Mencoba Mengerti Makna Dizalimi

Tulisan ini dibuat saat saya terluka, ketika seseorang menuduh sistem bisnis yang sedang saya jalani telah menzalimi dirinya. Dan sebagai orang yang merasa terzalimi, ia tidak hanya meluapkan emosinya di medsos serta mengancam ini-itu, tapi juga mendoakan bisnis serta hidup saya susah tujuh turunan. Ya Allah.

Lalu, apakah saat ini saya juga boleh merasa terzalimi oleh sikapnya? Oleh postingannya? Oleh perkataannya? Oleh doa-doanya? Bolehkaaah…?

Sebelum ini, saya juga telah membaca status teman yang merasa dirinya sedang dizalimi. Dan tiba-tiba pertanyaan besar bergayut di benak saya. Mengapa sepertinya mudah sekali seseorang mengklaim dirinya sedang dizalimi?

Benarkah ia sedang terzalimi? Apa yang membuatnya yakin kalau ia sedang dizalimi oleh seseorang? Apakah karena ia merasa dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya? Atau, apakah karena ia merasa mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya? Apakah ia sebenarnya hanya sedang terluka batinnya, sehingga ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, bisa membuatnya merasa menjadi orang yang terzalimi?

Plis deh, jangan memanfaatkan istilah zalim itu untuk menekan atau memojokkan orang. Coba pelajari dulu, apa makna dari zalim itu? Benarkah Anda sedang dizalimi?

Saya mencoba mencari tahu apa arti zalim yang sebenarnya. Saya menemukan banyak sekali interpretasi makna kata ini dari berbagai sumber. Walaupun demikian, kesimpulannya bagi saya sama. Kata “zalim” berkonotasi negatif karena mengandung sesuatu yang menyakiti (terutama) orang lain, dalam arti harfiah maupun kiasan. KBBI menegaskan bahwa orang yang zalim adalah orang yang melakukan perbuatan aniaya yang merugikan dirinya sendiri dan/atau orang lain.

Selain itu, KBBI juga mengartikan lema ini sebagai “sesuatu” yang bengis, kejam, tidak adil, atau tidak berbelas kasihan. Bayangkan, bukankah sangat mengerikan jika kemudian seseorang menuding kita sebagai orang yang zalim? 

Saya juga menemukan referensi dari laman muslim.or.id, yang mengartikan istilah zalim sebagai perbuatan yang keluar dari koridor kebenaran, baik kurang maupun melebihi batas. Mungkin ini satu-satunya referensi yang saya temukan yang, bagi saya, bisa dianggap cukup “netral” dalam mengartikan zalim, yang tampak tidak terlalu “menghakimi” makna yang sebenarnya.

Mengapa saya merasa referensi tersebut tidak terlalu menghakimi? Karena saya merasa, pengertian “kurang” ataupun “lebih” itu bukanlah sesuatu yang sifatnya absolut dan bukan sesuatu yang memiliki batasan yang jelas. 

Saya coba menelaah kembali kasus konsumen bisnis saya, dan status teman yang merasa terzalimi tersebut. Mungkin saja, konsumen dan teman saya itu memiliki standar kebenaran yang berbeda dengan orang yang dituduhnya. Sehingga, ketika merasakan sesuatu di luar apa yang biasanya dianggapnya sebagai kepantasan, mereka merasa sedang dizalimi.

Lalu, salahkah jika kemudian saya berpikir betapa egoisnya mereka? Bagi saya, mereka seakan sedang minta dimaklumi sebagai orang yang terzalimi, sebagai orang yang sedang teraniaya, yang hanya dilihat dari sudut pandang mereka yang sempit. Pernahkah mereka berpikir untuk berperilaku sebaliknya, yaitu menghargai situasi dan pengalaman orang lain, yang pasti tidak sama dengan standar yang mereka miliki?

Apakah sindiran, ancaman, dan caci maki itu menjadi sesuatu yang kudu dimaklumi ketika seseorang merasa dirinya sebagai kaum terzalimi? Apakah dengan begitu mereka merasa berkuasa atas orang lain yang dituduhnya berbuat zalim?

Sadarkah mereka bahwa kelakuan tersebut justru jadi bumerang karena mereka pun telah berbuat aniaya terhadap orang lain yang dituduhnya? Mengapa sepertinya mudah sekali kita menunjuk seseorang atau sekelompok orang sebagai zalim? Hei, sudah tepatkah tolok ukur yang digunakan untuk menorehkan stempel zalim ini ke orang lain?

Daripada menuduh sembarangan, atau bahkan mengharap azab untuk orang lain, bukankah lebih baik introspeksi diri? Mestinya mereka berkaca sebelum melakukan semua itu dengan mempertanyakan, benarkah saya telah dizalimi? Atau jangan-jangan, justru saya yang telah berbuat zalim terhadap orang lain? Naudzubillah min dzalik.

***

Dessy Liestiyani, wiraswasta tinggal di Bukittinggi

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *