Site icon ghibahin.id

Mempertanyakan Keseriusan Pak Anies Dalam Upaya Pencegahan Penyakit

Foto oleh Pixabay

“Penggantian nama ini supaya pola pikir masyarakat perihal kedatangan ke rumah sakit bukan hanya ketika mereka sakit.”

Pak Anies Baswedan resmi mengganti nama beberapa Rumah Sakit di Jakarta menjadi Rumah Sehat. Tercatat, ada 31 rumah sakit yang kini berganti nama menjadi “Rumah Sehat Untuk Jakarta”. 

Jujur, hormat setinggi-tingginya untuk kebijakan Pak Anies. Upaya pengubahan nama ini, tentu akan berdampak besar terhadap pandangan masyarakat kepada “rumah sehat” ke depan. Mungkin, dalam satu atau dua bulan ini, bakal banyak orang yang akan mencibir terobosan ini.

Ya, memang kalau dipikir dengan logika sederhana saja, upaya Pak Anies ini memang usaha yang terlalu murah dan terkesan nggak keluar modal apa-apa, selain pakai kekuatannya sebagai gubernur. Lha, nggak pakai APBD sama sekali kok. 

Apalagi, beberapa hari setelah peresmian, anggaran untuk branding logo dan serba-serbi pergantian itu dibebankan kepada “rumah sehat” masing-masing. Tahu nggak? Dengan bergantinya logo dan label “rumah sehat” tersebut, bakal banyak hal yang perlu diganti. Tentu, selain logo besar di depan rumah sakit, mereka juga harus mengganti semua hal yang berkaitan dengan administrasi: mulai dari kop segala jenis surat dan dokumen, stempel, serta semua tampilan di web.

Walaupun begitu, saya tetap angkat topi pada keputusan Pak Anies. Perlu diingat, beliau berdalih penggantian nama ini, supaya pola pikir masyarakat perihal kedatangan ke rumah sakit bukan hanya ketika mereka sakit. Tetapi untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kesehatannya, melalui pengintensifan layanan promotif dan preventif. 

Namun, pemikiran Pak Anies ini agaknya hanya ada di tataran ideologis saja. Untuk praktiknya? Mari, coba kita pertanyakan bersama-sama tentang konsep promotif dan preventif, sembari melupakan sejenak tentang istilah “rumah sehat”.

Menurut UU No 36 tahun 2009, pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. Sedangkan pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit.

Jika maksud promotif dan preventif Pak Anies sama dengan UU tersebut, memangnya layanan apa yang diberikan sebelum penyakit sebenarnya muncul? Dan, cocok dengan pelayanan di rumah sakit? Coba saya jawab, pertama sepertinya vaksinasi, dan kedua skrining kanker serviks. Itupun fokusnya tidak dilakukan di rumah sakit, tapi Puskesmas. 

Jadi, apa upaya pencegahan yang bisa dilakukan di rumah sakit? Ada yang bisa bantu menjawab?

Ya memang, upaya preventif dan promotif sebagian besar memang dilakukan di Puskesmas. Tetapi, ada pertanyaan lagi, seberapa besar pemerintah DKI Jakarta memberikan perhatian buat program-program ini?

Setahu saya, dalam upaya pembiayaan promotif dan preventif sendiri, Puskesmas sebenarnya memiliki satu sumber biaya dari pemerintah yang pakem, bernama Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Bantuan ini meliputi biaya untuk menyelenggarakan acara-acara promosi kesehatan, serta gaji para pegawai yang tidak bersentuhan dengan pasien.

Biasanya, kepada mereka yang bergelar sarjana kesehatan masyarakat, dan sarjana lain yang memang bekerja untuk penyelenggaraan acara-acara promosi kesehatan tadi. BOK juga diperuntukkan bagi para warga desa yang bersusah payah mau menjadi kader kesehatan. 

Selain BOK, rasanya tidak ada biaya lain yang berfokus pada upaya pencegahan. Malahan–BPJS yang menggunakan sistem kapitasi itu–pembiayaan tetap. Pembiayaannya yang berdasarkan jumlah peserta, apapun obat dan jasa yang diberikan pun, agaknya sama sekali tidak memberi ruang untuk pembiayaan pencegahan penyakit ini. 

Lha, bagaimana bisa dipakai untuk program pencegahan? Uang sisa pasti dipikirkan betul-betul untuk kesejahteraan nakes dan keperluan kemajuan fasilitas kesehatan di sana. 

Lalu, apakah upaya promotif dan preventif alias pencegahan ini kelak hanya bertumpu pada para influencer kesehatan yang seringkali hanya sekedar lewat itu? Apakah pemerintah kelak memiliki jalan yang lebih terang? Misalnya pengenalan hidup sehat, makan-makanan bergizi lewat kurikulum pendidikan?

Atau pemaksaan warganya supaya bisa hidup sehat? Misalnya dengan pembuatan platform yang bisa mencatat pergerakan warga, dan kelak akan diberikan reward atas pencapaian-pencapaian tertentu? 

Saya sih, membayangkan lebih masuk akal demikian. Lha, daripada pemerintah habis uangnya untuk pembiayaan penyakit kronis yang nominalnya tidak karuan itu. Berapa coba yang BPJS habiskan untuk pembiayaan pasien stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan lain-lain? Selain pengeluaran biaya pengobatan kepada mereka yang sakit, para pasien tersebut, selanjutnya juga telah terbatas semua upaya-upaya produktifnya. 

Bayangkan kalau banyak warga usia lanjut yang masih aktif dan masih bisa berdaya untuk dirinya sendiri. Sebuah mimpi yang indah, bukan? Tidak ada lagi sandwich generation yang gigit jari atas nasib sial yang menimpa mereka. 

Ah, semoga saja mimpi Pak Anies bukan hanya ada di alam pikirannya saja. Mari kita tunggu terobosan-terobosan promotif dan preventif lain yang konkrit. Tentunya bukan melalui penggantian nama rumah sakit menjadi rumah sehat yang masif itu.

Prima Ardiansah, Dokter internship di RSU Aisyiyah Ponorogo dan Puskesmas Jenangan Ponorogo.

[red/rien]

Exit mobile version