Menerima Catcalling? Begini Cara Mengatasinya

ghibahin

Catcalling itu seru kalau korbannya terlihat gugup, malu, salah tingkah, marah, jengkel, kesal, dan semacamnya.

Apakah Anda seorang perempuan yang seringkali merasa takut saat hendak melewati kerumunan laki-laki?

Anda sudah mengenakan pakaian yang tergolong sopan, tertutup, dan sengaja tidak memakai rias wajah berlebihan, tapi tetap saja masih ada yang catcalling.

Apalagi kalau sedang berdandan maksimal seperti saat mau kondangan, misalnya. Ya, memang begitulah kenyataannya. Kita tidak bisa melapisi seluruh dunia dengan permadani. Tapi kita bisa mengenakan sepasang sepatu untuk melindungi kaki.

Mustahil membungkam semua pelaku catcalling di seluruh dunia, tapi kita bisa menyiapkan mental supaya tidak takut lagi. Caranya cukup menggunakan imajinasi, seperti di bawah ini.

#1. Cari Perbandingan yang Lebih Menakutkan

Pasti ada hal lain yang lebih Anda takuti. Coba cari. Kalau saya misalnya, dulu waktu kecil paling takut sama Freddy Krueger dari film horor A Nightmare on Elm Street (maklum anak 80-an).

Jadi saya cukup berimajinasi. Betapa seramnya berjalan kaki sendirian melewati lorong yang gelap dan sepi malam-malam. Lalu, tiba-tiba dikejar Freddy dengan jari-jari ber-pisaunya yang panjang dan runcing, menggores-gores dinding.

Atau dibrakot oleh Pennywise? Atau didatangi genderuwo? Pokoknya apa saja yang Anda takuti. Bayangkan dengan jelas. Haduh, seram banget kan!

Kalau misalnya Anda disuruh memilih, Anda pilih yang mana? Di-catcalling sama cowok-cowok nggak jelas, atau dikejar Freddy? Ingat, kalau misalnya tertangkap sama Freddy, Anda sudah pasti bakal mati!

Nah, kalau sudah dibandingkan seperti ini, catcalling itu sama sekali nggak ada apa-apanya. Freddy jauh lebih menakutkan. Jadi, silahkan Anda lewati gerombolan manusia yang hobi menggoda catcalling itu, dengan tenang. Toh sebenarnya Anda nggak takut dengan mereka (takutnya sama Freddy).

Pada dasarnya kita akan merasa lebih berdaya jika bisa memilih. Meski harus memilih di antara dua hal yang sama-sama tidak disukai misalnya. Setidaknya kita bisa memilih yang dampak negatifnya lebih ringan.

Saya takut pada tikus dan cicak, tapi jika harus memilih satu untuk ditaruh di dalam rumah, lebih baik saya pilih cicak. Minimal dia tidak bersifat merusak ataupun membawa bibit penyakit seperti tikus. Nah, pemikiran ini barangkali bisa diterapkan buat mengatasi rasa takut kita kepada catcalling.

#2. Tempatkan Diri Anda Lebih Tinggi

Permukaan danau yang tenang bagaikan cermin. Bayangan burung-burung yang terbang melintas di atasnya tidak mengusiknya sedikit pun.

Anda pernah dengar ungkapan ini? Well, kalau misalnya belum, Anda sudah membacanya di sini 2 detik yang lalu. Jadi batin Anda itu bagaikan permukaan danau yang jernih dan tenang. Cowok-cowok resek yang catcalling itu bagaikan bayangan burung-burung yang terbang, melintas di atas danau. Tidak menimbulkan riak air sedikit pun, karena toh cuma bayangan. Nggak ngaruh.

Atau, pernahkah Anda melihat seorang guru PAUD atau TK, yang bisa tetap tenang dan tersenyum manis meski dikelilingi puluhan orang anak kecil yang heboh saling dorong dan berisik? Itu karena dia tahu anak-anak itu masih kecil sekali. Karenanya wajar saja kalau mereka masih sulit disuruh tertib. Dan sebagai seorang guru, level kebijaksanaan serta kedewasaannya jauh di atas anak-anak itu. Jadi, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh kehebohan mereka. Biasa-biasa aja, tetap cool dan kalem.

Nah, tempatkan diri Anda pada posisi sebagai guru PAUD. Makhluk-makhluk resek yang catcalling itu sebenarnya bagaikan anak-anak didik Anda, yang masih heboh merengek-rengek kalau melihat Kind*rj*y di kasir minimarket. Belum bisa berpikir layaknya orang dewasa. Maklumi saja. Toh level kebijaksanaan Anda sudah tinggi. Jadi catcalling yang ada di level rendah itu nggak ngaruh sama sekali.

#3. Bersikap Ramah

Terus terang, ini baru bisa saya lakukan saat berusia tiga puluhan akhir, saat sudah punya anak dan punya aura ibu-ibu. Namun Anda yang masih muda juga bisa mencoba. Kalau sudah tahu bakal di-suitin atau di-catcall, sekali-sekali bolehlah kita mencuri start. Sapa mereka lebih dulu, “Selamat sore bapak-bapak!”. Atau, “Permisi, Mas!” sambil tersenyum ramah.

Cara ini bisa diterapkan jika kita sering melewati suatu tempat. Mungkin awalnya cowok-cowok itu akan menanggapi dengan riuh rendah. Namun, jika kita memang setiap hari lewat di situ, dan konsisten menyapa dengan ramah, lama-kelamaan akan timbul rasa bosan di hati mereka. Catcalling itu seru kalau korbannya terlihat gugup, malu, salah tingkah, marah, jengkel, kesal, dan semacamnya. Jika korbannya terlihat ramah dan nyaman, bahkan penuh senyum, maka dia bukan lagi korban. Nggak seru lagi buat di-catcalling-in.

#4. Berprasangka Baik

Sebenarnya ini adalah lanjutan dari bersikap ramah di atas. Begini, pada dasarnya manusia itu terlahir baik. Kalau orang berperilaku tidak baik, itu karena berbagai faktor yang terjadi dalam hidupnya. Terkadang (tidak selalu lho ya), kita bisa menjumpai orang dalam kondisi yang baik, jika kita sendiri juga berprasangka baik.

Contoh konkretnya pernah saya alami sendiri. Sebagai seorang pelari, (sebelum era pandemi) malam hari saya sering lari di jalanan depan kompleks, di mana ada 3 gedung besar yang sedang dibangun. Otomatis, ada banyak pekerja bangunan. Di-suitin atau di-catcall saat sedang berlari, sudah pasti saya terima. Tapi, saya coba berprasangka baik. Para pekerja bangunan itu tentu punya keluarga, anak dan istri. Yang masih bujang punya orang tua, adik dan kakak. Saya yakin mereka adalah orang-orang baik, yang bekerja dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, demi menafkahi keluarga di kampung halaman.

Awalnya memang catcalling. Namun, karena selalu dibalas dengan senyum ramah, lama-kelamaan mereka menyapa. Nah, saat dipanggil atau disapa itulah, kita balas sapaannya dengan baik.

“Minum dulu Bu, haus!”

“Iya Pak, haus banget.”

“Asli mana Bu?”

“Muntilan, Magelang, Pak.”

“Ooo, Jawa tho, saya kira Korea.”

Lhah medhok gini kok Korea tho Pak.” Barangkali saya mirip dengan Song Hye Kyo … tapi jempolnya doang yang mirip. Hehehe.

“Kalau Bapak, asli mana?”

“Saya asli Jepara Bu, Kota Ukir. Kadang ngerjain proyek di Jogja juga, sering lewat Magelang, Kota Sejuta Bunga. Bulan lalu ngerjain proyek di Alam Sutera.”

“Ooo, sebelum pindah ke sini, saya sering lari di Alam Sutera, Pak. Di sini Bapak tinggal di mana?”

“Di mess belakang situ, Bu. Kerjaan di sini tinggal seminggu-an lagi. Habis itu pindah ke proyek lain. Pokoknya ikut mandor. Pulang setahun sekali, dua kali. Yang penting dua minggu sekali kirim uang untuk keluarga. Orangnya sendiri, nggak usah sering pulang, nggak papa.”

Ah, kok jadi sedih.

“Kalau ndak hujan, rata-rata saya lari di sini setiap malam. Sampai jumpa besok ya Pak.”

Lho, kok malah janjian? Hahaha.

Berprasangka baik ini tidak selalu bisa diterapkan, karena ada saja orang yang memang resek. Bapak yang saya jumpai itu kebetulan orang baik.

Well, anyway, setelah membaca tulisan ini, semoga catcalling tidak lagi mengganggumu lagi ya.

Santi Kurniasari, Marathoner, ibu rumah tangga yang suka berlari, menulis, dan menyanyi.

(red/rien)

One thought on “Menerima Catcalling? Begini Cara Mengatasinya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *