dan menganggap orang lain tidak merasakan hal yang sama. Padahal pemikiran tersebut belum tentu benar. Hal seperti inilah yang menyebabkan penderita depresi sulit menjalani aktivitas sehari-hari secara normal.

Apa itu broken home?

Broken home adalah kondisi di mana sebuah keluarga tidak lagi harmonis dan mengalami perpecahan. Orang tua cenderung tidak suka berkumpul dengan keluarga inti, dan mencari kesibukan di tempat kerja, misalnya. Situasi dan kondisi keluarga yang tidak harmonis ini tentu berdampak buruk terhadap kesehatan mental anak. Kecemburuan sosial bisa muncul saat anak-anak berada di tengah teman-teman yang keluarganya harmonis.

Kisah Juminto

Namaku Juminto (nama samaran). Aku adalah anak yang harus berusaha kuat dan selalu meyakinkan diri sendiri bahwasanya aku selalu bisa berjalan. Aku berada di dalam lingkup keluarga broken home. Keluargaku mulai hancur ketika aku berumur 9 tahun. Bapak-ibuku terus bertengkar, dan akibatnya mereka harus berpisah saat ini. Bapak tega berselingkuh dengan seorang gadis berumur 18 tahun, meski jelas-jelas umur mereka berbeda jauh. 

Januari 2011 adalah awal mula hancurnya hidupku. Saat pulang dari bermain di rumah teman, aku melihat bapak memukul ibu dengan mata kepalaku sendiri. Ibu menangis histeris, dan anggota keluarga lain datang karena mereka takut akan terjadi hal yang lebih besar lagi. Semenjak saat itu aku dan ibu pergi dari rumah dan tinggal di rumah kakek. 

Layaknya anak yang tidak mempunyai siapa-siapa, orang tuaku hanya sebatas hadir, tanpa mengayomi. Kondisi ini kian parah akibat omongan dari keluarga besarku, “Juminto ini anak yang tidak tahu diuntung, cuma bisa merepotkan orang lain.”

Mentalku mulai terganggu saat itu, dan kehidupanku pun berubah sangat drastis. Aku membenci mereka. Aku mulai memberanikan diri untuk mencuri uang. Padahal dulu aku selalu tercukupi dalam hal keuangan. 

Singkat cerita, aku pindah untuk tinggal berdua dengan ibuku. Dulu aku adalah anak yang manja. Namun saat itu keadaan yang menghimpit memaksaku untuk bekerja. Aku selalu membantu ibu bekerja setelah pulang sekolah. Hasil kerjaku sebagian ditabung, dan sebagian lagi untuk makan sehari-hari. 

Hari-hari berlalu. Semakin banyak masalah yang muncul, ditambah caci maki dari anggota keluarga lain yang membuatku semakin tidak terkendali. Saat duduk di bangku SMP, hidupku semakin tak terarah. Aku bagai terjerumus ke dalam lubang hitam. Aku mengonsumsi minuman beralkohol setiap hari, merokok, bolos sekolah, dan mencuri tanaman sawit milik tetangga. Saat keluargaku tahu, mereka semakin membenciku. 

Bagiku, rumah adalah tempat beban pikiran. Karena aku bandel, ibu menyekolahkanku di SMA berasrama agar hidupku bisa tertata kembali. Di sinilah aku banyak belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, belajar berdoa, rajin ke gereja, dan belajar lebih baik lagi. 

Rasa iri selalu menyelimuti saat melihat teman asrama dikunjungi oleh orangtua dan keluarga mereka. Namun ibu selalu menyemangatiku. Ibu selalu bilang, kamu anak kuat. Tunjukkan pada bapakmu kamu bisa berhasil tanpa seorang ayah di sampingmu, meski prosesnya sangat berat. 

Saat lulus sekolah, aku ingin menjadi seorang pastor, namun ibu selalu melarangku karena masih ada adik yang harus kutanggung. Ibu semakin tua dan harapan untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik semua kupanggul di bahuku. Aku pun merelakan mimpi dan harapanku selama ini demi membantu perekonomian keluarga.

***

Demikian kisah Juminto, salah satu sahabat saya, saat kami menempuh pendidikan di SMA dan asrama. Dari cerita teman saya itu ada kalimat, “Tersenyum dan berbahagialah selalu, keluarga terbelah dua bukan akhir dari segalanya.” 

Untuk teman-teman yang berada di tengah keluarga yang tidak harmonis, bukan berarti hidup kalian tidak berarti. Kalian berhak bahagia. Menjadi orang yang kuat bukanlah hal yang salah. Upaya mengatasi perasaan yang tidak terkendali dapat melatih kalian, agar tidak kaget saat menghadapi permasalahan lebih besar lagi di kehidupan selanjutnya. Terlebih saat mulai bekerja dan berumah tangga kelak. Usahakanlah untuk menghargai pasangan masing-masing dan menyelesaikan masalah secara baik-baik tanpa kekerasan.

Maria Dini Pebrianti, mahasiswa PGSD.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *