Menjadi Dewasa adalah Proses yang Sulit bagi Semua Orang

“Sering kali, banyak hal yang sejatinya tak perlu kita pikirkan sulit-sulit. Beberapa hal memang perlu kita “ya sudah”-kan saja.”

Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sering memimpikan betapa indahnya kehidupan orang dewasa. Tumbuh dewasa itu menyenangkan, kata iklan susu penambah tinggi badan, yang membuat saya saya semakin tidak sabar menjadi dewasa. Bisa bekerja, menghasilkan uang, dan membeli barang yang diinginkan, semuanya menjadi impian saya sejak masih belajar perkalian.

Seiring berjalannya waktu, saya jadi paham kalau tumbuh dewasa tidak sepenuhnya menyenangkan. Hal yang menurut saya sangat kentara adalah ketika kita mesti menghadapi masalah sendirian, berdiri untuk diri sendiri, tanpa ada orang tua di belakang kita, atau bahkan tanpa dukungan dari teman dan rekan. 

Satu hal yang pasti dari menjadi dewasa adalah hilangnya banyak teman dan semakin sempitnya relasi sosial. Erik Erikson melalui teori perkembangan psikososial-nya menjabarkan, bahwa semakin dewasa, kita akan semakin ketat dalam menyeleksi orang-orang yang berada dalam lingkar terdekat, menyisakan sekelompok orang yang betul-betul kita percayai untuk tetap kita jaga relasinya.

Pada fase remaja, yang menurut Erikson dimulai pada usia 12–20 tahun, remaja lebih fokus pada pembentukan identitas diri. Pada rentang usia ini, kegelisahan mengenai identitas diri biasanya muncul, dan karenanya, remaja akan mulai mengekspresikan identitas dan eksistensi dirinya. Pencarian identitas diri inilah yang akan membuat remaja seakan terombang-ambing dalam relasi sosialnya. 

Tahap berikutnya, yakni tahap dewasa awal yang dimulai pada usia 21-40 tahun, ditandai dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri dan menjaga relasi sosial hanya dengan orang tertentu dalam hidup kita. Pada tahap ini, tujuannya adalah untuk membangun keintiman dengan orang-orang tertentu, termasuk membangun hubungan cinta dengan orang yang kita sukai. Pada fase ini pula, jika kita gagal membangun kelekatan, maka akan muncul perasaan terkucilkan.

Saya jadi paham bahwa tumbuh dewasa pada dasarnya memang sulit. Angan-angan mengenai betapa enaknya bekerja dan memiliki uang sendiri seketika terpatahkan setelah saya merasakan sulitnya berkutat dengan pekerjaan. Belum lagi jika harus berhadapan dengan cibiran orang-orang di lingkungan pekerjaan.

Berdiri pada kaki sendiri, dengan segudang tanggung jawab dan ekspektasi yang mesti dipenuhi, rasa-rasanya cukup menggambarkan beratnya beban yang harus dihadapi sebagai orang dewasa.

Sering terlintas pertanyaan dalam hati: Apakah tumbuh dewasa memang sesulit ini? Rasa-rasanya dunia saya masih baik-baik saja saat saya menonton Spongebob setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Apakah menjadi dewasa memang perlu mengorbankan banyak hal?

Jika dulu ingin menjadi cepat dewasa, kini saya berharap bisa menjadi anak kecil lagi. Menangis karena tidak dibelikan permen rasanya lebih baik dibanding menangis karena merasa gagal menjalani hidup. Meski sudah menghadapi berbagai macam kegagalan dalam hidup, tetapi tetap saja terasa sulit membiasakan diri menerima kegagalan itu.

Sejatinya, lahir sebagai manusia berarti juga harus siap untuk menghadapi dunia dan seisinya. Saya pernah mendengar, bahwa manusia yang lahir di dunia sesungguhnya sudah melihat seluruh kehidupannya dan memutuskan untuk setuju dilahirkan ke dunia. Terdengar naif dan klise, namun ini bisa memberikan penguatan bagi kita untuk menjalani hari.

Saya paham bagaimana rasanya menjalani hari sebagai orang dewasa dengan segudang ekspektasi yang mesti dipenuhi. Berat. Namun, kita tak bisa melakukan apapun selain menjalaninya. Hanya diri ini yang kita miliki dan banggakan untuk bisa terus berjuang. 

Kerap kali, rutinitas yang terus berulang menjadi kejenuhan tersendiri. Bangun pagi, bekerja hingga sore hari, pulang, lalu mengulangi hal yang sama di hari berikutnya. Tidakkah rutinitas seperti ini sering membuat kita merasa hidup ini begini-begini saja? 

Belum lagi ketika kita melihat sekeliling: Teman-teman seumuran sudah pada menikah, membangun usaha, sibuk dengan studi, sementara kita merasa belum beranjak begitu jauh. Hanya mencoba untuk bertahan hidup tiap harinya.

Menurut saya, bisa bertahan setiap hari juga merupakan pencapaian yang patut diapresiasi. Hanya saja, pikiran untuk membandingkan diri dengan orang lain memang suka datang dan mengusik. Tidur pun menjadi sulit dan tak tenang karena terus memikirkan akan jadi apa saya 10 tahun mendatang?

Pada akhirnya, menjadi dewasa adalah soal menerima. Yaitu menerima kegagalan dalam hidup, menerima bahwa diri ini bukan pahlawan super yang harus menyelamatkan dunia, juga menerima sekecil apapun pencapaian yang sudah saya rengkuh selama ini.

Rasa penerimaan saya kian terlatih seiring banyak hal yang dihadapi. Kalau saya gagal, mungkin memang belum rejekinya, mungkin saya masih harus memperbaiki diri. Kalau kata banyak orang, bisa mengucapkan “ya sudah” adalah salah satu pertanda bahwa kita sudah memasuki dunia orang dewasa. 

Sering kali, banyak hal yang sejatinya tak perlu kita pikirkan sulit-sulit. Beberapa hal memang perlu kita “ya sudah”-kan saja. Ada hal di luar diri kita yang memang tak bisa dikontrol, dan itu tak masalah. 

Saya menikmati tiap proses pendewasaan yang terjadi. Meski kadang terasa menyulitkan, selalu ada hal menarik dalam proses pendewasaan tiap orang. Jika dulu saya melihat kedewasaan sebagai beban, sekarang saya semakin paham bahwa kita tak perlu membuktikan diri dengan serentetan pencapaian (yang tentu bagus jika kita bisa meraihnya) hanya untuk mendapat validasi dari orang-orang.

Karena, ketika kita sudah berada di ujung hari, yang tersisa hanya kita sendiri. Bagaimana perasaan soal hari itu dan apa yang sudah dilewati, pada ujungnya hanya kita sendiri yang tahu bagaimana rasanya. Memang sulit menjadi dewasa, tapi setidaknya ia memberikan banyak pelajaran berharga pada tiap langkahnya.

Felicia Wijaya, mahasiswi tapi pengen jadi sapi New Zealand.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *