Mempertanyakan Kembali Keputusan Childfree

“Memahami kebutuhan dan kesiapan sebelum menikah dan menjadi orang tua baru merupakan modal yang cukup untuk mempersiapkan diri memiliki anak.”

Beberapa waktu lalu ramai pembahasan soal childfree, bahkan saya yakin isu ini akan terus hangat dibicarakan. Apalagi, dengan semakin banyaknya asupan dari bacaan, pengalaman, dan berbagai macam pikiran rasional lainnya pasti akan menjadi bola panas yang siap dilempar ke publik.

Saya juga meyakini, ketika orang memutuskan sesuatu pasti ada alasan tertentu. Walau alasan tersebut tidak bisa saya sepakati, namun bisa saya hargai. Ya, saya selalu berusaha untuk memahami dengan sebaik-baiknya pemahaman, termasuk soal childfree. 

Saya melihat banyak sekali kasus orang-orang yang memutuskan untuk bisa demikian. Mulai dari ingin mematangkan karir, ketidaksiapan calon orang tua, kurangnya dukungan orang sekitar, hingga faktor ekonomi, karena merasa masih kurang meskipun kedua orang tua sudah memiliki pekerjaan dengan gaji yang sebenarnya sudah terbilang cukup. 

Kesiapan mental memang sangat diperlukan dalam memutuskan mau memiliki anak sekarang atau nanti. Pada kenyataannya, yang namanya anak–mau dalam kepercayaan manapun–adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Kita tidak bisa mengatur hal-hal di luar kuasa kita.

Kemudahan teknologi dan informasi yang diterima saat ini pun, sangat mempengaruhi ideologi pasangan yang baru menikah. Lagi-lagi kembali pada dua hal yaitu memang belum siap atau bahkan tidak mau siap. Kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda tentunya.

Childfree secara umum adalah sebuah istilah yang ditujukan kepada pasangan suami istri yang memutuskan tidak memiliki keturunan. Istilah ini menjadi sangat ramai ketika ada influencer yang mengaku bahwa mereka menganut childfree.

Pemahaman yang mereka miliki seolah membenarkan bahwa keputusan mereka adalah demi kebaikan di bumi. Berbagai alasan yang mereka lontarkan, salah satunya karena banyak anak yang terlantar. Dengan alasan ingin merawat banyak anak yang ada di dunia yang kehilangan orang tuanya, atau berkata bahwa bumi ini sudah sedemikian penuh.

Tentang sebuah kesiapan 

Iya, benar sekali. Banyak persiapan yang harus disiapkan sebelum memutuskan menikah. Misalnya, pasangan yang mendukung, materi yang cukup, pengetahuan tentang parenting yang memadai, dukungan orang sekitar, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut sebenarnya bisa dipelajari baik secara online maupun offline

Untuk mengetahui informasi apa saja tentang persiapan mendidik anak, bisa dilakukan dengan membaca buku, atau mendengar ceramah dari alim ulama. Semua bisa dicari dengan sangat mudah. Tinggal keinginannya saja mau berusaha atau tidak. Jangan hanya bertumpu pada segelintir orang yang memutuskan untuk menganut childfree.

Karena secara langsung atau tidak, childfree ini adalah hasil dari pemahaman peradaban sekuler, sebuah peradaban yang menghasilkan cara pandang bahwa manusia itu tidak harus diatur oleh norma agama, termasuk dalam hal memiliki atau tidak memiliki anak. 

Orang yang menganut paham sekuler ini beranggapan bahwa manusia bebas melakukan apa saja dalam hidupnya tanpa mencampurkan urusan dengan agama. Mereka juga beranggapan bahwa agama hanya berhubungan dengan urusan ibadah saja. Seseorang dengan pemahaman sekuler macam ini bebas saja memutuskan untuk tidak memiliki anak. 

Sebuah genocide halus

Terlepas dari takdir bahwa Allah memberi keturunan atau tidak, jika pemahaman ini terus berlanjut, otomatis pengikutnya akan bertambah. Bisa dibayangkan jika misal dari lima atau sepuluh pasangan kemudian bertambah menjadi lima puluh atau seratus pasangan, memutuskan untuk menganut childfree. Berapa banyak calon anak yang mungkin diamanahkan kepada mereka akhirnya gagal lahir?

Apakah kita mau generasi kita bisa habis dengan sendirinya? Tidak perlu perang atau bom, cukup todongkan ide childfree ini kepada pasangan baru atau calon orang tua. Sudah cukup untuk membuat populasi manusia berkurang dalam beberapa tahun ke depan.

Alangkah baiknya kita tidak menunggu seperti Jepang yang sekarang pemerintahannya sudah habis akal demi membujuk rakyatnya untuk memiliki anak. 

Cara menanggapi fenomena childfree

Jika kita diam saja saat mendengar paham childfree ini, maka besar kemungkinan kita dianggap sebagai pihak yang setuju. Mulailah mencari tahu apa penyebabnya. Mungkin ada trauma atau ketakutan, ketidaksiapan serta kurangnya pemahaman soal parenting

Lagi pula, menurut saya, memiliki anak bisa membuat pasangan menjadi lebih mesra, dan melanjutkan garis keturunan agar tidak terputus. Asuhan dan pola pikir kontra childfree bisa dimulai dari orang tua, tenaga pendidik, dan siapa saja. 

Konseling pranikah 

Yang dimaksud dengan konseling pranikah adalah bertujuan untuk membantu pasangan baru dalam menghadapi dan menganalisis kemungkinan masalah dan tantangan yang akan muncul. Sebagai contoh tentang persiapan menjadi orang tua baru. 

Menjadi orang tua baru, tidak semenakutkan yang digambarkan banyak film yang terkadang penonton jadi takut sendiri untuk memiliki anak. Takut anak tantrum, takut tidak bisa mengasuh dengan baik. Takut juga jika di-judge oleh tetangga atau keluarga pasangan bahkan oleh keluarga sendiri. 

Ada juga yang trauma karena melihat rumah tangga orang terdekat yang tidak begitu baik. Ketakutan-ketakutan inilah yang harus dikenali lebih jauh lagi. Peran orang tua dan tenaga pendidik pasti akan sangat berperan terhadap penilaian pada setiap calon orang tua. 

Dengan memahami kebutuhan dan kesiapan sebelum menikah dan menjadi orang tua baru, maka setiap calon orang tua sudah memiliki modal yang cukup untuk mempersiapkan diri memiliki anak.

Sekali lagi dalam pandangan saya, sebisa mungkin kita menjauhkan diri dari pemahaman childfree karena memang tidak sehat dan tidak dianjurkan dalam agama Islam. Dalam agama Islam juga sudah dijelaskan bahwa memiliki anak terdapat banyak keutamaan diantaranya adalah amal jariyah, mendapat berkah dunia dan akhirat, meningkatkan ketakwaan serta mendapat syafa’at dan mendapat derajat yang tinggi di surga kelak. Amin.

Firna Rachmadiah. Pecinta anak kecil yang suka mendongeng.

[red/ys/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *