Menciptakan Rumah yang Nyaman bagi Keluarga

Ketika di dalam rumah, kami bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menutupi kekurangan ataupun kelebihan pribadi.

Beberapa bulan terakhir ini saya jarang sekali keluar rumah. Dalam satu minggu bisa hanya sekali saja saya keluar rumah. Saya akan terpaksa keluar rumah saat stok kulkas menipis atau karena si bungsu minta makan di luar. Selebihnya, saya lebih memilih berada di dalam rumah.

Selain memang banyak sekali hal domestik khas ibu rumah tangga yang harus diselesaikan, kebetulan bimbingan belajar milik saya berlokasi di rumah. Otomatis, pekerjaan saya ya memang di dalam rumah. Selain itu, alasan lain yang lebih logis adalah, saya tidak bisa menyetir, mobil ataupun motor, apalagi pesawat. Beneran gak bisa. Jadi jangan dipaksa (apaan sih). Maka, kemanapun pergi, saya harus menunggu mereka yang bersedia mengantar. Ya kali, saya kesana kemari naik sepeda, bisa gosong kulit saya nanti.

Meskipun banyak hal yang menjadi alasan saya berkegiatan di dalam rumah, tetap saja banyak yang mempertanyakan bagaimana saya bisa enjoy menghabiskan sebagian besar waktu hanya di rumah. Tak pernahkah saya merasa jenuh dan penat? Tak pernahkah saya menginginkan me time atau healing seperti yang banyak diributkan orang lain di media sosial itu?

Sebenarnya tak hanya saya, suami dan anak-anak saya pun lebih suka menghabiskan waktu luang di rumah saja. Dalam skala sederhana, rumah kami bisa dibilang all in one. Bisa menampung segala kesukaan dan aktivitas, dengan catatan aktivitas tersebut tak memerlukan tempat dan peralatan khusus. Kami bisa melakukan beberapa kegiatan olahraga ringan di dalam rumah seperti senam, bulutangkis, dan bersepeda. Hah, bersepeda? Iya, bersepeda statis atau sepeda roda tiga gitu. Ha ha. 

Kami juga bisa melakukan beberapa kegiatan hiburan di dalam rumah saja, seperti membaca, bermain play station, menonton film, mendengarkan musik, dan hangout. Ya, kami bisa hang out dan nongkrong berjam jam hanya di dalam rumah saja, tepatnya di teras belakang. Nongkrong asyik sambil ngopi, ngemil dan mendengarkan musik.

Konsep Rumah Sesuai Impian

Rumah kami hanya seluas 95 meter persegi. Mengusung tema minimalis dan simple, kami melengkapinya dengan konsep minim sekat. Hanya kamar tidur dan kamar mandi yang memiliki tembok berpintu. Ruangan lain bisa dibilang benar-benar terbuka tanpa penghalang. Pemisah antar ruangan hanyalah partisi berlubang (yang beneran berlubang) serta meja dan nakas. Dari ruang tamu kita bisa masuk ke ruang televisi, ruang makan, dan dapur tanpa harus membuka pintu. Kita bisa melihat aktifitas dari ruangan lain tanpa harus berpindah posisi

Dulu, anak sulung kami memiliki impian tinggal di apartemen. Lha tapi kami tinggal di kota kecil, nggak ada apartemen. Kebetulan, saya dan suami juga menyukai konsep rumah minimalis. Jadi cukup mudah untuk menggabungkan konsep apartemen dan rumah minimalis. Thanks God, minat kami bertiga tak berselisih jauh, jadi tak perlu tarik urat yang panjang untuk mengakomodir dua keinginan tersebut. Akhirnya konsep ruangan, perabotan dan segala pernak-pernik di dalam rumah juga ditata sesuai keinginan serta kenyamanan anak, sekaligus cocok untuk kami, orang tuanya.

Maka, rumah kami sekarang adalah wujud dari mimpi yang direncanakan. Semua bagian di dalamnya juga mengakomodir kebutuhan setiap anggota keluarga sehingga kami semua sangat menikmati segala macam kegiatan di dalam rumah. Saya dan anak-anak memiliki hobi membaca. Suami saya dan anak anak juga suka bermain game, berolahraga, dan mengumpulkan action figure. Mereka memiliki space khusus yang bisa digunakan untuk semua kegiatan favorit tersebut. Jadi, saat tak ada kesempatan untuk rekreasi di luar rumah, ada banyak hal asyik yang masih bisa dilakukan saat di dalam rumah.

Terkadang saat membangun rumah kita lupa memperhatikan kebutuhan, keinginan dan kenyamanan anak. Jadi jangan heran jika terkadang anak merasa bahwa rumah hanya tempat untuk berteduh dari panas dan hujan serta tempat untuk beristirahat. Saat bermain dan berekreasi, mereka lebih menemukan kenyamanan dan keseruan di tempat lain.

Bebas Berekspresi di dalam Rumah 

Di dalam rumah kami, tak ada juklak dan juknis khusus tentang bagaimana harus bersikap saat di dalam rumah. Sewajarnya saja bersikap sebagai individu yang berperan sebagai orang tua, suami, istri dan anak yang masing masing memiliki hak serta kewajiban.

Semua anggota keluarga memiliki kebebasan berekspresi dan berbicara. Semua dari kami memiliki fungsi sebagai teman bicara, pendengar, penonton, partner bertengkar (eh, bertukar pikiran), lawan berdebat, dan suporter terbaik yang saling mendukung saat menjadi juara maupun menangis tersedu ketika kalah kompetisi.

Semua dari kami sangat ringan menumpahkan segala emosi saat di dalam rumah. Emosi bahagia bisa kami tumpahkan dengan totalitas penuh semangat, bahkan terkadang lebay, hanya di dalam rumah. Emosi marah dan sedih kami luapkan semaksimal mungkin juga hanya saat di dalam rumah, tapi nggak sampai mecahin barang lho ya. Ketika di dalam rumah, kami bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menutupi kekurangan ataupun kelebihan pribadi.

Di dalam rumah kami, ada kebiasaan berdiskusi tentang banyak hal. Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat dan berargumen. Jadi saat ada suatu hal penting (terkait semua anggota keluarga) akan diputuskan, kami terbiasa membahasnya dan mendiskusikannya bersama. Diskusi yang beneran diskusi, saling berpendapat dan mengeluarkan isi pikiran. Bukan diskusi yang dimonopoli orang tua sebagai pengambil keputusan.

Tak sedikit orang tua yang sepertinya memberikan kebebasan berekspresi kepada anak tetapi nyatanya saat anak memberikan pendapat atau mengeluarkan isi pikiran mereka, orang tua sudah meng’cut’nya terlebih dahulu dengan dalih lebih berpengalaman makan asam garam kehidupan. 

 Rumah adalah kenyamanan, kehangatan, kedamaian dan kebahagiaan. Rumah seharusnya menjadi tempat pulang paling nyaman untuk semua anggota keluarga. Tampilan fasad semewah apapun, jika tidak memberikan rasa nyaman, hangat, damai dan bahagia bagi yang tinggal di dalamnya, maka bangunan tersebut belum merupakan rumah. Ya sih, standar kemewahan dan kenyamanan setiap orang tidaklah sama. Jadi, mari menemukan standar sendiri untuk rumah kita layak disebut ’rumah’.

Dinul Qoyimah, ibu rumah tangga, pemilik bimbel. Tinggal di Kudus.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *