Site icon ghibahin.id

Memaknai Ulang Kesempatan Kedua

Second chance

Foto oleh picjumbo.com dari Pexels

“Mereka yang terpaksa berpisah itu tidak perlu lagi berpura-pura bahagia. Justru, mereka memperjuangkan kebahagiaan yang alami dan nyata.”

Kisah tentang kesempatan kedua saya dapatkan dari tiga sahabat saya. Di masa korban rudapaksa dan pelecehan seksual tak banyak yang berani bicara, Widya menjadi salah satunya. Pengalaman itu membuat Widya kerap merasa tidak layak dicintai oleh siapa pun.

Sementara Jeje, akhirnya mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. Tak hanya sering memaki, si kekasih ini sangat manipulatif dan pembohong.

Lain halnya dengan Kesya yang memberi kabar perpisahan paling mengejutkan. Ternyata Kesya merupakan korban KDRT. Padahal selama ini, dia terlihat baik-baik saja.

Ketiga sahabat ini memperjuangkan hal yang sama: kesempatan kedua. Mereka bukan sekadar putus hubungan. Juga tidak terkait mencari kesempatan mendapatkan pasangan baru yang lebih baik. Mereka justru melakukan sesuatu yang lebih penting untuk diri mereka.

Widya berjuang melawan rasa takut akibat pengalaman buruk yang dialaminya. Kini ia memperjuangkan kesempatan keduanya untuk kembali merasa layak.

Memang, sampai saat ini, kita bisa menemukan pernyataan yang menyalahkan korban rudapaksa atau pelecehan seksual. Masyarakat, sebagian besar, masih belum bisa menerima keputusan-keputusan di luar nalar yang kerap diambil oleh korban. Keputusan mengakhiri hidup, contohnya.

Tapi pada dasarnya, tidak ada korban yang benar-benar sukarela, siapa pun pelakunya. Rudapaksa dan pelecehan seksual tetaplah mengandung unsur kekerasan. Tak hanya itu, peristiwa tersebut juga merebut kemerdekaan si korban atas tubuhnya.

Kita tahu, orang terdekat korban bisa menjadi support system yang efektif. Korban bisa menemukan ruang kecil yang nyaman. Dari sanalah dia berusaha melakukan hal kecil tapi sangat besar dampaknya: kembali belajar mencintai diri sendiri.

Kesya jelas memperjuangkan kesempatan keduanya. Keputusan yang sudah begitu mantap dibuatnya itu melibatkan pertimbangan dan pemikiran yang cukup lama.

Tentang ada tidaknya cinta (terutama karena hubungan yang sudah cukup lama), tentu masalah yang berbeda. Dengan lepas dari hubungan yang tampak baik di permukaan padahal remuk di dalam ini, Kesya memperjuangkan kesempatan kedua.

Melalui perpisahan, ia dan Kesya-Kesya yang lain menata kehidupan untuk kembali merasa berharga. Mereka yang terpaksa berpisah itu tidak perlu lagi berpura-pura bahagia. Justru, mereka memperjuangkan kebahagiaan yang alami dan nyata.

Jeje akhirnya melepaskan diri dari hubungan yang mengerikan. Dia pernah menjelaskan bahwa kekasihnya memiliki trauma masa kecil. Niatnya tentu baik, yaitu mendampingi kekasihnya sembuh dari trauma itu. 

Tapi, tampaknya Jeje melihat bahwa hubungan ini tidak berhasil. Hal itu tampak jelas, karena si kekasih tidak menghargai upaya yang diberikan Jeje selama ini. 

Hubungan tak seimbang semacam ini kerap kita temui. Pada titik tertentu, timbul pertanyaan, “Apa yang dicari? Sungguhkah ingin mendampingi atau ingin menjadi penyelamat palsu yang mendapat puja-puji?”

Meski begitu, pilihan mendampingi kekasih seperti yang dilakukan Jeje juga merupakan bentuk kesempatan kedua. Bersedia menjadi tempat yang nyaman dan aman, meski kekasihnya tidak menggunakan kesempatan kedua dengan baik. 

Semua kemalangan dan hal buruk yang terjadi, tentu ada waktu untuk memperbaiki. Hanya saja tidak semua orang memahami, kapan kesempatan memperbaiki itu datang. Kesempatan itu mungkin pernah datang dan tidak akan terulang kembali, berakhir sia-sia. 

Keputusan Jeje dan Keisya meninggalkan pasangannya, bisa dipandang sebagai kesempatan menghargai diri sendiri. Mereka juga menunjukkan ada waktunya berhenti menjadi seorang yang memberi. Dan ini sejalan dengan pernyataan Henry Ford, “If you’re giver, know your limits, because takers don’t. They just keep on taking.”

Kalimat penghiburan bahwa mereka belum berjodoh juga rasanya tidak perlu disampaikan. Justru mereka perlu didukung dan diyakinkan bahwa langkah yang ditempuh sudah tepat.

Di sekitar kita tentu saja ada banyak Jeje, Keisya, dan Widya yang lain. Mereka tengah berusaha untuk merasa layak dicintai. Caranya dengan mencintai diri sendiri terlebih dulu. 

Mereka punya tanggung jawab mengupayakan diri menjadi pribadi yang lebih baik. Pada beberapa kasus, justru seseorang melukai dirinya sendiri karena tidak menyadari luka batinnya. Berani mengatakan cukup untuk menambahkan luka batin pada diri sendiri, juga merupakan langkah besar yang patut didukung. 

Kesempatan kedua tidak lagi soal mengakhiri hubungan dan membuka peluang baru. Juga bukan tentang cara memperbaiki hubungan antara dua orang yang saling mencintai dalam situasi yang rumit. 

Kesempatan kedua bisa dimaknai sebagai kesadaran untuk kembali pada diri sendiri. Termasuk melepaskan segala sesuatu yang menyakiti, bahkan atas nama cinta dan hubungan yang telah berlangsung bertahun-tahun.[red/rin/bp]

Katarina Retno Triwidayati, ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

Exit mobile version