Menepis Stigma Negatif Nikah Muda

“Bahkan sampai sekarang saya masih mendapatkan nyinyiran dari masyarakat sekitar.”

Saya memutuskan untuk menikah muda saat saya berusia 20 tahun di tengah perjalanan menjalani masa perkuliahan. Saya mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan setelah menjalani masa pacaran selama 1 tahun.

Selama masa pacaran, saya merasa pasangan saya mampu menggantikan sosok ayah yang sedari kecil tidak dekat. Saya merasa kurang kasih sayang dari seorang ayah. Alasan lain yang menjadikan saya mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena pasangan saya cukup dewasa. Perbedaan usia kami terpaut jauh yakni 15 tahun.

Dilansir dari situs Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengungkapkan bahwa usia pernikahan yang ideal di usia yang sudah matang, yaitu di usia 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria.

Keluarga saya menyambut hangat ketika pasangan saya datang melamar karena keluarga kami sudah saling mengenal. Namun, tentu saja tidak semua keluarga saya menyetujui pernikahan saya. Banyak dari mereka mengatakan bahwa saya ini masih terlalu muda, belum bisa mengurus rumah tangga, tidak bisa masak, tidak bisa menjadi istri yang baik, keras kepala, dan masih banyak lagi alasan lain ketidaksetujuannya. 

Tetapi karena saya merasa bahwa orang tua saya tidak memiliki masalah terhadap pernikahan saya. Dan, ini adalah hidup saya, maka keputusan tetap di tangan saya. Saya tetap melaksanakan pernikahan dan sampai saat ini sedang menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik-baik.

Namun, cibiran yang saya dapatkan tidak berhenti sampai di titik sebelum saya menikah. Bahkan sampai sekarang saya masih mendapatkan nyinyiran dari masyarakat sekitar, misalnya: Kuliah saja belum selesai kok udah nikah; Kasihan sekali masih muda sudah menjadi pembantu di rumah; Masih kecil sudah menikah paling tidak lama cerai; Memangnya sudah bisa masak, dan masih banyak lagi.

Yang membuat sedih adalah mengapa begitu banyak stigma negatif mengenai perempuan yang memutuskan untuk nikah muda. Kebanyakan stigma masyarakat yang saya dengar menganggap bahwa perempuan yang tiba-tiba menikah saat masih muda pasti sudah hamil duluan, tidak bisa menjadi istri yang baik, tidak bisa menjadi ibu yang baik, jika bertengkar pasti langsung memutuskan untuk berpisah, emosi yang masih belum stabil, belum tahu susahnya hidup, dsb.

Menurut Evans-Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, & Corrigan, (2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orang-orang yang dipandang berbeda. Stigma-stigma negatif yang tersebar di masyarakat tidak bisa dipungkiri adalah hasil dari apa yang terjadi di lapangan.

Pernikahan usia muda memang lebih rentan mengalami perceraian. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi, seperti: keadaan mental yang belum siap sehingga tidak bisa menghadapi konsekuensi menikah muda, tidak mapan secara ekonomi, keadaan belum siap memiliki anak, dan pada akhirnya bisa menjadi penyebab munculnya masalah psikologis.

Dari kejadian ini membuat banyak masyarakat menganggap bahwa pernikahan yang dilakukan pada saat usia muda itu sebagai hal yang negatif. Anggapan negatif utamanya ditujukan kepada pihak perempuan. 

Namun, yang seharusnya diketahui oleh masyarakat bahwa kematangan atau kesiapan seseorang dalam menjalani pernikahan itu berbeda-beda. Maka, usia tidak bisa sepenuhnya menjadi patokan kesiapan seseorang dalam menjalani kehidupan pernikahannya. 

Saya tidak menepis atau menghindari stigma negatif masyarakat terhadap diri saya. Saya hanya bisa menunjukkan dan membuktikan bahwa saya mampu menjadi seorang ibu muda yang bisa diandalkan sembari saya terus berusaha untuk dapat menjadi seorang istri yang lebih baik lagi dalam kehidupan pernikahan saya. 

Stigma negatif yang didapatkan dari masyarakat memang menyakitkan dan sering membuat tertekan namun ketika keluarga terdekat tetap mendukung penuh, setidaknya ini dapat menjadi penyemangat. 

Saya percaya bahwa setiap perempuan muda yang memutuskan untuk berani melangkah ke jenjang pernikahan bukanlah suatu hal atau keputusan yang mudah dilakukan. Namun, terlepas dari keberanian tersebut pasti terdapat sebuah alasan cukup kuat yang mendasarinya. Sehingga, seorang perempuan muda yang seharusnya masih bersenang-senang dengan teman sebaya, tetap bisa menjalani pernikahannya dengan bahagia. 

Dia tetap berusaha mewujudkan setiap impiannya. Dia siap menjalani masa transisi dari seorang remaja menjadi seorang istri. Dia tetap semangat dan membuktikan bahwa seorang perempuan muda dapat menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. 

Putri, menyukai suasana tenang dan lebih suka melakukan kegiatan sendirian.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *