Mengenal Ritual Keluar Malam: Sisi Positif “Dosa” Santri

“Saya seperti terpantik untuk merasakan sensasi keluar malam seperti yang dilakukan Cak Nur muda itu.”

Pesantren (pondok) tempat saya belajar dulunya dikelilingi sawah. Jika dideskripsikan, maka batas pesantren saya dari seluruh penjuru adalah sawah dan sawah. Dan, ada masa tanaman yang paling disukai para santri waktu itu, jagung. Agak butuh waktu lama bagi saya untuk mengetahui alasan mengapa tanaman jagung sangat disukai. “Mengapa, ya?” gumam saya dalam hati.

Pertanyaan itu terjawab manakala malam hari, ketika selesai mencuci pakaian, saya dikejutkan dengan teman asrama saya yang tiba-tiba muncul begitu saja dari dalam semak jagung, atau sebaliknya. Mereka tengok kanan-kiri kemudian menghilang begitu saja. Saya pastikan mereka menghilang–tidak diculik, atau digondol makhluk astral. Tidak. 

Ternyata mereka keluar ke arah yang belum saya ketahui. Sebagai santri baru, tentu saya belum berani mengikuti mereka. Dosanya bisa membuat mahkota saya menghilang dari tempatnya. Bukan gundulnya itu yang meresahkan, hal-hal yang mengiringi proses gundul itu yang kami takutkan. Hahaha.

Namun, belakangan, saya mendengar banyak sisi positif keluar malam. Konon katanya, salah seorang cendekiawan muslim terkemuka Indonesia, Nurcholish Madjid pernah tertangkap basah keluar malam dari asramanya. Alasan yang diungkapkan membuat para pengurus kebingungan. Bagaimana tidak? Alasannya adalah dia belajar Bahasa Prancis di rumah seorang tetangga pondok. Cak Nur muda akhirnya dilaporkan kepada kiai pengasuh pondok. Sang Kiai diam sejenak kemudian mendekatkan wajahnya ke telinganya berbisik, “Lanjutkan!” 

Saya seperti terpantik untuk merasakan sensasi keluar malam seperti yang dilakukan Cak Nur muda itu. Walaupun keinginan itu sempat surut karena sebuah insiden, bagian keamanan pondok tiba-tiba saja tidur di teras depan asrama. Saya melihat teman-teman panik minta ampun.

Ada dari mereka yang masuk lewat jendela belakang asrama yang hanya berukuran 50×40 centimeter yang berada di ketinggian 2 meter lebih. Ada yang merangkak lewat semak-semak dan berdiam di sana sampai bagian keamanan itu terbangun dan pergi. Huft.

Namun, lama kelamaan, diawali dengan penasaran saya ingin mencoba merasakan sensasi keluar malam. Di malam yang direncanakan, saya dan rekan saya mencoba hal yang sama. Teman saya menyorot situasi, apakah keadaan aman, atau ada bagian keamanan. Saya ingat, saat itu sedang musim tanam jagung yang sedang tinggi-tingginya dan pondok sedang mengadakan ujian. 

Bustan, teman saya itu berangkat terlebih dahulu. Dia memakai setelan hitam-hitam agar cepat tersamarkan, sambil berdoa agar tidak dicurigai warga setempat sebagai maling ayam. Di tangannya ada bungkusan kresek berbentuk kotak persegi panjang. Saya belum tahu betul isinya apa. Itu tidak penting pikir saya saat itu. Sementara saya berselimut sarung, tak kalah gesit juga berusaha menghilang dalam satu kedipan mata.

Saya mengikutinya dari kejauhan, saya berbelok saat dia belok, berlari saat dia juga berlari. Keadaan saat itu memang cukup gelap, perjalanan saya hanya dibantu oleh lampu belakang rumah warga yang masih cukup jauh. Kami akhirnya sampai di tempat yang dituju, sebuah warung. 

Warung Mbok Yem, kami menyebutnya demikian. Warung yang istimewa, karena kami boleh masuk ke dalam. Layaknya tuan rumah, menikmati siaran televisi dan kasur yang sekalipun lusuh tapi nikmat sekali. Kami memesan kopi, dan mie instan. 

Bustan langsung saja masuk rumah, duduk, dan membuka bungkusan yang dia bawa. Ternyata dia membawa kitab yang cukup besar, setebal batu bata merah. Setahun kemudian saya baru tahu kitab itu berjudul Ibanatul Ahkam, kitab syarah (penjelas) hadis Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-’Asqalani. Dan, hal itu dilakukan seluruh santri yang keluar malam di sana. “Menarik,” ungkap saya dalam hati.

Bustan mulai merapal tulisan yang ada di dalamnya, mulai dari redaksi hadis, makna dari beberapa kata kunci, hingga fiqhul hadis–penjelas dari hadis–yang biasanya berisi pendapat dari empat imam fiqih. Dia membacanya cukup serius, dan saya menggodanya, “Serius amat, Kang?” 

“Pertanyaan yang diujikan besok bisa saya tebak, teramat rinci. Sebutkan, apa, mengapa, beri contoh,” katanya dengan sedikit mengeluh.

Sementara saya hanya membuka buku tipis dan lebih menikmati kopi saya daripada membaca buku tersebut. Hahaha.

Ah, seandainya bagian keamanan tahu apa yang kami lakukan, niscaya mahkota kami tetap utuh. Tiada hukuman, apalagi pukulan. Dan, kelak, dia akan berbisik, “Lanjutkan!” seperti yang dibisikkan Sang Kiai Cak Nur Muda di atas. Kemudian, dia akan membiarkan kami kembali menghilang dalam semak-semak pohon jagung. Cling!

Ahmad Natsirpernah nyantri.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *