Menanggapi Kutukan Penyakit Keturunan dengan Biasa-Biasa Saja 

Diabetes

“Paling tidak, dengan mengetahui kadar gula, kolesterol, serta cek tekanan darah rutin, kita bisa menghindar dari penyakit katastropik macam stroke, serangan jantung, dan diabetes melitus.”

“Terus, ayahmu gimana?” Saya terjebak dalam basa-basi pembahasan penyakit ayah lawan bicara saya. Sebuah topik yang entah kenapa saya bisa terjun ke sini.

“Ya gimana, namanya juga diabetes.”

“Kamu hati-hati lo ya, ada keturunan, lo.”

Deg, dada saya terguncang sebentar. Mengapa saya terlalu terburu-buru mengatakannya? Bukankah dia sekarang sedang bertarung untuk membantu mengatasi penyakit ayahnya? Dengan congkak dan sok tahu, saya secara sadar telah menambah beban yang sedang dia pikul.

Kini saya menebak apa yang mungkin akan dia katakan, sebuah penerimaan, atau perlawanan? Mungkin saya akan lega jika yang muncul adalah sebuah penolakan. Tanda dia cuek.

Nggak, lah. Bapak diabetes gara-gara pola makannya,” ucapnya enteng.

Saya tenang sebentar. Tapi sedetik berselang, jiwa saya tambah bergemuruh, sadar kalau ini salah. Dan akhirnya saya hanya diam, mengganti topik pembicaraan. Kapan-kapan saja, deh, saya bicara tentang ini lagi ke dia.

***

Diakui atau tidak, penyakit-penyakit yang sedang trending saat ini kebanyakan memiliki faktor resiko keturunan. Mudah saja kalau disebutkan: darah tinggi, diabetes, stroke, atau penyakit jantung, misalnya.

Dalam media-media populer, penyakit-penyakit akibat keturunan juga dipertontonkan secara berlebihan. Saya ingat, ada satu produk gula khusus diabetes yang menayangkan seorang anak yang gelisah gara-gara ayahnya tervonis diabetes, dan kini dia beresiko enam kali untuk menderitanya.

Entah, apakah tujuan dari iklan ini memang untuk mengingatkan para keturunan diabetes, atau justru memanfaatkan kekhawatiran banyak orang untuk meningkatkan penjualan. Secara sederhana, saya memilih untuk menganggap kedua hal tadi adalah tujuan dari iklan tersebut.

Tetapi, memangnya para tenaga kesehatan akan menjadi ekstra peduli, jika mengetahui bahwa Anda adalah keturunan pemilik penyakit tertentu?

Sukar untuk menjawabnya, namun coba kita telaah suasana praktek sehari-hari pada fasilitas kesehatan di Indonesia.

Kebanyakan, pasien datang ke fasilitas kesehatan dengan keadaan yang, mohon maaf, sebenarnya sudah terlambat. Padahal, mungkin 5-10 tahun yang lalu orang tersebut mulai sadar ada yang salah dengan badannya.

Misalnya, pasien diabetes biasanya datang ketika sudah memiliki beberapa keluhan khas, seperti: cenderung banyak minum, banyak makan, banyak BAK, dan yang paling terlihat dia makin kurus padahal nafsu makan terjaga.

Jauh sebelum gejala-gejala yang saya sebutkan tadi muncul, kadar gula darah yang tinggi ini sebenarnya bisa terdeteksi sejak lama, sehingga bisa segera dilakukan perubahan gaya hidup atau pengobatan minimal yang diperlukan. Namun, karena abai dan mungkin fokus oleh hal lain, kerusakan ini semakin parah hingga gejalanya sudah tidak bisa diabaikan lagi.

Maka wajar, jika teman saya di awal tadi tidak terlalu ambil pusing tentang faktor resiko diabetes yang dia punya. Lha memang pengetahuan publik belum siap untuk mengarah ke pencegahan, kok.

Kembali lagi tentang Anda punya faktor risiko atau tidak, itu hanya satu poin dari sekian puluh poin untuk memperkuat diagnosis. Daripada hanya berpegang pada faktor resiko, tenaga medis sudah memiliki bukti yang lebih mendukung dan valid. Terpampang jelas di badan pasien itu sendiri, lewat pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologis yang mungkin diperlukan.

Dalam kasus diabetes, misalnya, alih-alih teralih dengan ayah atau ibu pasien yang memiliki diabetes, protokol pemeriksaan fokus pada pemeriksaan gula darah sewaktu dan gula darah puasa pasien. Tentunya, pemeriksaan ini dilakukan atas dasar wawancara dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke sana.

Sama dengan penyakit lain, hipertensi misalnya. Kami hanya menganggap faktor resiko keturunan hanyalah data tambahan untuk menegakkan diagnosis, apalagi kalau wawancara sudah mengarah pada hipertensi dan pemeriksaan tekanan darah menunjukan angka-angka jauh di atas normal.

Dengan kata lain, kalau gejala sudah muncul, faktor risiko tidak banyak memiliki arti. Tenaga kesehatan otomatis bakal fokus dengan pengobatan. Faktor risiko hanya sebuah alarm.

***

Kini saya teringat pembicaraan dengan satu teman yang lain.

“Eh, ayahku ada stroke. Nanti aku apa kena stroke juga, ya?” tanyanya dengan nada muram.

Saya yang kaget lantas melempar candaan.

“Hahaha, mungkin iya, tapi ya mungkin juga nggak. Tenang, Bos, selama asupan garam sama kolesterol alias lemakmu nggak berlebih, Insya Allah aman. Apalagi rajin check up tiap enam bulan aja.” Kata-kata tersebut keluar pelan dan sok menenangkan supaya bisa menghibur dan lekas membuatnya rileks.

Bagaimanapun, kalau terlalu dipikir, ya tidak selesai-selesai juga. Paling tidak, dengan mengetahui kadar gula, kolesterol, serta cek tekanan darah rutin, kita bisa menghindar dari penyakit katastropik macam stroke, serangan jantung, dan diabetes melitus. Toh, faktor resiko keturunan baiknya memang hanya sebagai pengingat, supaya lebih hati-hati dan kelak tidak seberapa kaget jika memang terjadi.

Tapi, daripada kaget, lebih lebih baik tidak usah kaget kan?

Padahal, saya sendiri juga takut nanti ikutan kaget. Kakek nenek saya dulu juga menderita stroke, dan mantapnya, saya sedari kecil telah terbiasa dengan makanan bersantan yang dihidangkan di rumah. Koplak-nya lagi, aktivitas sehari-hari saya tidak sepadat kakek nenek di masa lalu yang rajin naik turun sawah mengurus tanaman. [red/bp]

Prima Ardiansah, Dokter internship di RSU Aisyiah Ponorogo dan Puskesmas Jenangan Ponorogo.

2 thoughts on “Menanggapi Kutukan Penyakit Keturunan dengan Biasa-Biasa Saja 

  1. Sama dengan faktor genetik untuk penyakit mental nggak dok? Di sebuah artikel pernah baca, faktor genetik hanya akan muncul bila ada triggernya.

    1. Walaupun ada yang mengatakan iya. Tapi Mbak, hal hal menakutkan kayak gitu baiknya yaudah jadi angin lalu saja. Toh, ya namanya keturunan, ga isa diapak apakne

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *