Site icon ghibahin.id

Menangkanlah Hidupmu Sekali Lagi!

Kadang, penting juga untuk sekadar mengingat bahwa Anda sudah berjalan dengan beban berat begitu lama.

Pada generasi masa kini, depresi semakin marak terjadi. Walaupun isu kesehatan mental sudah banyak didengungkan, tetap saja masih banyak penderita depresi yang belum terdiagnosis secara memadai. Segencar apapun kesehatan mental dikampanyekan oleh para pegiatnya, nyatanya masih banyak orang merasa berat untuk mengakses layanan kesehatan mental, menganggapnya sebagai beban yang tak mudah untuk dihadapi. 

Beban yang saya maksud di sini bisa berarti banyak hal, mulai beban biaya yang mesti dikeluarkan, beban rasa malu, hingga tambahan beban mental. Padahal untuk urusan biaya, BPJS sudah bisa menjadi solusi. Syaratnya, kita cuma harus terdaftar sebagai peserta BPJS. Sebenarnya, tanpa BPJS pun sudah ada layanan psikolog yang mumpuni di Puskesmas, dan biayanya tak semahal layanan swasta. Untuk masalah malu, kita bisa menjaga privasi dengan memilih layanan online seperti yang disediakan oleh HaloDoc. 

Meskipun saat ini ada banyak kemudahan untuk mengakses layanan kesehatan mental, banyak dari mereka yang mestinya membutuhkan layanan tersebut justru memilih untuk menghindarinya. Hal ini mirip seperti orang-orang dengan risiko diabetes yang sudah tahu bahwa dirinya memiliki ciri-ciri gejala diabetes, tapi memilih untuk tidak memeriksakannya ke dokter. Denial. Ya, ini adalah bentuk penyangkalan agar diri selalu merasa baik-baik saja. Ini masalah pelik yang tak bisa dimungkiri masih sering terjadi.

***

Banyak orang yang terpantik saat media menyiarkan suatu peristiwa terkait kesehatan mental. Pada 21 Juni 2022 lalu, tersiar berita percobaan bunuh diri sekeluarga yang terjadi di Sungai Opak, Bantul, Yogyakarta. Pada laman Republika, disebutkan bahwa terduga pelaku mengajak istri dan anaknya untuk terjun ke sungai bersama-sama. Sungguh peristiwa yang menyesakkan dada.

Peristiwa-peristiwa seperti itu selalu memberi warna kelam dalam carut marut media sosial. Pertanyaan-pertanyaan jail biasanya muncul di benak mereka yang antusias mengikuti beritanya. Mereka akan berusaha mengulik apa yang menjadi penyebabnya, menelusuri data pribadi, bahkan data keluarga dan kerabat si pelaku, hingga mengarang berbagai teori seputar peristiwa tersebut. Hal ini membuat setiap peristiwa bunuh diri selalu diikuti oleh banjir informasi pribadi tentang korban dan kehidupannya.

Sementara itu, muncul tantangan yang lain lagi. Di era melek kesehatan mental sekarang ini, semakin banyak orang yang merespon berbagai peristiwa terkait gangguan mental dengan rasa empati, alih-alih menganggapnya penyakit yang mesti dijauhi.

Tiap kali muncul peristiwa percobaan bunuh diri, misalnya, respon yang menunjukkan empati banyak bermunculan. Sayangnya, sebagian di antara mereka merasakan empati secara berlebihan terhadap pelaku bunuh diri, sehingga memunculkan pemakluman atas alasan dilakukannya tindakan tersebut.

Berempati jelas merupakan hal yang baik, tapi jika Anda selalu merefleksikan permasalahan hidup orang lain ke dalam kehidupan Anda, ini bisa menjadi hal yang membahayakan dan menambah kerumitan dalam diri Anda sendiri. Berempati terhadap alasan bunuh diri seseorang justru bisa menjadi batu sandungan bagi para penderita depresi yang sedang berjuang untuk tetap hidup.

Saya sering melihat ada ucapan simpati semacam ini, “Pelaku bunuh diri tidak ingin mengakhiri hidupnya, ia hanya ingin mengakhiri kesakitan dan penderitaannya.” Iya. Oke. Benar. Tapi alangkah baiknya untuk tidak mengulang-ulang pemakluman semacam ini. Bunuh diri bukan untuk dimaklumi, justru sebisa mungkin harus dicegah. 

Dulu saya pun pernah keliru dalam berempati. Saat itu saya belum punya kesadaran, bahwa sebagai manusia, kita memang punya beban untuk menjadi tangguh demi  bertahan hidup. Dan ketika timbul keinginan-keinginan untuk menyerah dan mempercepat kematian, manusia harus menguatkan diri untuk terus berjalan menuju cahaya. 

Kesalahan terbesar yang dulu pernah saya lakukan adalah selalu mengucapkan selamat, walau dalam hati, kepada mereka yang berhasil melakukan bunuh diri.  “Selamat ya, Kawan, sudah merdeka, sudah nggak sakit lagi.” Begitulah batin saya mengucapkannya dengan tulus. Walau terdengar manis, sebenarnya ini sangatlah keliru. 

Dengan berpikir demikian, saya turut menjadi manusia yang tak percaya bahwa seharusnya mereka bisa pulih dan diselamatkan. Dengan berpikir demikian, saya menjadi manusia yang tak percaya pada kehidupan. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, ketidakpercayaan pada kehidupan bisa menjadi bensin yang mempercepat rasa putus asa menuju klimaksnya. 

***

Setiap peristiwa bunuh diri haruslah diiringi dengan duka mendalam. Seharusnya mereka masih tetap hidup, walau memang hidup terkadang terasa sangat menyebalkan. Bahkan dalam usia saya yang tak lagi muda, hidup masih bisa menjadi sangat-sangat menyebalkan. Ini tentu bukan hanya saya yang mengalami. Bisa juga, Anda pernah atau bahkan sedang mengalaminya. Tapi, segala yang menyebalkan dalam hidup, nyatanya juga membuat banyak orang tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. 

Saya bukan sedang mengajak Anda untuk menampik segala beban, tidak. Saya hanya ingin Anda menyadari, bahwa ketika Anda berhasil melewati saat-saat tergelap yang bisa mengakhiri hidup, maka sebenarnya Anda sudah menang. 

Anda mungkin tahu, saat-saat tergelap itu bisa muncul lagi sewaktu-waktu. Dan Anda akan memenangkannya lagi ketika menyadari bahwa Anda ternyata sudah sedemikian kuat, setelah bertahan sekian lama. Kadang, penting juga untuk sekadar mengingat bahwa Anda sudah berjalan dengan beban berat begitu lama. Dengan begitu, Anda bisa mengizinkan diri jatuh sebentar untuk kemudian bangun lagi sebagai pribadi yang lebih kuat. Klise, sih. Apalagi ini hanya suara dari orang biasa seperti saya, bukan pakar, bukan pula pegiat kesehatan mental.

Namun, setidaknya saat membaca tulisan ini, Anda masih hidup. Jadi, teruslah hidup, berusahalah hidup, dan bertahanlah. Semoga suatu hari nanti, kehidupan yang selama ini menyebalkan itu ternyata hanya bab pembukaan dari sebuah novel yang panjang dan indah tentang diri Anda. Pasti sudah sering Anda mendengar soal ke mana bisa meminta bantuan. Berangkatlah ke sana. Carilah cahaya itu dan mulailah menyayangi diri Anda lebih dalam dari hari kemarin.

Butet RSM, ibu dari tiga anak.

[red/rien/bp]

Exit mobile version