Site icon ghibahin.id

Memilih Mencoba Berpuasa

Puasa

Foto oleh Naim Benjelloun dari Pexels

“Agama boleh saja melarang saya untuk menahan hawa nafsu. Namun, saya tetap akan sangat amat berminat untuk menjadi pemimpin selama 3 periode.”

Kisah legendaris bernama perbedaan awal puasa kembali terulang tahun ini. Sejak kemarin, pertanyaan perihal “kapan kamu mulai puasa?” mulai terdengar. Di kalangan penganut Islam santai dan lucu, pernyataan untuk “puasa ikut NU, lebaran ikut Muhammadiyah” juga santer terdengar. Akan tetapi, sebuah keraguan besar mulai menjalar di logika dan hati saya pada bulan puasa kali ini.

Bisakah saya benar-benar berpuasa?

***

Saya masih ingat betul, dari zaman guru agama masa SD hingga penceramah lulusan pondok pesantren ternama, ada satu hal yang selalu diulang dalam obrolan soal puasa: menahan hawa nafsu. Dahulu sekali, kala duduk di bangku SD, saya memahami puasa sebagai menahan makan dan minum. Semua dimulai dari azan subuh hingga maghrib tiba.

Seiring bertambah dewasa, pemahaman saya soal menahan hawa nafsu tentu saja bertambah. Namun itu semua belumlah mencapai akhir pencapaian soal pertanyaan hawa nafsu dan berpuasa.

Belakangan saya merasa, puasa dengan hanya menahan makan dan minum adalah sesuatu yang konyol. Tidak, saya tidak akan bicara ini dalam ranah syariat agama bahwa pahala akan dilipatgandakan. Sehingga katanya, rugi jika orang tidak melakukan hal-hal baik lain saat sedang berpuasa.

Semua itu dimulai dari realitas bahwa banyak orang di luar sana yang hanya bisa makan sehari sekali. Entah itu mahasiswa yang sedang hidup hemat, orang yang sedang diet, atau kaum papa korban kemiskinan struktural. Lalu, jika memang berpuasa hanya sekadar menahan hawa nafsu, apakah mereka akan otomatis masuk surga?

Sementara, logika saya kemudian mengatakan bahwa soal hawa nafsu di tahun 700-an Masehi dengan tahun sekarang tentu saja berbeda. Urusan tantangan hawa nafsu orang-orang Timur Tengah dan manusia Indonesia modern juga otomatis berbeda.

Di tahun 700 Masehi, orang-orang tidak tahu rasanya salat tarawih sembari mengingat keranjang yang belum ter-check out. Mereka tidak tahu pula bagaimana susahnya menolak ajakan buka bersama dari aliansi kawan PAUD hingga perguruan tinggi. Buka bersama yang dianjurkan nabi dengan hal-hal manis berganti dengan a la carte atau malah all you can eat.

Mereka, orang-orang di zaman awal Islam berkembang, mungkin tidak pernah pula merasakan sebuah dilema besar manusia modern: ingin tetap tinggal di masjid untuk tadarus atau pulang menonton sinetron sembari memantau promo angka kembar tanggal dan bulan di marketplace.

Maka, tahun ini saya tidak akan berpuasa melainkan mencoba berpuasa. Iya, mencoba, sebab saya tidaklah sekuat itu menahan hawa nafsu.

Saya tidak cukup kuat untuk menahan nafsu mengumpat dan mengeluh saat bensin di penjual eceran mencapai angka 13.000 rupiah per liter. Sementara, saya diberi sebuah mimpi sempurna bahwa tempat saya tinggal adalah sebuah negara kaya raya dengan aneka sumber daya.

Saya tidak pula sesabar itu untuk tidak mengelus dada saat minyak goreng berganti harga. Iya, bukan lagi naik 500 atau 1.000 rupiah tetapi berganti harga menjadi 25.000 rupiah per liter. Sementara, siapa tidak mengakui betapa nikmatnya berbuka puasa dengan pisang goreng atau tahu goreng?

Tetapi sebentar, lantas apa gunanya hamparan ladang sawit nun jauh di sana?

Sungguh, mengingat 2 hal di atas sudah membangkitkan hawa nafsu manusiawi dalam diri saya untuk menolak rasa sabar dan mengeluh. Bukankah menahan kesabaran juga satu paket lengkap dalam hal-hal yang sebaiknya dilakukan selama puasa?

Saya lantas teringat catatan dalam sebuah buku, sayangnya saya lupa judulnya. Si penulis buku menulis bahwa perintah puasa adalah perintah untuk melawan segala sifat manusiawi keduniaan di dalam diri seorang manusia. Bukankah makan dan minum adalah salah satu hal vital dalam kehidupan? Sementara saat puasa itu semua dibatasi.

Maka, sekali lagi, saya hanya akan mencoba berpuasa. Sebab, saya tetaplah seorang manusia dengan hawa nafsu, keterbatasan rasa sabar, dan segala hasrat menggelora dalam diri.

Agama boleh saja melarang saya untuk menahan hawa nafsu. Namun, saya tetap akan sangat amat berminat untuk menjadi pemimpin selama 3 periode. Saya juga tetap manusia, sangat sulit menahan hasrat berbisnis sembari menjadi pejabat publik. Apalagi, saat saya ditawari jabatan duniawi, wah itu tentu saja lebih sulit.

Sejak saya kecil, urusan menahan hawa nafsu dan berlaku sabar selama puasa sudah sering saya dengar dari berbagai guru ngaji. Namun, mereka tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa sabar juga berlaku tatkala kebijakan negara terasa kian mencekik rakyat kecil. 

Tidak pula ada cerita mereka dengan kisah bagi orang-orang yang sabar saat negara kaya raya memasang harga mahal untuk aneka kebutuhan di dalamnya. Juga, tidak ada pula petuah mereka untuk menahan hawa nafsu dalam berkuasa dan menduduki jabatan sebagai pejabat publik.

***

Belakangan, saya mendengar dari seorang guru mengaji bahwa puasa adalah ibadah spesial. Saat ibadah lain sifatnya adalah untuk kebutuhan manusia itu sendiri, maka tidak dengan puasa. Lelaku ini disebutkan sebagai ibadah manusia untuk Tuhan. Sederhananya, Tuhanlah yang kelak akan menentukan sendiri balasan apa yang akan diberikan oleh-Nya untuk manusia yang berpuasa.

Mendengar itu, tentu saja saya semakin semangat untuk tidak berpuasa melainkan hanya sekadar mencoba berpuasa. Sebab, Tuhan mungkin tahu sendiri betapa sulitnya menahan diri tidak mengumpat di tengah kenaikan harga minyak goreng dan Pertamax, sementara gas elpiji 3 kilogram dan Pertalite juga katanya hendak ikut naik.

Mungkin, Tuhan juga akan memahami pula alasan saya enggan menahan hawa nafsu untuk tidak memperpanjang masa jabatan. Saya yakin itu, sebab Tuhan adalah Sang Maha Mengetahui dan semoga Dia memahaminya.

Sekali lagi, saya memilih sekadar mencoba berpuasa tahun ini. Saya tidak berani mendeklarasikan diri sedang berpuasa. Sebab, saya adalah manusia dengan segala keterbatasan, hawa nafsu, dan keinginan duniawi. [red/jie]

Syaeful Cahyadi, Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

Exit mobile version