Site icon ghibahin.id

Mendefinisikan Ulang Desa

Suatu waktu, saya dan beberapa kawan mengadakan kelas praktik menanam padi bagi anak-anak SD di sekitar desa tempat kami tinggal. Sebelum acara dimulai, kami bertanya pada bocah-bocah itu tentang asal usul nasi dan sayuran di meja makan rumah mereka. Satu per satu jawaban meluncur.

“Dari pasar, Mas,” sahut seorang bocah.

“Nggak tahu, Mas, yang beli Embak,” cetus seorang lainnya. Embak dalam bahasa bocah tadi adalah pembantu rumah tangga di rumahnya. Lainnya, lebih banyak diam dan mungkin tidak akan menduga mendapatkan pertanyaan macam itu. Sebuah pertanyaan yang mustahil ditemukan di bangku sekolah.

Sebagian besar orang mungkin akan merasa jawaban itu adalah jawaban lucu dan polos dari anak-anak. Benar memang, betapa polosnya, mereka menunjukkan betapa mereka sudah mulai tercabut dari akar budaya mereka sendiri.

Menyitir kata-kata Tan Malaka bahwa ilalang tidak akan mati jika tidak dicabut sampai akarnya, bocah-bocah tadi adalah ilalang. Ya, ilalang, rumpun makhluk hidup yang akarnya pernah menyatu dengan secuil tanah bernama desa, dulunya.

Sebuah Otokritik

Kisah di atas hanyalah satu dari sekian banyak kelucuan–untuk tidak mengatakannya sebagai masalah sosial-struktural–di pedesaan. Semua orang bisa melihat adanya alih fungsi lahan, bukit dan hutan hilang, atau sawah-sawah jadi ladang beton. Namun, sangat sedikit orang tahu lintasan peristiwa sebelum bermuara ke fenomena-fenomena tadi.

Diskusi tentang sosialisme versus kapitalisme mungkin akan meletakkan pemodal dan sistem kapitalisme ugal-ugalan sebagai biang keladi. Bersama itu, desa akan diletakkan sebagai anak manis yang tidak berdaya melawan segala takdirnya. Padahal, desa juga punya peran dalam mendorong dirinya sendiri menuju tepi jurang perubahan. Sebuah jurang yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Jauh sebelum sawah berbuah beton, perubahan sudah terjadi di dalam diri orang-orang desa. Sejak puluhan tahun silam, warga desa memimpikan keturunannya mempunyai hidup layak, tidak menjadi petani dan tinggal di desa seperti para orang tuanya. Struktur budaya dan pemikiran sejak zaman kolonialisme ternyata telah menciptakan keraguan pada desa itu sendiri.

Solusi paling sederhana tentu saja adalah urbanisasi, sebab kota dipandang sebagai sebuah janji kemajuan bagi orang-orangnya. Di beberapa daerah, merantau malah menjadi semacam kewajiban bagi anak-anak muda di sana. Akhirnya, desa hanya tinggal berisi orang-orang tua dan anak-anak muda yang kehabisan pilihan.

Di sisi lain, sawah dan kebun adalah benda mati. Mereka butuh sumber daya manusia untuk menjadikannya berdaya. Padahal, sumber daya manusia desa sudah digempur habis-habisan dengan segala paradigma yang ditanamkan sejak lama. Petani-petani tua akan pergi dan generasi petani sudah habis. Kebanggaan keluarga petani bahwa anak mereka sukses di kota dan pulang setahun sekali tidak akan berarti banyak dalam masalah satu ini.

Dalam sudut pandang ini, alih fungsi lahan terjadi bukan karena tirani membutuhkan ruang untuk berkembang melainkan karena unsur sebab akibat yang dimulai dari desa, dari masyarakatnya. Cara paling sederhana dan mudah tentu saja adalah dengan menjualnya, lalu membagikan hasil penjualan ke saudara-saudara lain. Apa mau dikata, tidak ada generasi baru di banyak keluarga petani desa setelah orang tua mereka didera usia senja.

Tidak semua desa mengalami fenomena seperti di atas, tentu saja. Masih banyak desa yang beruntung karena masih punya generasi muda di desanya. Pertanyaan selanjutnya, berapa banyak anak muda mau terjun langsung mengelola desanya? Entah dengan cara bertani, mengembangkan potensi adat dan budaya, atau melakukan kerja-kerja nyata demi kemajuan desa? Tidak usah repot-repot membuka buku sosiologi, jawabannya adalah: tidak banyak. 

Anak-anak muda tadi tidak sedang menempuh jalan durhaka sebab alam budaya dan pemikiran di sekitarnya sejak lama sudah mendorong mereka untuk melakukan itu. Orang-orang tua mendorong anak mereka agar pintar dan bisa hidup lebih baik. Sementara sistem pendidikan formal juga kian menjauhkan anak-anak desa dari akar budaya mereka secara sistematis.

Beberapa waktu lalu, seorang warganet membagikan kisah tentang guru SD yang mencemooh anaknya karena bercita-cita menjadi penyanyi. Mari bayangkan andai kata si anak waktu itu menjawab punya cita-cita sebagai petani. Mungkin, si oknum guru tadi tidak akan mencemooh melainkan akan terdiam, mengelus dada, dan merasa miris.

Semua masalah tadi masih diperparah dengan sistem politik pedesaan yang sangat jarang mampu melahirkan sistem ideal. Alih-alih menciptakan kepala dusun, kepala desa, atau lurah yang mau berjuang bagi desanya menuju kemajuan, sistem politik tradisional malah menciptakan beberapa “raja-raja kecil” menumpuk kekayaan dan menggunakan lahan kas desa demi kepentingan pribadi. Lihat saja betapa usulan jabatan hingga total 27 tahun untuk kepala desa didukung banyak pihak di negara ini.

Pada akhirnya, hilangnya ruh pedesaan tidak melulu salah sistem kapitalisme global atau perubahan zaman. Sebagaimana banyak hal di muka dunia, selalu ada unsur sebab akibat. Disebabkan oleh perubahan di internal desa itu sendiri, maka perubahan-perubahan besar dari luar lebih mudah masuk dan menjadi kenyataan. Walaupun, dari sudut pandang lebih mendalam, ada satu lagi unsur penyebab perubahan-perubahan di internal desa, di tingkat manusianya: tidak hadirnya peran negara.

Redefinisi Desa

Selama ini, negara agaknya meletakkan desa dalam kotak abu-abu. Desa memang didukung dengan kebijakan dan pendanaan. Sayangnya, itu semua masih dilakukan setengah hati. Lebih disayangkan lagi karena negara sekadar memandang desa secara parsial, bukan sebagai lingkungan sosial utuh. Adalah konyol adanya mendukung terciptanya petani muda tanpa didukung pembaruan sistem pendidikan. Sementara di saat bersamaan, negara turut menghadirkan alat-alat berat ke pedesaan.

Redefinisi desa adalah sebuah cara untuk menerjemahkan ulang desa dari berbagai ruang pandang. Baik itu kebijakan taktis, pendidikan, bahkan pendanaan. Semua itu harus dilakukan setidaknya jika kita meyakini bahwa desa dan segala kekayaan adat, budaya, sosiologis, dan alamnya adalah bagian penting dari keberlangsungan negara. Sederhana saja, petani tidak bisa menanam padi di ladang beton, mereka tetap butuh sawah dan ladang.

Regenerasi petani misalnya, bisa dimulai dari penyeimbangan sistem pendidikan. Rasanya, tidak sulit dan sangat memungkinkan andai kata kurikulum pendidikan mulai disesuaikan dengan keadaan zaman dan lingkungan. Bukan lagi kurikulum nasional yang mengharuskan bocah Kalimantan menggunakan cara pandang Jawa melainkan kurikulum dengan penyesuaian terhadap masing-masing wilayah.

Pelajaran IPA misalnya, bisa digunakan mulai mengajarkan mengenai ekosistem di sekitar tempat tinggal si murid. Tidak melulu soal teori-teori luar kepala melainkan mengajarkan hal-hal yang dekat dengan realitas para murid. Ambillah contoh bahwa anak-anak sekolah dikenalkan nama-nama pohon di sekitar mereka beserta kegunaan-kegunaannya. 

Memaksimalkan peran penyuluh pertanian juga bisa dilakukan sebagai cara lain, tentu dengan konsep lebih kekinian supaya anak-anak muda lebih melek terhadap perubahan zaman. 

Masih lewat pintu masuk pendidikan, KKN dari universitas juga bisa mengambil peran penting dalam upaya redefinisi desa. Para mahasiswa tentu bukan tidak mungkin membawa inovasi baru bagi pedesaan selain lewat membuat papan nama atau mengecat gapura. KKN, dengan beberapa modifikasi konsep, sangat mungkin menjadi sarana transfer pengetahuan dari universitas menuju desa-desa.

Dari sisi kebijakan, dukungan penuh harus mulai diberikan. Agaknya, hingga detik ini, negara masih berpikir bahwa anak-anak muda mau menjadi petani dengan program petani milenial dan sedikit motivasi. Padahal, banyak dari mereka masih menjalani kegamangan tentang masa depan. Apakah sangat sulit semisal negara memberikan dukungan berupa lahan dan kepastian sistem penjualan hasil panen. Setidaknya, secara ekonomi mereka bisa lebih yakin dan tidak lagi terlalu ragu saat menjalani kehidupan sebagai petani muda.

Cara pandang sosiologis negara terhadap desa juga sudah saatnya dirombak besar-besaran. Kebijakan tentang desa harus diambil dari riset mendalam dan profesional. Sebab, kebijakan dan pendanaan tanpa adanya riset hanya akan melahirkan kebingungan–atau malah kesempatan untuk mendukung ambisi pribadi–bagi para pemangku kebijakan di desa.

Kata “pembangunan desa” juga selayaknya ditinjau ulang. Pembangunan tidak selayaknya hanya soal membenahi jalan dan menciptakan fasilitas umum baru atas nama penyerapan anggaran. Manusia-manusia desa juga harus mulai dibangun dan dibenahi dengan tawaran gagasan dan sudut pandang baru. Sehingga, suatu saat nanti, anak-anak muda di desa punya kesadaran lebih tinggi terhadap dan segala permasalahan di dalamnya.

***

Segala gambaran di atas mungkin akan terlihat terlalu ideal dan muluk. Namun, dengan segala kapasitas yang dimiliki negara, itu semua tidak mustahil untuk dilakukan, paling tidak di satu generasi baru selanjutnya. Sebagaimana negara memegang kuasa dan kendali penuh atas hajat rakyatnya, negara juga punya kuasa penuh untuk menentukan arah langkah wilayah-wilayah dalam batas kedaulatannya, termasuk wilayah desa.

Dari sudut pandang ideal, itu semua akan menjadi hal manis andai kata benar terjadi. Bayangkan ketika desa punya anak-anak muda yang melek dan sadar akan segala potensi daerahnya. Bayangkan pula para petani bisa berbangga karena panennya dibeli dengan harga tinggi dan ia kuat secara ekonomi. Atau, mari bayangkan, karena ada generasi baru yang jauh lebih literat, desa-desa akan menjadi pusat adat dan budaya dengan segala pembaruan sudut pandang orang-orangnya.

Itu semua tidak akan terlalu menakutkan dan mengkhawatirkan kecuali kita tidak berpikir selayaknya kolonialisme tatkala menghadirkan pendidikan bagi pribumi: jangan terlalu pintar, nanti kita susah mengatur dan menguasainya.

Syaeful Cahyadi, penulis dan pekerja sosial, tinggal di Yogyakarta.

[red/rien]

Exit mobile version