Site icon ghibahin.id

Memilih Tidak Menikah itu Tidak Salah

Jika beban yang sekarang sudah cukup sulit untuk dijalani, mengapa kita harus mengambil dan menimbun beban yang lebih besar lagi?

Pernikahan kerap kali dimaknai sebagai tujuan hidup dari dulu  hingga sekarang. Banyak faktor yang membuat seseorang tidak siap menikah, takut menikah, bahkan tidak menikah, dan itu tidak salah. Keputusan untuk menikah atau tidak menikah sepenuhnya di tangan kita. 

Banyak orang menikah dengan mengharapkan terciptanya keluarga yang baik. Bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Apakah kita akan mengikuti perkataan orang yang tidak akan membantu kita dalam kehidupan berkeluarga nanti, atau justru kita berani mengambil langkah untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.

“Menikah tidak menjamin kebahagiaan seseorang.” Setidaknya itu ucapan yang saya dengar dari seseorang yang sudah menikah lebih dari 20 tahun. Ironis bukan? Dari perkataan tersebut saya menyadari bahwa pernikahan yang awalnya dipandang sebagai wujud kebahagiaan seseorang dalam hidup malah berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. 

Banyak orang yang  menikah justru berakhir dengan terjebak dalam pernikahan itu sendiri. Kebutuhan seseorang akan kebahagiaan terpaksa digantikan dengan kehidupan pernikahan yang menyengsarakan. 

Semua tergantung kepada kita, apakah kita dapat menemukan kebahagiaan dalam pernikahan, atau justru bencana. Banyak orang memilih untuk tidak menikah dan ternyata dapat menemukan kebahagiaannya juga. Jika dalam kesendirian kita dapat bahagia, mengapa harus mengubahnya?  

Dengan menikah mungkin kita berharap dapat menemukan kebahagiaan atau menambah kebahagiaan yang sudah ada. Nah, bagaimana jika yang kita dapatkan adalah sebaliknya? Bukankah kita harus memikirkan risiko terlebih dahulu, ketimbang reward yang akan kita dapat?

Masyarakat, pada umumnya, berpandangan bahwa orang harus berpasangan, menikah, atau punya anak. Hal ini bertentangan dengan konsep kebahagiaan, dimana kebahagiaan itu sendiri ditentukan oleh orang yang menjalaninya tanpa ada sangkut-paut dengan komentar masyarakat. Semakin kita mengikuti standar sosial, yang ada justru membuat kita semakin jauh dari kebahagiaan. Kita harus menyadari kemampuan kita agar kita dapat berbahagia tanpa menyusahkan diri sendiri dan orang lain. 

Lagipula, pernikahan adalah perjalanan seumur hidup yang harus dilalui kedua orang. Bagaimana jika kebahagiaan yang diharapkan justru menjadi ancaman bagi kita yang menjalaninya? Akankah kita siap dengan kehadiran pasangan? Kita dituntut untuk berbagi perhatian dan segala hal yang mana kita tidak nyaman akan hal tersebut, tentunya pernikahan tidak lagi menjadi kebahagiaan bagi seseorang bukan?

Baru-baru ini banyak kasus permasalahan dalam rumah tangga yang mencuat ke media, seperti kasus KDRT yang dilakukan oleh Rizky Billar kepada istrinya, kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh Reza Arap, juga kasus yang dilakukan oleh seorang bapak dibantu anaknya dengan melakukan pembunuhan terhadap istri dan anak-anaknya. Menanggapi berita ini, tentunya membuat kita bimbang, apakah memang benar bahwa dengan menikah kita dapat menemukan kebahagiaan? Kalau begitu mengapa kasus seperti ini dapat terjadi? 

Ketika kita salah mengambil keputusan, terutama untuk hal yang krusial, maka hal itu mempengaruhi kita dalam menjalankan keputusan tersebut. Seperti contoh kasus-kasus di atas, keputusan mereka untuk menikah tidak disertai dengan komitmen untuk saling menyayangi dan mempedulikan satu sama lain dalam kondisi apapun. Sehingga tidak menutup kemungkinan dapat terjadi hal yang lebih buruk lagi. 

Kita sering dihantui oleh rasa takut jika kita memutuskan untuk memilih pilihan yang berbeda dari kebanyakan orang. Ketika kita tidak menikah, ribuan tudingan akan tertuju kepada kita. 

Tidak masalah jika masyarakat mendukung keputusan kita, karena memang keputusan untuk menikah atau tidak menikah sepenuhnya berada di tangan kita yang menjalani kehidupan. Lalu, bagaimana jika masyarakat menentang keputusan kita? Perlu keberanian dan ketabahan hati untuk melangkah terhadap suatu keputusan dan menutup telinga terhadap perkataan yang tidak relevan dengan kita.

Dengan menikah, kita menyadari bahwa akan terjadi perubahan secara besar-besaran dalam hidup yang mempengaruhi segala aspek kebutuhan kita. Kita dituntut untuk memenuhi segala kebutuhan, baik kebutuhan kita, pasangan kita, serta kelak anak-anak kita. Secara ekonomi kita harus mencukupi kebutuhan pasangan, anak, bahkan mungkin keluarga pasangan. Bahkan, secara sosial kita dituntut untuk menjadi pasangan serta orang tua yang mengikuti standar sosial yang ada. 

Ditambah aspek lain yang akan membuat kita kesulitan dalam menjalaninya. Jika beban yang sekarang sudah cukup sulit untuk dijalani, mengapa kita harus mengambil dan menimbun beban yang lebih besar lagi?

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara dua orang yang saling mencintai. Pasangan yang memutuskan untuk menikah diharapkan dapat menjadi contoh yang baik dalam kehidupan berkeluarga. Namun, apabila kita tidak siap dengan efek negatif yang mungkin saja terjadi, mengapa kita tetap memaksakan diri untuk menikah? Jika demikian, maka sesungguhnya kita akan menghancurkan kebahagiaan diri sendiri dan juga pasangan kita nantinya.

Vincent Theofilus, tinggal di Palembang

[red/ rien]

Exit mobile version